Total Tayangan Halaman

Selasa, 22 Mei 2012

BAB 5


BAB 5
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa perubahan kebijakan bantuan keamanan AS (U.S. Security Assistance) kepada Indonesia (TNI) disebabkan oleh adanya benturan kepentingan nasional AS dan Indonesia pasca pelepasan Timor Timur. Dengan kata lain, kesimpulan ini menunjukkan bahwa dukungan politis dan security assistance AS terhadap Indonesia dalam proses integrasi Timor Timur dilakukan karena adanya kesamaan kepentingan (common interest) dalam rangka menghadapi ancaman bersama (common threat) yaitu komunis. Namun ketika Timor Timur lepas dari Indonesia juga tidak dipungkiri oleh adanya fakta-fakta yang mengharuskan bagi AS untuk menarik dukungannya. Dengan demikian dapat pula disimpulkan bahwa kebijakan luar negeri AS pada dasarnya bersifat “adaptif” yang tidak terlepas dari nilai “pragmatisme” Amerika. Dari aspek ini Indonesia nampaknya dalam penerapan kebijakan luar negeri tidak jauh berbeda dengan AS. Hal ini tampak antara lain ketika dibawah Soekarno, Indonesia juga pernah menerapkan nilai pragmatisme pada saat menerapkan kebijakan perebutan Irian Barat dengan meminta dukungan Soviet manakala AS menolak memberikan dukungan. Dengan demikian pragmatisme nampaknya digunakan oleh AS untuk menerapkan doktrin maksimalis yang tidak dapat dilepaskan dari upaya melindungi keamanan nasionalnya.
Faktor-faktor dari luar negeri dan dari dalam negeri sangat mempengaruhi sifat adaptif dari kebijakan luar negeri AS dan hal ini sangat menentukan bagi terjadinya suatu perubahan. Kedua pengaruh tersebut saling berinteraksi satu sama lain. Dalam konteks Timor Timur, dari satu sisi pengaruh dari luar negeri ditunjukkan oleh adanya perubahan situasi global pasca berakhirnya Perang Dingin – menuntut peran AS untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi ke seluruh penjuru dunia yang dilandasi oleh liberalisme yang mengutamakan penghormatan terhadap HAM – sementara di sisi lain pengaruh dari dalam negeri ditunjukkan dengan bangkitnya kesadaran warganegara Amerika terhadap solidaritas kemanusiaan – dalam merespon kerusuhan Santa Cruz – yang ditandai oleh berdirinya ETAN (East Timor Action Network). Dalam perkembangan selanjutnya, Indonesia dalam upayanya mempertahankan integrasi Timor Timur dinilai salah langkah khususnya terhadap terjadinya pelanggaran HAM berat pasca jajak pendapat (1999) yang dilakukan oleh milisi pro-integrasi dan diindikasikan TNI terlibat dalam aksi tersebut. Disinilah letak ketidakharmonisan dari kedua belah pihak memuncak yang diikuti oleh dihentikannya dukungan security assistance yang selama ini telah diberikan (embargo). Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa kepentingan keamanan AS tidak lagi konvergen dengan kepentingan keamanan Indonesia.
Perubahan kebijakan AS yang dilakukan ini, tidak terlepas dari upaya Amerika dalam menjamin keamanan nasional – yang merupakan bagian dari kepentingan nasionalnya yang bersifat mutlak (fundamental) – melalui upaya penyebaran nilai-nilai demokrasi yang dilandaskan pada liberalisme, di mana penghormatan kepada hak-hak individu dijunjung tinggi. Dari apa yang terjadi dapat pula dilihat terdapat “tiga unsur” kepentingan nasional AS yaitu: (1) keamanan nasional, (2) kepentingan ekonomi global, dan (3) penyebaran demokrasi yang berazaskan penghormatan pada HAM. Yang pertama yakni keamanan nasional merupakan harga mati atau mutlak. Sedangkan antara kepentingan ekonomi global dengan penyebaran demokrasi – dapat disebut sebagai kepentingan nasional yang vital – dijadikan sebagai salah satu alat utama bagi kebijakan luar negeri AS dalam menjamin keamanan nasionalnya.
Dari dua kepentingan nasional yang disebutkan belakangan, prioritasnya akan ditentukan berdasarkan pada ancaman dan tantangan global yang dihadapi dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi. Suatu saat kepentingan ekonomi global mendapatkan prioritas, dan pada saat lain, prioritas bergeser pada kepentingan penyebaran demokrasi yang dilandasi oleh penghormatan terhadap HAM. Hal ini terlihat ketika proses integrasi Timor Timur ke dalam NKRI tengah berlangsung, pada saat itu kepentingan ekonomi global AS terancam oleh komunis, yang mana komunis menerapkan perjuangan menentang kapitalisme dan berupaya menghancurkannya. Oleh karena itu, Amerika merasa perlu memberikan dukungan penuh kepada Indonesia. Dengan demikian pada dasarnya dukungan ini diberikan dalam rangka skenario global pembendungan komunisme, di mana AS pada saat itu masih terlibat Perang Dingin dengan komunis Soviet. Strategi yang diterapkan pada waktu itu adalah doktrin containment, yang dalam penerapannya dikombinasikan dengan program bantuan ekonomi Marshall Plan yang semula diperuntukkan bagi upaya Amerika membenahi perekonomian Eropa Barat yang menjadi aliansinya pasca PD II. Perpaduan doktrin pembendungan dan Marshall Plan ini kemudian dijadikan sebagai kebijakan luar negeri pembendungan (policy of containment) yang selanjutnya dimodifikasi sedemikan rupa menjadi program U.S. Security Assistance kepada negara-negara berkembang yang hingga pada saat terus dilanjutkan. Hal ini dilakukan seiring dengan adanya investasi-investasi AS yang ditanamkan di negara-negara berkembang yang tersebar di seluruh belahan dunia. Dengan demikian kebijakan U.S. Security Assistance ini pada dasarnya merupakan salah satu strategi global AS dalam upayanya meningkatkan capacity building dibidang security bagi negara-negara berkembang, yang mana kepentingan ekonomi AS terdapat dinegara tersebut.
Demokrasi yang didasarkan pada liberalisme memang memberikan dua out put yaitu dibidang ekonomi adalah perlunya free market yang mana peran pemerintah dibatasi yang kemudian menghasilkan kapitalisme, dan out put lain dibidang politik yaitu adanya penghormatan terhadap hak-hak azasi manusia. Apabila kedua out put ini dapat berjalan seiring maka proses demokrasi akan berjalan dengan kondusif, di satu sisi melalui peningkatan peran pasar, investasi akan bergulir ibarat bola salju yang mampu meningkatkan perekonomian nasional yang berujung pada pencapaian kesejahteraan yang tinggi pada seluruh warganegara. Sementara penghormatan terhadap hak-hak individu memberikan peluang bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak-hak azasinya secara penuh yaitu meliputi hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk memperoleh penghasilan yang layak, dan hak untuk mengejar kebahagiaan serta hak-hak politik lainnya yang dijamin oleh konstitusi. Namun di sisi lain kebebasan individu ini acap kali disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan sesaat yang kemudian justru melanggar kebebasan individu pihak lain. Kasusnya sama dengan bergulirnya kesejahteraan yang akan menghasilkan kondisi yang semakin membaik, bergulirnya pelanggaran hak-hak individu akan membuahkan berbagai tindak kekerasan dan tindak kriminal yang meresahkan dan dalam skala yang lebih besar akan menimbulkan perang antar bangsa.
Untuk itulah perlu dibuat aturan, hukum dan perundang-undangan yang bersifat universal. Untuk menjamin agar hukum dapat ditegakkan diperlukan aparat-aparat keamanan, dan dalam konteks negara maka pembentukan Angkatan Bersenjata menjadi tuntutan mutlak. Di sinilah peran dan arti pentingnya kekuatan Angkatan Bersenjata yang akan memberikan daya tangkal (deterrence) bagi negara tersebut dari upaya-upaya tindak pelanggaran kedaulatan oleh negara lain. Kekuatan Angkatan Bersenjata suatu negara memiliki peran yang menentukan dalam rangka menjaga keamanan nasional negara tersebut. Namun Angkatan Bersenjata yang tidak terkontrol justru akan berakibat pada munculnya pemerintahan diktator sebagai bentuk penyalahgunaan kekuatan bersenjata untuk kepentingan kekuasaan. Oleh karena itulah diperlukan pembatasan dan kontrol sipil yang kuat. Untuk keperluan ini maka dibentuk sistem pemerintahan yang saling mengontrol dan berbagi kekuasaan. Trias politika pun hadir untuk memisahkan cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, karena demokrasi yang sesungguhnya terletak pada harmonisasi hubungan antara ketiga cabang kekuasaan tersebut dalam suatu sistem pemerintahan.
Demokrasi seperti itulah yang sejatinya ingin diterapkan dan disebarkan oleh AS. Visi Wilson merupakan salah satu visi universal tentang bagaimana mengimplementasikan sebuah demokrasi yang ideal dan membuahkan harmonisasi antar bangsa. Ia merumuskan visinya dalam kalimat “peace without victory,” dengan memfokuskan pada upaya menjamin keamanan nasional melalui kebijakan Liberal democratic internationalism yang selanjutnya diadopsi oleh Bush dan Clinton pasca Perang Dingin.
Dalam menyikapi kasus Timor Timur, AS yang melihat terjadinya kerusuhan Santa Cruz, telah berupaya melakukan pendekatan-pendekatan HAM secara persuasif. Strategi yang digunakan tidak frontal, IMET diberikan kepada TNI dengan memberikan berbagai pemahaman tentang sistem pemerintahan yang demokratis, dimana hubungan sipil – militer diletakkan dalam konteks pemerintahan yang berdasarkan pada supremasi sipil. IMET diubah formatnya dalam bentuk Extended – IMET (E-IMET), dalam mana hukum humaniter dan penghormatan HAM termasuk dalam mata pelajaran yang diberikan kepada TNI peserta program ini. Namun permasalahan Timor Timur tidak mampu dikelola dengan baik seperti harapan pemerintah AS. Puncaknya adalah ketika terjadi pelanggaran HAM berat di Timor Timur pasca jajak pendapat (1999) yang dilakukan oleh kelompok pro-integrasi dan TNI diindikasikan terlibat. Sebagaimana fakta yang diungkap oleh Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia – Timur Leste {The Commission of Truth and Friendship (CTF) Indonesia – Timor Leste} (Maret 2008), telah terjadi pelanggaran HAM berat pada tahun 1999 yang dilakukan baik oleh pihak pro-integrasi – yang didukung secara institusional oleh TNI, Polri dan Pemda – maupun pro-kemerdekaan atas lawan-lawannya. Dengan adanya indikasi – sebelum fakta-fakta terungkap – pelanggaran HAM berat yang di lakukan oleh milisi pro-integrasi dukungan TNI, maka pemerintahan Clinton pada akhirnya menerapkan embargo kepada Indonesia. Seluruh bentuk U.S. Security Assistance dihentikan.
Ketika terjadi serangan teroris 11 September 2001 yang dilakukan oleh kelompok muslim garis keras/radikal, AS kembali berpaling ke Indonesia untuk memperoleh dukungan dalam memerangi terorisme yang mengancam kepentingan goblal AS, termasuk di Indonesia. Indonesia diperhitungkan kembali karena perannya yang cukup signifikan dalam percaturan global yang dinilai telah berkembang sebagai negara demokratis terbesar ketiga didunia dengan mayoritas penduduk muslim. Hal ini dianggap selaras dengan doktrin Bush keempat, dimana disebutkan bahwa AS memandang perlu untuk menyebarkan demokrasi didunia muslim, hal ini memperkuat paradigma bahwa apabila demokrasi berhasil memasuki dunia muslim, maka AS yakin bahwa kepentingan nasionalnya (terutama keamanan nasional) akan terjaga sebagaimana yang pernah diajarkan oleh Wilson dengan liberalismenya. Dengan alasan ini AS mengubah kembali kebijakan luar negerinya terhadap Indonesia dan US Security Asistance dipulihkan dengan pencabutan embargo pada 22 Nopember 2005.
Sungguh, Indonesia merupakan salah satu arena (theater), yang menggambarkan perubahan kebijakan luar negeri AS khususnya dalam kasus proses integrasi dan lepasnya Timor Timur dari NKRI. Lepasnya Timor Timur merupakan puncak akibat dari adanya benturan kepentingan antara AS dan Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwasanya memang benar telah terjadi perubahan kebijakan luar negeri AS terhadap kasus Timor Timur, di mana pada saat proses integrasi Timor Timur kedalam NKRI (1975) pemerintah AS memberikan dukungan baik politik maupun security assistance. Sementara lepasnya Timor Timur dari NKRI disebabkan oleh adanya perubahan kebijakan luar negeri AS yang adaptif dalam menyikapi kasus Timor Timur yang menggambarkan adanya benturan kepentingan antara kedua belah pihak yang berpuncak pada terjadinya pelanggaran HAM berat pasca jajak pendapat (1999). Situasi ini kemudian diikuti oleh pengumuman pemerintahan Clinton dalam memutus hubungan militer dengan Indonesia dan menghentikan dukungan security assistance yang telah diberikan selama hampir 50 tahun. Namun pasca serangan teroris 11 September 2001, dimana kepentingan global AS terancam, Indonesia kembali dirangkul dan US security Assistance dipulihkan untuk diajak memerangi terorisme global, yang pada dasarnya merupakan perangnya AS dalam menjaga keamanan nasionalnya. Atau dapat pula dikatakan bahwa dukungan U.S. Security Assistance yang diberikan kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia pada dasarnya lebih berorientasi pada keamanan nasional yang menjadi kepentingan nasional mutlaknya. Orientasi semacam ini memang tepat, sebab setiap negara di dunia dalam konteks diplomasi antar negara akan senantiasa mengutamakan kepentingan nasionalnya, di samping tetap memperhatikan prinsip mutual benefit terhadap mitra kerjasama bilateralnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar