Beranda | Buku/Sinopsis | Bab 1 | Bab 2 | Bab 3 | Bab 4 | Bab 5 | Daftar Referensi | Tentang Penulis | Beranda
BAB 5
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa perubahan kebijakan bantuan keamanan AS (U.S. Security Assistance) kepada
Indonesia (TNI) disebabkan oleh adanya benturan kepentingan nasional AS
dan Indonesia pasca pelepasan Timor Timur. Dengan kata lain, kesimpulan
ini menunjukkan bahwa dukungan politis dan security assistance AS terhadap Indonesia dalam proses integrasi Timor Timur dilakukan karena adanya kesamaan kepentingan (common interest) dalam rangka menghadapi ancaman bersama (common threat) yaitu
komunis. Namun ketika Timor Timur lepas dari Indonesia juga tidak
dipungkiri oleh adanya fakta-fakta yang mengharuskan bagi AS untuk
menarik dukungannya. Dengan demikian dapat pula disimpulkan bahwa
kebijakan luar negeri AS pada dasarnya bersifat “adaptif” yang tidak
terlepas dari nilai “pragmatisme” Amerika. Dari aspek ini Indonesia
nampaknya dalam penerapan kebijakan luar negeri tidak jauh berbeda
dengan AS. Hal ini tampak antara lain ketika dibawah Soekarno,
Indonesia juga pernah menerapkan nilai pragmatisme pada saat menerapkan
kebijakan perebutan Irian Barat dengan meminta dukungan Soviet manakala
AS menolak memberikan dukungan. Dengan demikian pragmatisme nampaknya
digunakan oleh AS untuk menerapkan doktrin maksimalis yang tidak dapat
dilepaskan dari upaya melindungi keamanan nasionalnya.
Faktor-faktor
dari luar negeri dan dari dalam negeri sangat mempengaruhi sifat
adaptif dari kebijakan luar negeri AS dan hal ini sangat menentukan bagi
terjadinya suatu perubahan. Kedua pengaruh tersebut saling berinteraksi
satu sama lain. Dalam konteks Timor Timur, dari satu sisi pengaruh dari
luar negeri ditunjukkan oleh adanya perubahan situasi global pasca
berakhirnya Perang Dingin – menuntut peran AS untuk menyebarkan
nilai-nilai demokrasi ke seluruh penjuru dunia yang dilandasi oleh
liberalisme yang mengutamakan penghormatan terhadap HAM – sementara di
sisi lain pengaruh dari dalam negeri ditunjukkan dengan bangkitnya
kesadaran warganegara Amerika terhadap solidaritas kemanusiaan – dalam
merespon kerusuhan Santa Cruz – yang ditandai oleh berdirinya ETAN (East Timor Action Network).
Dalam perkembangan selanjutnya, Indonesia dalam upayanya mempertahankan
integrasi Timor Timur dinilai salah langkah khususnya terhadap
terjadinya pelanggaran HAM berat pasca jajak pendapat (1999) yang
dilakukan oleh milisi pro-integrasi dan diindikasikan TNI terlibat dalam
aksi tersebut. Disinilah letak ketidakharmonisan dari kedua belah pihak
memuncak yang diikuti oleh dihentikannya dukungan security assistance yang
selama ini telah diberikan (embargo). Dengan demikian dapat pula
dikatakan bahwa kepentingan keamanan AS tidak lagi konvergen dengan
kepentingan keamanan Indonesia.
Perubahan
kebijakan AS yang dilakukan ini, tidak terlepas dari upaya Amerika
dalam menjamin keamanan nasional – yang merupakan bagian dari
kepentingan nasionalnya yang bersifat mutlak (fundamental) – melalui
upaya penyebaran nilai-nilai demokrasi yang dilandaskan pada
liberalisme, di mana penghormatan kepada hak-hak individu dijunjung
tinggi. Dari apa yang terjadi dapat pula dilihat terdapat “tiga unsur”
kepentingan nasional AS yaitu: (1) keamanan nasional, (2) kepentingan
ekonomi global, dan (3) penyebaran demokrasi yang berazaskan
penghormatan pada HAM. Yang pertama yakni keamanan nasional merupakan
harga mati atau mutlak. Sedangkan antara kepentingan ekonomi global
dengan penyebaran demokrasi – dapat disebut sebagai kepentingan nasional
yang vital – dijadikan sebagai salah satu alat utama bagi kebijakan
luar negeri AS dalam menjamin keamanan nasionalnya.
Dari
dua kepentingan nasional yang disebutkan belakangan, prioritasnya akan
ditentukan berdasarkan pada ancaman dan tantangan global yang dihadapi
dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi. Suatu saat kepentingan
ekonomi global mendapatkan prioritas, dan pada saat lain, prioritas
bergeser pada kepentingan penyebaran demokrasi yang dilandasi oleh
penghormatan terhadap HAM. Hal ini terlihat ketika proses integrasi
Timor Timur ke dalam NKRI tengah berlangsung, pada saat itu kepentingan
ekonomi global AS terancam oleh komunis, yang mana komunis menerapkan
perjuangan menentang kapitalisme dan berupaya menghancurkannya. Oleh
karena itu, Amerika merasa perlu memberikan dukungan penuh kepada
Indonesia. Dengan demikian pada dasarnya dukungan ini diberikan dalam
rangka skenario global pembendungan komunisme, di mana AS pada saat itu
masih terlibat Perang Dingin dengan komunis Soviet. Strategi yang
diterapkan pada waktu itu adalah doktrin containment, yang dalam penerapannya dikombinasikan dengan program bantuan ekonomi Marshall Plan yang semula diperuntukkan bagi upaya Amerika membenahi perekonomian Eropa Barat yang menjadi aliansinya pasca PD II. Perpaduan doktrin pembendungan dan Marshall Plan ini kemudian dijadikan sebagai kebijakan luar negeri pembendungan (policy of containment) yang selanjutnya dimodifikasi sedemikan rupa menjadi program U.S. Security Assistance kepada
negara-negara berkembang yang hingga pada saat terus dilanjutkan. Hal
ini dilakukan seiring dengan adanya investasi-investasi AS yang
ditanamkan di negara-negara berkembang yang tersebar di seluruh belahan
dunia. Dengan demikian kebijakan U.S. Security Assistance ini pada dasarnya merupakan salah satu strategi global AS dalam upayanya meningkatkan capacity building dibidang security bagi negara-negara berkembang, yang mana kepentingan ekonomi AS terdapat dinegara tersebut.
Demokrasi yang didasarkan pada liberalisme memang memberikan dua out put yaitu dibidang ekonomi adalah perlunya free market yang mana peran pemerintah dibatasi yang kemudian menghasilkan kapitalisme, dan out put lain dibidang politik yaitu adanya penghormatan terhadap hak-hak azasi manusia. Apabila kedua out put
ini dapat berjalan seiring maka proses demokrasi akan berjalan dengan
kondusif, di satu sisi melalui peningkatan peran pasar, investasi akan
bergulir ibarat bola salju yang mampu meningkatkan perekonomian nasional
yang berujung pada pencapaian kesejahteraan yang tinggi pada seluruh
warganegara. Sementara penghormatan terhadap hak-hak individu memberikan
peluang bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak-hak azasinya
secara penuh yaitu meliputi hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk
memperoleh penghasilan yang layak, dan hak untuk mengejar kebahagiaan
serta hak-hak politik lainnya yang dijamin oleh konstitusi. Namun di
sisi lain kebebasan individu ini acap kali disalahgunakan untuk
kepentingan-kepentingan sesaat yang kemudian justru melanggar kebebasan
individu pihak lain. Kasusnya sama dengan bergulirnya kesejahteraan yang
akan menghasilkan kondisi yang semakin membaik, bergulirnya pelanggaran
hak-hak individu akan membuahkan berbagai tindak kekerasan dan tindak
kriminal yang meresahkan dan dalam skala yang lebih besar akan
menimbulkan perang antar bangsa.
Untuk
itulah perlu dibuat aturan, hukum dan perundang-undangan yang bersifat
universal. Untuk menjamin agar hukum dapat ditegakkan diperlukan
aparat-aparat keamanan, dan dalam konteks negara maka pembentukan
Angkatan Bersenjata menjadi tuntutan mutlak. Di sinilah peran dan arti
pentingnya kekuatan Angkatan Bersenjata yang akan memberikan daya
tangkal (deterrence) bagi
negara tersebut dari upaya-upaya tindak pelanggaran kedaulatan oleh
negara lain. Kekuatan Angkatan Bersenjata suatu negara memiliki peran
yang menentukan dalam rangka menjaga keamanan nasional negara tersebut.
Namun Angkatan Bersenjata yang tidak terkontrol justru akan berakibat
pada munculnya pemerintahan diktator sebagai bentuk penyalahgunaan
kekuatan bersenjata untuk kepentingan kekuasaan. Oleh karena itulah
diperlukan pembatasan dan kontrol sipil yang kuat. Untuk keperluan ini
maka dibentuk sistem pemerintahan yang saling mengontrol dan berbagi
kekuasaan. Trias politika pun hadir untuk memisahkan cabang-cabang
kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, karena demokrasi yang
sesungguhnya terletak pada harmonisasi hubungan antara ketiga cabang
kekuasaan tersebut dalam suatu sistem pemerintahan.
Demokrasi
seperti itulah yang sejatinya ingin diterapkan dan disebarkan oleh AS.
Visi Wilson merupakan salah satu visi universal tentang bagaimana
mengimplementasikan sebuah demokrasi yang ideal dan membuahkan
harmonisasi antar bangsa. Ia merumuskan visinya dalam kalimat “peace without victory,” dengan memfokuskan pada upaya menjamin keamanan nasional melalui kebijakan Liberal democratic internationalism yang selanjutnya diadopsi oleh Bush dan Clinton pasca Perang Dingin.
Dalam
menyikapi kasus Timor Timur, AS yang melihat terjadinya kerusuhan Santa
Cruz, telah berupaya melakukan pendekatan-pendekatan HAM secara
persuasif. Strategi yang digunakan tidak frontal, IMET diberikan kepada
TNI dengan memberikan berbagai pemahaman tentang sistem pemerintahan
yang demokratis, dimana hubungan sipil – militer diletakkan dalam
konteks pemerintahan yang berdasarkan pada supremasi sipil. IMET diubah
formatnya dalam bentuk Extended – IMET (E-IMET),
dalam mana hukum humaniter dan penghormatan HAM termasuk dalam mata
pelajaran yang diberikan kepada TNI peserta program ini. Namun
permasalahan Timor Timur tidak mampu dikelola dengan baik seperti
harapan pemerintah AS. Puncaknya adalah ketika terjadi pelanggaran HAM
berat di Timor Timur pasca jajak pendapat (1999) yang dilakukan oleh
kelompok pro-integrasi dan TNI diindikasikan terlibat. Sebagaimana fakta
yang diungkap oleh Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia – Timur
Leste {The Commission of Truth and Friendship (CTF) Indonesia – Timor Leste} (Maret 2008), telah
terjadi pelanggaran HAM berat pada tahun 1999 yang dilakukan baik oleh
pihak pro-integrasi – yang didukung secara institusional oleh TNI, Polri
dan Pemda – maupun pro-kemerdekaan atas lawan-lawannya. Dengan adanya
indikasi – sebelum fakta-fakta terungkap – pelanggaran HAM berat yang di
lakukan oleh milisi pro-integrasi dukungan TNI, maka pemerintahan
Clinton pada akhirnya menerapkan embargo kepada Indonesia. Seluruh
bentuk U.S. Security Assistance dihentikan.
Ketika
terjadi serangan teroris 11 September 2001 yang dilakukan oleh kelompok
muslim garis keras/radikal, AS kembali berpaling ke Indonesia untuk
memperoleh dukungan dalam memerangi terorisme yang mengancam kepentingan
goblal AS, termasuk di Indonesia. Indonesia diperhitungkan kembali
karena perannya yang cukup signifikan dalam percaturan global yang
dinilai telah berkembang sebagai negara demokratis terbesar ketiga
didunia dengan mayoritas penduduk muslim. Hal ini dianggap
selaras dengan doktrin Bush keempat, dimana disebutkan bahwa AS
memandang perlu untuk menyebarkan demokrasi didunia muslim, hal ini
memperkuat paradigma bahwa apabila demokrasi berhasil memasuki dunia
muslim, maka AS yakin bahwa kepentingan nasionalnya (terutama keamanan
nasional) akan terjaga sebagaimana yang pernah diajarkan oleh Wilson
dengan liberalismenya. Dengan alasan ini AS mengubah kembali kebijakan
luar negerinya terhadap Indonesia dan US Security Asistance dipulihkan dengan pencabutan embargo pada 22 Nopember 2005.
Sungguh, Indonesia merupakan salah satu arena (theater),
yang menggambarkan perubahan kebijakan luar negeri AS khususnya dalam
kasus proses integrasi dan lepasnya Timor Timur dari NKRI. Lepasnya
Timor Timur merupakan puncak akibat dari adanya benturan kepentingan
antara AS dan Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwasanya
memang benar telah terjadi perubahan kebijakan luar negeri AS terhadap
kasus Timor Timur, di mana pada saat proses integrasi Timor Timur
kedalam NKRI (1975) pemerintah AS memberikan dukungan baik politik
maupun security assistance.
Sementara lepasnya Timor Timur dari NKRI disebabkan oleh adanya
perubahan kebijakan luar negeri AS yang adaptif dalam menyikapi kasus
Timor Timur yang menggambarkan adanya benturan kepentingan antara kedua
belah pihak yang berpuncak pada terjadinya pelanggaran HAM berat pasca
jajak pendapat (1999). Situasi ini kemudian diikuti oleh pengumuman
pemerintahan Clinton dalam memutus hubungan militer dengan Indonesia dan
menghentikan dukungan security assistance yang
telah diberikan selama hampir 50 tahun. Namun pasca serangan teroris 11
September 2001, dimana kepentingan global AS terancam, Indonesia
kembali dirangkul dan US security Assistance
dipulihkan untuk diajak memerangi terorisme global, yang pada dasarnya
merupakan perangnya AS dalam menjaga keamanan nasionalnya. Atau dapat
pula dikatakan bahwa dukungan U.S. Security Assistance yang
diberikan kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia pada
dasarnya lebih berorientasi pada keamanan nasional yang menjadi
kepentingan nasional mutlaknya. Orientasi semacam ini memang tepat,
sebab setiap negara di dunia dalam konteks diplomasi antar negara akan
senantiasa mengutamakan kepentingan nasionalnya, di samping tetap
memperhatikan prinsip mutual benefit terhadap mitra kerjasama bilateralnya.
Beranda | Buku/Sinopsis | Bab 1 | Bab 2 | Bab 3 | Bab 4 | Bab 5 | Daftar Referensi | Tentang Penulis | Beranda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar