Beranda | Buku/Sinopsis | Bab 1 | Bab 2 | Bab 3 | Bab 4 | Bab 5 | Daftar Referensi | Tentang Penulis | Beranda
BAB 4
PARADOKSAL KEBIJAKAN BANTUAN AS TERHADAP INDONESIA
4.1. Sikap AS terhadap upaya-upaya Timor Timur dalam memperoleh kemerdekaannya
Kebijakan
luar negeri AS terhadap proses integrasi Timor Timur (1975) kepada NKRI
dari tahun ketahun nampaknya tetap dipertahankan. Hal itu tampak dalam security assistance,
meskipun tidak secara terbuka, atau paling tidak, untuk beberapa saat
setelah proses integrasi. Kebijakan ini tidak banyak diperdebatkan, baik
oleh komunitas internasional maupun oleh anggota Kongres. Hal ini tidak
lain karena pada saat itu Perang Dingin masih berlangsung, dan
kepentingan AS hadir dinegara-negara berkembang diberbagai belahan dunia
termasuk di Indonesia. Seiring penerapan doktrin pembendungan dan dalam
melindungi kepentingan-kepentingan ekonominya, AS terus menerapkan
kebijakan luar negerinya melalui pemberian security assistance. AS menyadari sepenuhnya apabila negara-negara berkembang yang mana kepentingan ekonomi AS di negara tersebut tidak diberikan security assistance – bagian dari strategi peningkatan capacity building dari aspek keamanan – maka apabila negara tersebut jatuh kerezim komunis hal ini akan mengancam kepentingan Amerika.
Terkait
dengan upaya AS melindungi kepentingan-kepentingannya diberbagai
belahan dunia, Menhan AS Harold Brown pada 5 Februari 1979
mempresentasikan proposal dukungan Dephan AS kepada negara-negara
berkembang didepan the House International Relation Committee tentang pemberian security assistance untuk Tahun Anggaran 1980 sebesar $4,236 juta. Bantuan tersebut diberikan dalam tiga jenis (three elements): (1) Military Assistance Program/MAP; (2) International Military Education Training/IMET; (3) Foreign Military Sales/FMS.
This
budget is modest in relation to our many interests around the world and
their impact on our security, economy, and general well-being. Three
elements within this total relate most directly to our worldwide defense
posture. …in Military Assistance Program funding – “MAP” – for grant
materiel aid to four countries and overall management of the security
assistance program. … in International Military Education Training funds
– “IMET” – for grant training of students from 52 foreign countries. …
in credits to 25 countries for the financing of foreign military sales. I
shall highlight the support which these programs will provide key
allies and friendly countries as I review our defense posture in the
various region of the world.[1]
Pada
tahun 1979 saat Menhan AS Harold Brown menyampaikan proposal didepan
Kongres, bantuan IMET yang telah diberikan kepada Indonesia sebesar
US$1,973,000 namun dalam pelaksanaannya terserap sebesar US$1,848,000
dengan jumlah personil TNI yang mengikuti program IMET sebanyak 195
orang. Sementara realisasi dari program yang dilaksanakan pada tahun
1980 adalah sebesar US$1,874,000 hal ini ternyata lebih besar dari yang
direncanakan yaitu sebesar US$1,639,000. Namun jumlah personil yang
dikirim mengikuti program IMET mengalami pengurangan yaitu hanya
sejumlah 173 orang.[2]
Menarik untuk menyimak pernyataan Menhan AS bahwa, U.S. Security Assistance yang
akan dialokasikan, terkait erat dengan begitu banyak kepentingan AS
diseluruh dunia dan diakui bahwa hal tersebut akan sangat berpengaruh
bagi keamanan nasional, kepentingan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat
Amerika. Oleh karena itu
dapat dipahami mengapa AS memerlukan mitra dalam menjamin
terselenggaranya seluruh kepentingan nasionalnya melalui penciptaan
citra positif kepada negara-negara berkembang sekaligus memberikan capacity building dibidang
keamanan bagi negara-negara mitra dalam mana kepentingan-kepentingan
Amerika hadir. Sikap tersebut di atas juga tercermin sewaktu AS
memberikan dukungan terhadap proses Timor Timur kedalam NKRI.
Permasalahan
integrasi Timor Timur mulai muncul kepermukaan setelah terjadi
peristiwa “Kerusuhan Santa Cruz Dilli” pada 12 November 1991. Demo di
Dilli dilakukan berkaitan dengan terbunuhnya seorang aktivis kemerdekaan
Timor Timur yang dimakamkan di pemakaman Santa Cruz sebulan
sebelumnya serta rencana kunjungan Parlemen Portugal yang batal karena
adanya keberatan dari pemerintah Indonesia. Demo ini kemudian dihentikan
oleh aparat keamanan yang dilakukan secara represif. Kerusuhan ini
membawa korban 251 orang meninggal, 382 orang terluka, dan 250 orang
menghilang. Masalahnya adalah bahwa peristiwa ini disaksikan oleh dua
wartawan Amerika, Amy Goodman dan Allan Nairm dan direkam dalam pita
video oleh Max Stahl untuk stasion televisi Yorkshire di Inggris. Video tersebut selanjutnya digunakan dalam pembuatan sebuah film dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor, dan ditayangkan di ITV Inggris pada Januari 1992.[3] Ini merupakan “casus belli” antara pemerintah AS dan Indonesia kemudian.
Pada
dasarnya peristiwa ini merupakan letupan pertama dimana permasalahan
integrasi Timor Timur menarik perhatian komunitas internasional, karena
tayangan tersebut kemudian disiarkan keseluruh dunia. Tentunya letupan
ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Permasalahan integrasi Timor Timur
sendiri pada dasarnya memang belum diakui oleh PBB yang mewakili
komunitas internasional. Tapi, masalah ini mampu bertahan sekian lama
sekalipun ditentang PBB. Tentunya semua ini tidak luput dari pengaruh
kuat yang dipancarkan oleh Amerika sebagai salah satu super power,
sementara Australia pada saat itu juga tidak terlalu mempersoalkannya,
karena adanya kepentingan dengan Indonesia tentang deposit minyak bumi
di celah Timor. Dari kacamata ini terlihat jelas bahwa dukungan Amerika
telah mampu meredam persoalan integrasi Timor Timur kedalam NKRI dari
sorotan internasional.
Peristiwa
kerusuhan ini kemudian mulai mendunia setelah munculnya gerakan
solidaritas internasional yang diawali oleh berdirinya East Timor Action Network (ETAN) di AS. Gerakan ini mulai mempersoalkan keterlibatan pemerintahnya dalam bentuk dukungan security assistance yang
secara terus menerus disalurkan kepada Indonesia dari sejak proses
integrasi Timor Timur kedalam NKRI (1975) hingga pasca kerusuhan Santa
Cruz.[4]
Kerusuhan
Santa Cruz (1991) bertepatan waktunya dengan tahun-tahun awal
berakhirnya Perang Dingin (1989 – 90). Pada saat itu kepemimpinan AS
berada dibawah Presiden George W.H. Bush menggantikan Ronald Reagan.
Bush menerapkan doktrin Liberal democratic internationalism bagi kebijakan luar negerinya.[5]
Doktrin pembendungan warisan Truman telah mulai ditinggalkan,
pembangunan ekonomi Amerika yang sukses dibawah Reagan, oleh Bush
diupayakan untuk dilanjutkan.
Perhatian utama (major concern) Presiden Bush dalam melanjutkan pembangunan ekonomi yang dilandasi oleh doktrin Liberal democratic internationalism adalah adanya kebebasan pasar (free market).
Hambatan perdagangan internasional yang dirasakan selama ini adalah
adanya hambatan tarif (bea masuk) perdagangan dengan negara-negara
tetangga dekatnya yaitu Amerika Latin. Salah satu inisiatif Bush untuk
menghapus hambatan tersebut adalah melalui upaya negosiasi dengan Mexico
dalam bentuk the North American Free Trade Agreement (NAFTA)
yang berhasil ditandatangani oleh kedua belah pihak pada Desember 1992.
Melalui perjanjian ini hambatan perdagangan dibidang tarif (bea masuk)
antara tiga negara (AS, Mexico dan Canada) dihilangkan.[6]
Sementara terkait dengan liberalisme dibidang penyebaran demokrasi, AS
menerapkan kebijakan penghormatan terhadap hak-hak individu. Oleh karena
itu permasalahan pelanggaran HAM dibeberapa negara untuk kali ini juga
menjadi perhatian utama bagi AS. Era pasca Perang Dingin juga disebut
sebagai era neoliberalism atau era kebangkitan kembali Wilsonian Liberalism sebagai alat diplomasi hubungan bilateral dan multilateral dalam mempromosikan dan melindungi hak-hak azasi manusia.
Neoliberals
have recently given great emphasis to bilateral and multilateral
diplomacy for promotion and protection of human rights. They have
brought the topic of humanitarian intervention into spotlight … This,
too, returns inquiry to focus on concerns central to idealists in the
liberal tradition of Wilson.[7]
Dengan
demikian pada saat ETAN memulai kampanyenya kepada para pejabat AS dan
Kongres untuk menghentikan bantuan IMET kepada TNI, upaya tersebut
memperoleh respon yang positif dari pemerintah maupun Kongres. Akhirnya
sebuah rancangan UU tentang penghentian program IMET dihasilkan.
Meskipun rancangan UU ini semula ditentang oleh perusahaan-perusahaan
Amerika di Jakarta seperti General Electric, McDonnell-Douglas,
Freeport-MacMoRan dan AT&T melalui lobby yang intensif kepada Kongres, nampaknya lobby
tersebut sia-sia. Pada Oktober 1992, akhirnya Kongres meloloskan
rancangan UU penghentian program IMET kepada TNI, upaya ETAN untuk
mendesak pemerintah AS bagi penghentian bantuan militer kepada Indonesia
berhasil.[8]
Keberhasilan ini tentunya tidak lepas dari kebijakan luar negeri AS
yang diterapkan pada saat itu yang memang memberikan perhatian yang
sangat besar terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM. Keberhasilan ini
diikuti oleh keberhasilan lainnya terhadap penerapan kebijakan luar
negeri AS dalam hal pembatalan rencana penjualan pesawat tempur F-5
kepada Indonesia pada tahun 1993.[9]
Pada
tahun 1993 pemerintahan Bush digantikan oleh William J. Clinton.
Pemerintahan Clinton melanjutkan kebijakan politik luar negeri Bush.
Pada tahun itu juga pemerintah AS ikut mendukung sebuah resolusi yang
mengkritik Indonesia. Resolusi ini dilaksanakan oleh Komisi HAM PBB di
Jeneva. Ini adalah untuk yang pertama kalinya AS memberikan dukungan
secara resmi bagi event seperti ini. Pada awal 1994 Deplu AS mengumumkan larangan Kongres bagi penjualan senjata ringan kepada Indonesia.
… In early 1994 the State Department announced a ban on small arms sales to Indonesia again in response to Congressional and grassroots pressure. Not since Indonesia’s invasion of East Timor in 1975 had the U.S. government suspended weapon transfer to Indonesia.[10]
Pemerintah
AS memperoleh tekanan bertubi-tubi dari berbagai kelompok solidaritas
Timor Timur yang dipelopori oleh ETAN. Bahkan ETAN mampu membangkitkan
suatu strategi yang efektif namun fleksible dalam membangun dukungan
bagi munculnya debat publik tentang Timor Timur yang mampu mempengaruhi
kebijakan AS. Sebuah argumen yang keras berhasil diciptakan oleh ETAN
yang berisi tuntutan bagi pertanggungjawaban pemerintah AS terhadap
terjadinya tindak kekerasan di Timor Timur dimasa yang lalu. Untuk itu
ETAN berupaya mengumpulkan berbagai informasi tentang tindak kekerasan
atas Timor Timur yang dapat dipercaya, serta terus melakukan lobi-lobi
secara langsung kepada Kongres.[11]
ETAN
benar-benar mampu menciptakan isu-isu tentang HAM yang sangat
mempengaruhi hubungan bilateral AS – Indonesia, dan mendesak agar
pemerintah AS mengakhiri bantuan militer kepada Indonesia dan mendukung
bagi penentuan nasib Timor-Timur oleh rakyatnya sendiri. ETAN melakukan
lobi kepada para senator dan anggota Parlemen yang simpatik, yang
menduduki jabatan yang menentukan dalam hal pemberian bantuan militer,
pelatihan dan penjualan senjata ke Indonesia. … it only could hope to affect U.S.
policy by establishing relationships with sympathetic senators and
representatives who were in a position to restrict military aid,
training, and weapons sales to Indonesia.[12] Hasilnya
antara 1992 – 99 ETAN dengan para pendukungnya telah mampu mempengaruhi
kebijakan AS dalam menghambat berbagai bentuk bantuan militer termasuk
pelatihan bagi militer Indonesia.
Keberhasilan
ETAN dalam upaya menginternasionalisasi berbagai tindak kekerasan dan
pelanggaran HAM di Timor-Timur tidak saja didalam negeri AS, namun juga
mampu mempengaruhi opini komunitas internasional. Keberhasilan ini
tentunya tidak terlepas dari dukungan pemerintah AS dibawah Presiden
Clinton yang menerapkan kebijakan politik luar negeri berdasarkan
doktrin Liberal democratic internationalism yang
diwarisi semasa pemerintahan Bush. Hal ini terbukti dengan
dinobatkannya Uskup Dilli (Belo) dan Ramos Horta sebagai pemenang hadiah
Nobel Perdamaian ditahun 1996 atas upaya mereka yang terus
memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Timor Timur
secara damai.
Masa
pemerintahan Clinton, khususnya pada paruh kedua adalah puncak dari
perubahan kebijakan luar negeri AS kepada Indonesia, khususnya setelah
Presiden Soeharto lengser dan digantikan oleh Presiden B.J. Habibie.
Pada 22 Mei 1998, sehari setelah lengsernya Soeharto, Senat AS dengan
suara bulat menghimbau Presiden Habibie untuk mendukung reformasi
demokrasi dan ekonomi di Indonesia serta meminta pula agar Habibie
mendukung referendum bagi penentuan nasib sendiri terhadap Timor Timur,
yang dalam pelaksanannya seyogianya dilakukan dengan supervisi komunitas
internasional.[13]
Habibie
memenuhi tuntutan pemerintah AS yang disampaikan melalui Senat
tersebut. Pada 5 Mei 1999 melalui mediasi PBB Indonesia dan Portugal
mencapai kesepakatan bagi penyelesaian secara politis terhadap Timor
Timur melalui pemungutan suara/jajak pendapat yang direncanakan pada
akhir Agustus 1999. Jajak pendapat ini akan menentukan apakah rakyat
Timor Timur akan menerima tawaran otonomi luas dengan tetap berintegrasi
dengan Indonesia, atau menolak dan lebih memilih untuk merdeka.
Jajak
pendapat akhirnya dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 dan
hasilnya 78,5% rakyat Timor Timur lebih memilih untuk merdeka. Hasil
jajak pendapat ini membuat milisi pro-integrasi mengalami shock
dan kemudian melakukan serangan secara membabi buta kepada rakyat Timor
Timur yang memilih untuk merdeka, serta melakukan aksi bumi hangus
terhadap berbagai fasilitas publik. Tindakan
brutal/anarkis ini mengakibatkan terjadinya arus pengungsian terhadap
lebih dari 250.000 orang yang melintasi perbatasan ke Timor Barat –
wilayah Indonesia – dan diperkirakan sebanyak 2.000 korban meninggal
dunia. Tindak anarkis milisi pro-integrasi ini diindikasikan melibatkan
unsur-unsur TNI. Pemerintah Indonesia dipersalahkan oleh komunitas
internasional berada dibalik aksi pelanggaran HAM berat ini.
…
During the approximately three weeks that followed, the TNI and its
militia destroyed an estimated 70% of the territory’s building and
infrastructure, forcibly deported about 250.000 people to Indonesia,
raped untold numbers of women, and killed upward of 2.000 people – to
create what many have called “ground zero.” …[14]
Kenyataan
pahit persoalan Timor Timur, khususnya terkait adanya pelanggaran HAM
berat terhadap keterlibatan TNI baik dilapangan maupun secara
institusional sempat menjadi perdebatan publik, baik didalam negeri
maupun dalam percaturan internasional. Namun setelah sebuah tim pencari
fakta yang bersifat independen dibentuk oleh kedua belah pihak yaitu
pemerintah Indonesia dan Timor-Leste, hasilnya menguak beberapa
kesaksian yang memang sangat disesalkan oleh semua pihak. Terlepas dari
apapun fakta tindak kekerasan yang terjadi, kedua belah pihak telah
sepakat bahwa tujuan pembentukan tim ini yang selanjutnya disebut
sebagai Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor-Leste {(The Commission of Truth and Friendship (CTF) Indonesia-Timor-Leste)} tidak
dimaksudkan sebagai dasar untuk membuat penuntutan lewat peradilan,
namun lebih diarahkan untuk pembelajaran bagi kedua bangsa, betapa
mengerikan sebuah sengketa yang melibatkan Angkatan Perang serta
berbagai ekses pelanggaran HAM yang ditimbulkan oleh kedua belah pihak.
Oleh karena itulah laporan akhir komisi ini di beri judul “Per Memoriam Ad Spem” yang bermakna “Melewati Kenangan (suram) Menuju Harapan (indah).” [15]
Dari fakta-fakta yang diungkapkan oleh Komisi ini dalam Executive Summary
disimpulkan beberapa hal yaitu: (1) bahwa pelanggaran HAM berat terjadi
dalam bentuk kejahatan kemanusiaan di Timor Timur pada 1999 dan
pelanggaran dimaksud meliputi pembunuhan, pemerkosaan ataupun pelecehan
seksual dalam bentuk lain, penyiksaan, penahanan ilegal, dan pengusiran
secara paksa yang dilakukan terhadap penduduk sipil; (2) bahwa terdapat
tanggungjawab institusional dalam berbagai tindak pelanggaran tersebut;
(3) dalam hal tindak kejahatan yang dilakukan oleh gerakan pro-otonomi,
komisi menyimpulkan bahwa kelompok milisi pro-otonomi, TNI, pemerintahan
sipil lokal (Pemda), dan Polri seluruhnya harus menerima beban
tanggungjawab institusional terhadap pelanggaran HAM berat yang
ditujukan kepada masyarakat sipil yang mendukung kemerdekaan, kejahatan
yang dilakukan meliputi pembunuhan, pemerkosaan dan pelecehan sexual,
penyiksaan, penahanan ilegal, dan pengusiran secara paksa; (4) dalam hal
tindak kejahatan yang dilakukan oleh gerakan pro-kemerdekaan, komisi
menyimpulkan bahwa karena kurangnya bukti-bukti yang menguatkan yang
ditemukan dilapangan, sulit dipastikan apakah mereka melakukan
pelanggaran, meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan bahwa kelompok
pro-kemerdekaan bertanggungjawab terhadap terjadinya pelanggaran HAM
berat dalam bentuk penahanan secara ilegal terhadap penduduk sipil yang
pro-otonomi; (5) bahwa karena adanya keterlibatan secara institusional
dalam hal terjadinya pelanggaran HAM berat dari kedua belah pihak, maka
kedua belah pihak harus menerima tanggung jawab baik secara moral maupun
politis terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan institusi
masing-masing.[16]
Sungguh,
sebuah letupan ditengah-tengah komunitas internasional sekali lagi
terjadi, dan letupan yang kedua ini ternyata jauh lebih dahsyat dari apa
yang pernah terjadi sebelumnya atas kerusuhan Santa Cruz pada tahun
1991. Kejadian ini menyebabkan Pemerintah AS dan Kongres menerima
puluhan ribu tilpon dari berbagai aktivis HAM internasional yang berisi
tuntutan agar AS segera memutus hubungan militer dengan Indonesia.
Segera sesudahnya Senator Feingold dan yang lain mengajukan rancangan UU
penghentian bantuan Amerika bagi Indonesia.[17]
Pada 9 September 1999 pemerintahan Clinton secara resmi mengumumkan
dihentikannya hubungan militer dengan Indonesia dan menuntut agar
Indonesia menerima pasukan penjaga perdamaian internasional.
Pada
12 September 1999 Presiden Habibie menyerah terhadap adanya tekanan
internasional dan kemudian mengundang pasukan pemelihara perdamaian ke
Timor Timur. Misi pemelihara perdamaian internasional – the International Force for East Timor/INTERFET
– tiba di Timor Timur pada 20 September 1999 dibawah pimpinan
Australia. Misi ini didasarkan pada Resolusi DK PBB No. 1264.[18]
Dari kenyataan ini jelas terlihat bahwa dominasi AS di PBB memberikan
pengaruh yang menentukan, sebab bila kita amati sesungguhnya pasca
serangan Indonesia atas Timor Timur, pada 12 Desember 1975 Dewan
Keamanan (DK) PBB juga telah mengeluarkan Resolusi No. 384 yang antara
lain mendesak agar Indonesia menarik pasukannya dari wilayah Timor
Timur; tidak mengakui Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia;
menuntut agar rakyat Timor Timur diberikan kesempatan untuk menentukan
nasibnya sendiri; serta meminta agar Perwakilan Khusus Sekjen PBB dapat
dikirim untuk meninjau situasi.[19]
Namun dari sekian banyak tuntutan/permintaan DK PBB hanya satu yang
dikabulkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu pengiriman Utusan Khusus
Sekjen PBB Vittorio Winspeare Guicciardi, Under-Secretary-General yang merangkap sebagai Director General of the UN Office at Geneva. Kunjungan
dilaksanakan pada tanggal 15 Januari 1976. Dan pada saat itu
pertempuran sedang berlangsung sengit antara TNI dan Falintil (Tentara
Fretilin).
Berdasarkan
laporan yang diberikan oleh Utusan Khusus Sekjen PBB, pada 22 April
1976 DK PBB mengadopsi Resolusi No. 389 yang isinya sekali lagi mendesak
agar pemerintah Indonesia segera menarik pasukannya dari wilayah Timor
Timur dan meminta agar Utusan Khusus Sekjen PBB dapat melanjutkan tugas
pemantauannya. … The Resolution again “called upon” the Government of Indonesia to withdraw without delay all its forces from the Territory and request the Special Representative to continue his assignment.[20]
Dua resolusi DK PBB No. 384 dan 389 yang mendesak agar Indonesia
menarik tentaranya tidak begitu diindahkan – karena Indonesia memiliki
alasan sendiri dan telah menganggap sah terhadap proses integrasi
tersebut – sekalipun demikian DK PBB tidak mampu mengeluarkan sanksi
apapun. Hal ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh Amerika yang
sejatinya memberikan dukungan baik secara politis maupun dalam bentuk security assistance.
Dalam
suatu laporan dinyatakan bahwa adanya perubahan kebijakan luar negeri
AS terhadap Indonesia tentang kasus Timor Timur karena keberhasilan ETAN
yang memanfaatkan munculnya teknologi komunikasi seperti internet, yang
telah memungkinkan untuk menciptakan sebuah jaringan yang mampu
menyebarkan informasi keseluruh negara dan memobilisasi suatu jajak
pendapat (pooling) yang
relatif terbatas untuk dapat bekerja dengan berbagai organisasi yang
kemudian menyatu dan mampu menjamin dan memperkuat suara organisasi
tersebut terhadap kondisi yang tidak kondusif di Timor Timur.
Selanjutnya dikatakan bahwa pada akhirnya keberhasilan jaringan
solidaritas Timor Timur di AS disebabkan oleh kemampuan organisasi
tersebut dalam mengkombinasikan argumen keyakinan moral tentang
tanggungjawab Amerika terhadap penderitaan yang dialami oleh rakyat
Timor Timur, dengan adanya tekanan fisik yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia. Lebih jauh dikatakan pula bahwa ETAN dan kelompok lainnya
mampu meyakinkan banyak penentu kebijakan Amerika agar menekan Jakarta
terkait kasus Timor Timur dengan tanpa perlu merusak hubungan bilateral
secara menyeluruh.[21]
Klaim
yang dinyatakan tersebut mungkin benar, tapi tentunya tidak sepenuhnya.
Sebagaimana uraian sebelumnya telah dikatakan bahwa perubahan kebijakan
luar negeri AS terhadap Indonesia terkait kasus Timor Timur, lebih
ditentukan oleh adanya perubahan kebijakan luar negeri AS secara global
pasca berakhirnya Perang Dingin. AS dibawah kepemimpinan Bush dan
penggantinya Clinton menerapkan doktrin Liberal democratic internationalism yang
selaras dengan paham Wilson. Dimana orientasi kebijakan luar negeri AS
berpusat pada kepentingan nasional yang mendasar atau mutlak yaitu
keamanan nasional yang dikombinasikan dengan kepentingan nasional
vitalnya yaitu pembangunan ekonomi. Dalam implementasinya terkait dengan
penyebaran demokrasi, AS sangat memperhatikan kebebasan individu
melalui penghormatan terhadap HAM. Sehingga langkah pemerintah AS
menekan Indonesia tidak terlepas dari kondisi tersebut. Tentunya
kebijakan ini tidak akan diambil, andaikata persoalan ini masih dalam
konsteks Perang Dingin, dimana AS menerapkan doktrin pembendungan.
Dengan demikian bahwa momentum lepasnya Timor Timur dari NKRI terjadi
karena adanya perubahan kebijakan luar negeri AS dalam percaturan
global.
4.2. Benturan Kepentingan Nasional AS dengan Indonesia
Salah
satu visi Presiden AS yang cukup terkenal adalah visi Presiden Woodrow
Wilson yang menyatakan tentang perdamaian tanpa kemenangan (“peace without victory”)
melalui penyebaran demokrasi keseluruh penjuru dunia dalam rangka
mewujudkan dunia yang aman. Visi Wilson ini memunculkan debat nasional
yang cukup seru pada tahun 1918 – 19, bagaimana mungkin hal tersebut
dapat terwujud dalam situasi dunia yang berada dalam kesemrawutan dan
ketidak pastian.[22]
Pada saat itu situasi dunia sedang dibayangi perang besar. Eropa
terbelah dalam dua sistem aliansi yang saling berhadapan sebagai musuh
yang kemudian memicu meletusnya Perang Dunia I. Dua aliansi besar
tersebut adalah Triple Alliance atau Central Power (German, Austria-Hungaria, dan Italia) berhadapan dengan Triple Entente (Perancis, Inggris, dan Rusia).[23]
Sementara
Amerika dibawah Wilson berupaya bersikap netral serta berupaya menjadi
mediator untuk mengakhiri perang Eropa, namun Amerika juga tidak mungkin
berdiam diri dengan situasi dunia yang sedang kacau, sebab bagaimanapun
Amerika memiliki kepentingan perdagangan global yang terganggu dengan
adanya blokade jalur perniagaan oleh dua belah pihak yang berperang,
sehingga Amerika harus mempersiapkan kekuatan untuk melindungi
kepentingan globalnya tersebut. Pada tahun 1916, ketika dilakukan
pemilihan presiden AS, Wilson kembali terpilih untuk masa jabatan kedua,
dan berbagai persiapan untuk perang terus dilanjutkan.[24]
Berbagai
upaya mediasi yang dilakukan oleh Wilson kepada kedua belah pihak yang
tengah berperang selalu menemui jalan buntu. Wilson kembali membuat
keputusan untuk melakukan mediasi, dengan harapan pendapat publik akan
dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah. Berbicara sebelumnya kepada
Senat pada 22 Januari 1917, Wilson menegaskan hak AS untuk berbagi dalam
meletakkan dasar-dasar bagi terciptanya perdamaian abadi, yang barang
kali akan terjadi “perdamaian tanpa kemenangan” atau hanya “perdamaian
diantara kesetaraan” (“peace without victory” or only “peace among equals”).[25]
Namun nampaknya upaya inipun menemui jalan buntu, sementara pertempuran
didaratan Eropa terus berkecamuk. Visi Wilson untuk menciptakan
perdamaian abadi didunia masih harus melalui perjalanan panjang untuk
dapat terwujud.
Visi
Wilson nampaknya tidak hanya menjadi sebuah visi yang sia-sia, karena
para pemimpin Amerika setelah dia mampu melihat bahwa visi Wilson
merupakan sebuah visi universal yang hanya mungkin untuk dapat
diwujudkan oleh sebuah bangsa besar seperti Amerika.
Thus, when President Clinton, like Presidents Bush (senior) and Reagan before him, speaks of his conviction that no feature of U.S. foreign policy is more critical at the end of the cold war than helping the democratic forces in Russia,
he may often be at a loss on how best to proceed. But he is
articulating his concerns for peace in a recognizable way that stretches
back across the generation, to American leaders in other time who have
speculated on what to do in the aftermath of victory and who rightly
concluded that the answer consisted in promoting the fortunes of
democracy for other the sake of American national security.[26]
Sedemikian
kondusifnya sistem pemerintahan Amerika yang mampu bertahan dari
generasi ke generasi, yang mana keamanan nasional menjadi tujuan utama
bagi bangsa ini. Keamanan Nasional benar-benar diagungkan sebagai
kepentingan nasional yang diutamakan (mutlak). Adapun strategi untuk
mewujudkan kepentingan nasional tersebut disesuaikan dengan situasi
tantangan jaman yang selalu berubah dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Pada saat Amerika menghadapi tantangan Perang Dingin,
strategi yang digunakan adalah dengan menerapkan kebijakan pembendungan (policy of containment),
dan strategi ini tentunya sudah tidak valid lagi manakala ancaman
komunis Soviet sudah tidak ada lagi dengan berakhirnya Perang Dingin
ditahun 1989 - 90 yang ditandai dengan runtuhnya USSR.
Kemenangan
AS atas Perang Dingin telah membuktikan keunggulan demokrasi Amerika
dalam mana liberalisme menjadi bagian penting dari demokrasi itu
sendiri, atau dengan kata lain liberalisme sesungguhnya merupakan nafas
dari sebuah demokrasi. Liberalisme dalam bentuk ekonomi terwujud dalam
kapitalisme, dan dalam bentuk politik diwujudkan melalui penghormatan
hak-hak individu yang menjadi dasar bagi perjuangan demokrasi Amerika
yang disebarkan keseluruh dunia.[27]
Apakah Amerika telah mengkhianati perjuangan demokrasinya disaat
mendukung Indonesia mengintegrasikan Timor Timur? Dapat diperhatikan
bahwa kepentingan nasional AS yang paling hakiki adalah keamanan
nasional. Keamananan Nasional itu pula yang dipertaruhkan pada saat
menghadapi komunisme di era Perang Dingin, dan strategi yang paling
tepat digunakan untuk menyebarkan demokrasi guna menjaga keamanan
nasionalnya pada saat itu dihadapkan pada ancaman global, adalah
kebijakan pembendungan melalui penerapan kebijakan luar negeri yang
diwujudkan dalam bentuk U.S. Security Assistance. Bertepatan
waktu itu Indonesia yang dinilai memiliki pengaruh yang cukup dominan
bagi terjaminnya kepentingan nasional AS menghadapi ancaman serupa,
sehingga Amerika tidak mungkin membiarkan Indonesia jatuh kerezim
komunis. Dengan demikian Amerika meyakini bahwa pilihannya pada waktu
itu merupakan pilihan yang tepat.
Setelah
Perang Dingin usai, ancaman global yang dialami AS dalam mempertahankan
kepentingan nasional bergeser, nilai-nilai demokrasi dalam bentuk
penghormatan terhadap hak-hak individu memperoleh porsi yang lebih
utama. AS melihat adanya berbagai pelanggaran HAM di Timor Timur yang
terus berjuang mendapatkan kemerdekaannya tidak mungkin berdiam diri
secara terus menerus. Sementara Indonesia melakukan kesalahan mendasar
dalam merebut simpati warga Timor Timur, yaitu lebih mengutamakan
pendekatan keamanan dari pada kesejahteraan, meskipun pendekatan
kesejahteraan juga dilakukan, namun tidak diimbangi dengan operasi
simpati, yang sejatinya pada saat itu juga menjadi salah satu doktrin
TNI dalam dwi fungsi, sehingga yang terjadi adalah suatu hal yang justru
kontra produktif.
Bagi
Indonesia – pada masa pemerintahan Soeharto – integrasi Timor Timur
menjadi harga mati, karena sama dengan Amerika yang mana kepentingan
nasional yang paling mendasar adalah keamanan nasional, begitu pula bagi
Indonesia dalam mana integritas NKRI termasuk Timor Timur adalah bagian
integral dari kepentingan nasional. Adapun konsekuensi yang harus
dihadapi Indonesia dalam pertempurannya dengan komunis belum berakhir,
Falintil – sayap bersenjata Fretilin dibawah pimpinan Xanana Gusmao –
terus melakukan perang gerilya dari rimbunnya hutan belukar Timor Timur.
Adapun perjuangan Fretilin secara diplomasi diprakarsai oleh Ramos
Horta dari luar negeri, yang mana perjuangan diplomasi ini memperoleh
perkuatan dengan berdirinya ETAN di AS, yang terus melakukan pendekatan (lobbying) kepada anggota-anggota Kongres dan para Senator.
Perjuangan
ETAN yang diawali seusai kerusuhan Santa Cruz telah mampu mengubah
wajah Timor Timur dipercaturan dunia. Hal ini sangat dimungkinkan dengan
semakin maraknya perkembangan teknologi informasi, sehingga jejaring
informasi mengalir sedemikian derasnya yang menandai puncak kejayaan era
globalisasi. Kerusuhan Santa Cruz menjadi titik balik yang memukul
bangsa Indonesia, dalam mana kepentingan nasional untuk mempertahankan
integrasi Timur Timor mengalami masa-masa yang sangat sulit. Bahkan
mantan Menlu Ali Alatas sempat berkomentar dengan menyatakan bahwa, the massacre (Santa Cruz) a “turning point,” which set in motion the events leading to East Timor’s coming independence.[28] Gerakan solidaritas bagi rakyat tertindas di Timor Timur mulai bermunculan di seluruh belahan dunia.
Sebuah
benturan kepentingan terjadi antara AS dengan Indonesia. AS dalam
perjuangan menghadapi tantangan global telah berubah, sementara
kepentingan nasional Indonesia yang paling utama (mutlak) yaitu menjaga
integritas wilayah nasional yang dikumandangkan sebagai wawasan
nusantara – yang mengadopsi prinsip NATO yang mana bagi Indonesia
ancaman yang dihadapi oleh salah satu teritorialnya merupakan ancaman
bagi NKRI, sedangkan prinsip NATO adalah ancaman yang dihadapi salah
satu negara anggota merupakan ancaman bersama yang harus dihadapi secara
bersama pula – tetap diperjuangkan secara all out. Timor
Timur merupakan sebuah tempat dimana benturan kepentingan nasional
kedua negara terjadi. Amerika yang mendukung pengintegrasian Timor Timur
kedalam NKRI ditahun 1975 melalui dukungan security assistance sebagai
perwujudan dukungan politisnya, kini tidak lagi hadir didalamnya.
Sementara masyarakat Amerika dan juga masyarakat dunia terperangah oleh
letupan Timor Timur yang pertama dengan adanya kerusuhan Santa Cruz,
yang disusul oleh letupan kedua yang tidak kalah dahsyat, yaitu serangan
milisi pro-integrasi – yang ditenggarai memperoleh dukungan TNI
–terhadap orang-orang tak berdosa yang menginginkan kemerdekaan Timor
Timur, yang telah menjadi korban sia-sia pasca jajak
pendapat tahun 1999. Dunia benar-benar terperangah, dan perjuangan
diplomasi Ramos Horta yang didukung oleh ETAN akhirnya mampu menembus
Kongres AS. Presiden Clinton tidak berdaya menghadapi desakan
masyarakatnya sendiri dan komunitas dunia. Embargo diumumkan, seluruh
bentuk U.S. Security Assistance kepada Indonesia dihentikan.
Disadari
atau tidak, Indonesia telah mewarisi benih-benih demokrasi dari Barat
dan telah diadopsi dalam bentuk pemerintahan yang menganut sistim
pembagian kekuasaan sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para pendiri
bangsa didalam UUD 45. Namun sayangnya para pemimpin bangsa Indonesia
pada saat itu terlalu menyepelekan hal-hal mendasar tentang penerapan
hak-hak warganegara dalam menentukan nasibnya. Kesalahan terbesar yang
telah dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah pada saat penetapan
integrasi Timor Timur kedalam NKRI. Pada waktu itu proses integrasi ini
direncanakan untuk dilakukan melalui referendum bagi warga Timor Timur
setelah Indonesia berhasil menduduki wilayah tersebut. Namun dengan
pertimbangan rendahnya tingkat kecerdasan rakyat dikhawatirkan mereka
tidak mampu melaksanakan hak pilihnya. Akhirnya keputusan integrasi
Timor Timur hanya dilakukan melalui sistem perwakilan dalam bentuk
petisi yang dianggap telah mewakili keinginan rakyat Timor Timur, dan
referendum dibatalkan. Indonesia lupa bahwa legitimasi integrasi Timor
Timur kedalam NKRI berdasarkan ketentuan internasional mengalami cacat
hukum, karena hak individu masyarakat Timor Timur tidak dihormati.
Andaikan
proses integrasi Timor Timur dilakukan lewat referendum, dengan
pengalaman pahit sebagian besar rakyat Timor Timur pernah berada dalam
penjajahan Portugis, serta tindakan komunis yang kurang dapat diterima
oleh kebanyakan warga, mungkin referendum akan menjadi pilihan sebagian
besar warga Timor Timur untuk berintegrasi dengan Indonesia, yang secara
ekonomi pada saat itu cukup menjanjikan bagi mereka yang menginginkan
perubahan yang lebih baik. Apabila integrasi Timor Timur berhasil
dilakukan melalui referendum, mungkin dukungan internasional akan lebih
positif dan upaya bangsa Indonesia dalam mempertahankan integrasi akan
lebih ringan dengan adanya pengakuan komunitas internasional. Namun
sayangnya Indonesia menempuh cara yang tidak tepat, yang membuat
integrasi Timor Timur menjadi agenda PBB (internasional) yang dianggap
tidak tuntas dan mengandung cacat hukum. Dalam sebuah tulisan penelitian
dinyatakan:
…
namun perlu dicatat Indonesia telah melakukan kesalahan saat menjelang
integrasi tahun 1976, yakni dibatalkannya rencana referendum pada saat
itu, karena rendahnya tingkat kecerdasan rakyat dan dikhawatirkan tidak
mampu melaksanakan hak pilihnya, walaupun ini mungkin keinginan rakyat
TimTim melakukan integrasi dengan Indonesia tanpa referendum, tetapi
Indonesia sebagai negara yang sudah berpengalaman dalam masalah demikian
…, seharusnya Indonesia menolak keinginan integrasi tanpa referendum
tersebut, apalagi jika integrasi tanpa referendum tersebut merupakan
keinginan Indonesia, maka Indonesia sesungguhnya telah melakukan
kesalahan, karena Indonesia telah mengabaikan nilai-nilai demokrasi yang
universal dan kemudian hal ini akhirnya menjadi ganjalan Indonesia di
forum internasional.[29]
Disinilah
yang sejatinya menjadi suatu permasalahan mendasar yang membuat
kepentingan nasional Amerika tidak lagi konvergen dengan kepentingan
nasional Indonesia. Amerika dalam penerapan demokrasi yang dialiri oleh
nafas liberalisme sangat menghormati hak-hak individu yang merupakan
ciri demokrasi universal, sedangkan Indonesia tidak mau belajar dari
perjalanan sejarah masa lalu, para pemimpin Indonesia pada waktu itu
cenderung terkungkung oleh hal-hal yang lebih bersifat retorika yang
hanya memiliki nilai momentum sesaat, kurang melihat visi jauh kedepan.
Mungkin disini pula letak perbedaan mendasar dengan para pemimpin
Amerika, sebagaimana digambarkan pada visi Wilson yang mampu melihat
kondisi sesaat bangsanya yang menghadapi situasi ketidak pastian politik
internasional, yang kemudian menghubungkan dengan keinginan jangka
panjang bagi kepentingan bangsanya. Visi yang barangkali pada saat itu
lebih bersifat mimpi, namun mimpi tersebut mampu ditangkap oleh para
pemimpin generasi sesudahnya, yang kemudian berupaya dengan segala daya
mewujudkannya melalui strategi yang tepat dihadapkan pada tantangan dan
ancaman jaman, yang kemudian menjadi landasan bagi bangsa Amerika dalam
memenuhi kebutuhan hakiki bagi setiap umat manusia secara universal
yaitu keamanan, yang kemudian melahirkan sebuah kepentingan nasional
yang abadi (mutlak) yaitu keamanan nasional.
Berakhirnya
Perang Dingin 1989 – 90 Amerika dipimpin oleh Presiden George W. H.
Bush. Dalam pemerintahannya Bush – dalam hal urusan luar negeri –
melakukan pendekatan liberalisme kritis, yang ditandai dengan
dimunculkannya kebijakan luar negeri yang difokuskan untuk menjamin
keamanan nasional. Kebijakan ini dikenal sebagai doktrin Liberal democratic internationalism. Kebijakan
ini didukung oleh Menlu James Baker yang juga memiliki visi yang senada
dengan Bush, bahkan Baker menyatakan dirinya sebagai pelaksana doktrin Liberal democratic internationalism. Yang
menarik dari pengakuan ini, Baker dalam suatu acara dengar pendapat
dengan Senat (1989) ia menyatakan bahwa kebijakan luar negeri AS akan
menerapkan idealisme dan nilai-nilai Amerika yakni kebebasan, demokrasi,
persamaan hak, penghormatan pada hak-hak individu (respect for human dignity), dan bermain jujur (fair play).[30]
Apa yang dilakukan oleh Bush pasca Perang Dingin selaras dengan visi
Wilson yang memperjuangkan demokrasi keseluruh dunia berdasarkan
liberalisme demi terjaminnya keamanan nasional. Momentum ini relatif
berdekatan dengan kerusuhan Santa Cruz, suatu peristiwa yang memang
sangat tidak kondusif bagi Indonesia.
Dari
apa yang telah diuraikan di atas, semakin terlihat jelas bahwa benturan
kepentingan ini telah mulai muncul pada saat itu. Di satu sisi Amerika
tengah meluncurkan kebijakan luar negeri Liberal democratic internationalism yang salah satunya mengedepankan penghormatan pada hak-hak individu, sementara
di sisi lain Indonesia mempertontonkan suatu adegan yang sangat
bertentangan dengan kebijakan luar negeri AS, yakni terjadinya kerusuhan
Santa Cruz yang sarat dengan pelanggaran HAM yang kemudian tersiar
keseluruh penjuru dunia. Dengan demikan gerakan solidaritas Timor Timur
di Amerika yang diawali dengan kemunculan ETAN ibarat gayung bersambut
dengan kebijakan politik luar negeri AS. Kemudian membuat Indonesia
semakin ditinggalkan oleh AS. Pada periode jabatan presiden sesudahnya,
Bush digantikan Bill Clinton yang mengadopsi kebijakan luar negeri Bush
dalam hampir semua aspek.[31] Clinton memerintah AS selama 2 periode kepemimpinan, perhatian AS terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM sangat besar.
Mengutip “U.S.
Democracy Promotion Program in Asia,” Hearing before the Subcommittee
on Asia and The Pacific of the Committee on International Relations,
House of Representatives, 105th Congress, first session, September 17, 1997, Washington, 1998 seorang peneliti menyatakan:
Salah
satu pilar penting politik luar negeri AS adalah menyebarluaskan
nilai-nilai demokrasi dan HAM ke seluruh penjuru dunia, khususnya Asia. Hal ini secara tegas diungkapkan oleh Secretary of State, Madeline Allbright, dengan menggarisbawahi kebijakan diplomasi HAM pada kebijakan AS terhadap Asia.[32]
Dari
situasi ini, tidak mengherankan bahwa perjuangan ETAN dengan berbagai
gerakan sejenis yang tersebar tidak saja di Amerika, namun juga
dibeberapa belahan dunia lain, mendapatkan momentum yang tepat untuk
mendesak para pemimpin dunia melakukan tekanan terhadap Indonesia.
Tekanan ini, kembali memperoleh momentum yang tepat pada saat Indonesia
dipimpin oleh Presiden Habibie, yang memperoleh pendidikan tinggi di
Jerman. Akhirnya Habibie memutuskan menerima desakan komunitas
internasional yang dipelopori oleh PBB dan terutama desakan yang
disampaikan oleh Senat Amerika, agar Indonesia menyelenggarakan
referendum bagi masyarakat Timor Timur untuk menentukan nasibnya
sendiri, apakah memilih tetap berintegrasi dengan Indonesia atau
merdeka.
Difasilitasi lembaga internasional dengan supervisi PBB yaitu the U.N. Mission to East Timor (UNAMET)
yang dibentuk pada bulan Juni 1999 – kira-kira satu bulan setelah
negosiasi Indonesia dan Portugal disepakati pada 5 Mei 1999 – referendum
penentuan nasib Timor Timur dilaksanakan pada 30 Agustus 1999, yang
hasilnya adalah Timor Timur memilih merdeka. Hal ini membuat milisi
pro-integrasi Timor Timur melakukan serangan brutal yang menewaskan
banyak warga Timor Timur yang memilih merdeka, yang mana tindakan brutal
milisi pro-integrasi ini diindikasikan terdapat keterlibatan
unsur-unsur TNI. Hal inilah yang membuat pemerintah AS memberikan sanksi
embargo bagi TNI, yang merupakan puncak ketidak harmonisan kepentingan
nasional kedua negara, atau dengan kata lain kepentingan kedua negara
sudah tidak lagi konvergen.
4.3. AS mencabut U.S. Security Assistance dan menerapkan embargo kepada TNI pasca jajak pendapat kemerdekaan Timor Timur
Pasca
jajak pendapat yang dimenangkan oleh pro-kemerdekaan telah membuat
frustasi bagi pihak pro-integrasi, khususnya bagi para milisi yang
selama ini berjuang bersama TNI memerangi Falintil pimpinan Xanana
Gusmao. Maka tidak mengherankan rasa frustasi itu mengakibatkan tindakan
yang tidak terkontrol. Pada saat menjelang pemungutan suara dengan
supervisi PBB meskipun di satu sisi AS mendesak pemerintahan Habibie
melalui Senat, namun di sisi lain pemerintahan Clinton masih bersedia mendengar permintaan Indonesia agar pasukan internasional yang digagas oleh PBB dan dipelopori Australia tidak dihadirkan selama berlangsungnya pemungutan suara (jajak pendapat). Indonesia
menyatakan kepada PBB dan pemerintah AS akan bertanggungjawab untuk
mengawal pelaksanaan jajak pendapat dan menjamin bahwa jajak pendapat
akan berlangsung aman. Amerika sebagai negara yang menerapkan azas
demokrasi liberal dalam percaturan internasional menghormati sepenuhnya
terhadap keinginan Indonesia tersebut.
Sejatinya pemerintah Amerika berupaya mendukung Indonesia sepenuhnya sejak Indonesia
mengintegrasikan Timor Timur kedalam wilayahnya hingga berbagai
perjuangannya dalam upaya menghadapi perlawanan pasukan komunis Falintil
dibawah pimpinan Xanana Gusmao. Dukungan militer (security assistance)
bahkan terus diberikan hingga tahun 1997, sekalipun Kongres dan ETAN
berupaya menghentikan bantuan militer tersebut. Penghentian bantuan
militer memang pernah dilakukan pasca kerusuhan Santa Cruz.
Namun hanya sebatas program IMET, itupun atas desakan Kongres yang
dipelopori seorang Senator yang kemudian mendapatkan dukungan dari
beberapa Senator yang lain. Pada tahun 1994 program IMET dihidupkan
kembali setelah dibekukan selama 3 tahun. Menurut Menlu Warren
Christopher dihidupkannya kembali program IMET “merupakan suatu hal yang
penting” untuk mempromosikan “reformasi militer” di Indonesia.[33] Pada awal tahun yang sama (1994) Deplu AS mengumumkan larangan bagi penjualan senjata ringan kepada Indonesia untuk memenuhi desakan Kongres. Bahkan pada tahun 1996 format IMET diubah menjadi Extended – IMET (E-IMET)
yang dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang
hukum humaniter, hubungan sipil-militer yang proporsional dalam
pemerintahan sipil, serta penghormatan terhadap HAM. Secara keseluruhan
pada masa pemerintahan Clinton terungkap bahwa bantuan militer yang diberikan kepada Indonesia senilai + US$150 juta. Sepertinya AS dalam menerapkan kebijakan luar negerinya bersifat mendua (double standard).
The degree of cooperation between Washington and Jakarta is impessive. US weapons sales to Indonesia amount to over $1 billion since the 1975 invation. Military aid during the Clinton
years is about $150 million, and in 1997 the Pentagon was still
training Kopassus units, in violation of the intent of congressional
legislation. In the face of this record, the US government lauded “the value of the years of training given to Indonesia’s future military leader in the US and millions of dollars in military aid for Indonesia.” [34]
Dari
catatan tersebut diatas, terlihat bahwa pemerintah AS sejatinya masih
menaruh perhatian terhadap Indonesia, dan berharap bahwa reformasi di
Indonesia akan diawali oleh para petinggi dengan latar belakang militer
yang pernah mendapatkan pendidikan militer di AS melalui program IMET.
Tapi apakah perhatian yang diberikan ini benar-benar menjadi dasar
kebijakan luar negerinya? Sebagaimana diketahui bahwa kepentingan
nasional yang bersifat mutlak bagi setiap bangsa didunia dan menjadi
dasar bagi penentuan kebijakan luar negeri adalah menjamin kelangsungan
hidup dan mempertahankan integritas teritorial bagi suatu komunitas
sebuah bangsa dan negara. Disamping itu terdapat kepentingan nasional
yang dianggap vital yaitu kepentingan ekonomi yang mungkin bisa berada
dimanapun, dan juga menjadi salah satu dasar bagi penentuan kebijakan
luar negeri suatu negara. Keith R. Legg dan James F Morisson merumuskan
hubungan kepentingan nasional dengan kebijakan luar negeri sebagai
berikut:
The
most fundamental source of foreign policy objectives is perhaps the
universally shared desire to insure the survival and territorial
integrity of community and state. … the single most important set of
domestic source of foreign policy are the economic needs of the
community. [35]
Dengan
demikian bahwa sikap AS yang terlihat mendua ini pada dasarnya tidak
terlepas dari upayanya menjamin kepentingan nasional mutlaknya dan
sekaligus kepentingan nasional vitalnya. Dalam hal ini secara khusus
ditujukan untuk menjamin kelangsungan hidup atau keamanan nasionalnya
dan kepentingan ekonomi globalnya. Dan untuk mencapai dua kepentingan
nasionalnya tersebut berbagai strategi dirumuskan dalam bentuk-bentuk
doktrin. Dan doktrin yang diterapkan oleh Clinton yang meneruskan doktrin Bush dan diwarisi dari pemikiran Wilson
telah memaksa AS menerapkan strategi yang tampak mendua tersebut. Di
satu sisi faham demokratik liberal dibidang ekonomi mengharuskan Amerika
menerapkan free market antara
lain melalui pembentukan NAFTA. Sementara kepentingan ekonomi AS di
Indonesia juga tidak kecil dengan adanya investasi yang ditanamkan
diberbagai sektor seperti minyak bumi, pertambangan dan jasa.
Sedangkan
di sisi lain faham demokratik liberal dibidang politik mengharuskan AS
bersikap tegas dalam hal menyikapi berbagai pelanggaran HAM diseluruh
penjuru dunia sebagai salah satu upaya penyebarluasan nilai-nilai
demokrasi. Itulah sebabnya sekalipun AS menentang pelanggaran HAM
terhadap kasus Timor Timur, khususnya pasca kerusuhan Santa Cruz, serta
berbagai tindak kekerasan TNI dalam memerangi Falintil, pemerintah AS
nampaknya masih memberikan toleransinya, hal ini mengingat adanya
berbagai kepentingan ekonomi yang cukup signifikan di Indonesia. Dengan
demikian penjualan senjata dan bantuan militer lainnya yang dilakukan
kepada Indonesia selama periode ini tentunya tidak terlepas juga dari upaya AS dalam menjamin kepentingan-kepentingan nasionalnya.
Situasi
pasca jajak pendapat Timor Timur, nampaknya tidak dapat lagi dihindari
oleh AS. Hal ini disebabkan permasalahan ini telah menjadi perhatian
dunia, dan pemerintah AS bahkan dipojokkan oleh publiknya sendiri baik
melalui ETAN maupun Kongres. Oleh karena itulah akhirnya pemerintah AS terpaksa menerapkan embargo menyeluruh terhadap Indonesia yang salama ini diberikan dalam bentuk security assistance selama hampir 50 tahun (sejak 1950 – 1999). Presiden Clinton pada tanggal 9 September 1999 menyatakan, “if Indonesia does not to end the violence it must invite the international community to assist in restoring security.” Dan pada tanggal yang sama Washington memutus/menghentikan bantuan militer bagi Indonesia sebesar US$476,000.[36] Namun ternyata jumlah bantuan (U.S. Security Assistance) yang
dihentikan tersebut berdasarkan penjelasan yang disampaikan oleh
penasehat keamanan presiden, Sandi Berger jauh lebih besar dari data
tersebut.
… that what had not already been delivered of about $40 million in outstanding U.S.
government-to-government sales through the Pentagon’s Foreign Military
Sales (FMS) program and some $400 million in commercial arms sales would
be put on hold. A Defense Department official subsequently said the
suspension would halt $7 million in undelivered FMS items.[37]
Sikap mendua AS ini akhirnya diakui oleh James Rubin, Juru Bicara Deplu AS yang menyatakan bahwa, “We did the best that could be done under extremely difficult circumstance.”[38]
Sebuah pengakuan yang disampaikan dengan bahasa diplomasi tingkat
tinggi untuk mengungkap tentang adanya paradoksal kebijakan bantuan AS
terhadap Indonesia dalam menyikapi kasus Timor Timur.
4.4. Kebijakan AS Pasca 11 September 2001
Menarik
untuk dicermati lebih lanjut tentang kebijakan luar negeri AS terhadap
Indonesia setelah terjadinya serangan kelompok teroris Osama bin Laden
atas dua simbol kebanggaan/hegemoni Amerika dalam percaturan dunia,
yaitu Pentagon yang merupakan simbol hegemoni kekuatan militer dan WTC
yang merupakan simbol hegemoni ekonomi. Osama bin Laden dengan Al-Qaeda
merupakan kelompok teroris dari aliran Islam garis keras (radikal) yang
merasakan atau setidak-tidaknya memberikan penilaian yang ekstrim
terhadap sikap Amerika selama ini dalam memperlakukan kelompok muslim.
Osama bin Laden dan kelompoknya menilai Amerika tidak adil dalam
memperlakukan muslim di kawasan Timur Tengah, khususnya sikap AS dalam
membela Israel atas musuhnya Palestina. Amerika yang menyebut dirinya
sebagai negara demokratis dan memperjuangkan demokrasi bagi dunia,
dinilai tidak mampu menekan Israel yang merupakan sekutu dekatnya yang
telah mencaplok wilayah Palestina dan bahkan memberikan dukungan
persenjataan dan bantuan ekonomi/finansial yang nilainya sangat
fantastis dari tahun ke tahun. Israel yang dianggap
sebagai musuh Islam, telah menginjak-injak nilai-nilai demokrasi
terhadap kaum Palestina, sikap ketidakadilan yang kontra produktif
terhadap nilai-nilai demokrasi universal inilah yang membuat kelompok
Osama bin Laden memusuhi Amerika. Osama bin Laden sebagai aktor “non state”
memiliki keleluasaan dalam menjalankan aksi terornya terhadap Amerika
dan berbagai kepentingannya diseluruh dunia. Osama bin Laden dengan
kelompoknya telah mampu menyebarkan faham jihad atas perangnya dengan
Amerika, dan Osama bin Laden telah mampu membentuk dan memperluas
jaringan Al-Qaeda dinegara-negara berpenduduk muslim diseluruh dunia.
Jaringan ini bahkan telah mampu menembus Indonesia yang menyerang
berbagai kepentingan Amerika beserta sekutu dekatnya.
Penilaian
Osama ini, mungkin benar dari sisi perjuangannya, namun kebijakan AS
terhadap kasus Timur Tengah dalam format yang berbeda mungkin relatif
sama dengan kebijakan AS terhadap proses integrasi Timor Timur. Hanya
saja konteksnya jauh berbeda. Di satu sisi Israel mampu melakukan lobby yang sangat kuat terhadap pemerintah AS beserta Kongres,[39] di sisi lain Indonesia tidak memiliki kemampuan seperti itu, bahkan yang melakukan lobby
adalah lawan politik Indonesia, yakni ETAN yang mendukung perjuangan
Ramos Horta. Dengan demikian dukungan AS terhadap Israel tidak pernah
berubah, meskipun negara-negara Islam berupaya menyuarakan aspirasinya
terhadap sikap double standard AS terhadap Timur Tengah tersebut.
Serangan
atas Pentagon dan WTC pada 11 September 2001 merupakan serangan puncak
Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Berbagai langkah akhirnya ditempuh
oleh Amerika yakni Kongres menetapkan USA-PATRIOT Act yang
merupakan langkah strategis dalam rangka memutus aliran dana perjuangan
Al-Qaeda dalam menyebarkan teror di seluruh dunia, melalui pemblokiran
rekening-rekening yang dicurigai milik mereka. Dan tidak hanya terbatas
pada kegiatan pemutusan aliran dana bagi kelompok teroris, ketentuan (Act) ini juga memberikan kekuasaan yang luar biasa bagi pemerintah AS untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan.
…
Serangan teroris Al-Qaeda terhadap WTC dan Pentagon, 11 September bukan
membuat masyarakat Amerika terpecah belah, … Kohesivitas itu tampak
pada pengesahan the USA-PATRIOT Act, tanggal
26 Oktober 2001. Suatu kekuasaan yang luar biasa diberikan oleh Kongres
Amerika kepada pemerintah untuk membasmi teroris tanpa melalui
penerapan hukum terlebih dahulu… Jaksa Agung John D. Ashcrof mempertegas
kekuasaan pemerintah dengan menyatakan “Think outside the box, but not outside the constitution.”[40]
Dalam hal ini nampaknya AS menganut sebuah mashab tentang keamanan nasional yang menyatakan bahwa:
Jika
kebijakan yang dilakukan oleh suatu negara untuk keamanan nasionalnya
bertentangan dengan sistem internasional secara keseluruhan atau
anggota-anggota yang lain asalkan kepentingan negara-bangsa tetap
terjamin, maka kebijakan tersebut relevan untuk bangsa yang
bersangkutan.[41]
Hal
tersebut pada dasarnya menunjukkan konsistensi AS dalam menerapkan
doktrin maksimalisme melalui strategi yang tepat dihadapkan pada setiap
perubahan ancaman globalnya. Mashab ini nampaknya tidak hanya dianut
oleh AS, sebagai contoh China juga menganutnya pada saat menghentikan
demo mahasiswa di Lapangan Tiananmen secara represif. Indonesia
sebenarnya disadari atau tidak pada saat melakukan tindakan menyerang
demonstran di Santa Cruz juga dapat dibenarkan bila dikaitkan dengan
mashab tersebut, hanya saja mashab ini mungkin dapat dikatakan efektif
jika dilakukan oleh sebuah negara dengan kekuatan militer yang tiada
bandingnya sebagaimana yang dimiliki oleh AS, atau paling tidak memiliki
kemampuan detterence yang
tinggi sebagaimana China. Sedangkan Indonesia tidak memiliki tingkat
kemampuan militer sebagaimana yang dimiliki AS dan juga tidak memiliki
tingkat kemampuan detterence sebagaimana yang dimiliki oleh China. Itulah sebabnya kerusuhan Santa Cruz justru menjadi titik balik bagi proses terlepasnya Timor Timur.
Langkah
AS selanjutnya – berbekal USA-PATRIOT Act yang memberikan kekuasaan
luar biasa dari Kongres – dibawah kepemimpinan George W. Bush menetapkan
doktrin melawan terorisme global sebagai grand strategy baru. Indonesia yang merupakan negara berpenduduk muslim terbesar didunia dinilai penting dalam mendukung pelaksanaan grand strategy baru tersebut dalam memerangi ancaman terorisme global yang menyerang dengan senjata-senjata pemusnah massal (weapon mass destruction/WMD). Dengan
demikian perubahan kebijakan AS ini dilakukan tidak terlepas dari
upayanya dalam menjamin keamanan nasional, yang merupakan bagian dari
kepentingan nasional yang bersifat mutlak (fundamental) serta dalam
upaya menyebarkan nilai-nilai demokrasi yang dilandaskan pada
liberalisme, dalam mana penghormatan terhadap hak-hak individu dijunjung
tinggi.
Dari
apa yang terjadi dapat pula dilihat bahwa dari tiga unsur kepentingan
nasional AS yang meliputi (1) keamanan nasional, (2) kepentingan ekonomi
global, dan (3) penyebaran demokrasi yang berazaskan penghormatan pada
HAM, maka keamanan nasional merupakan harga mati. Sedangkan antara
kepentingan ekonomi global dengan penyebaran demokrasi dijadikan sebagai
salah satu alat utama bagi kebijakan luar negerinya dalam menjamin
keamanan nasionalnya. Dari dua kepentingan nasional yang disebutkan
terakhir, prioritasnya akan ditentukan oleh ancaman dan tantangan global
yang dihadapi dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi. Suatu
saat kepentingan ekonomi mendapatkan prioritas, dan disaat lain
prioritas bergeser pada kepentingan penyebaran demokrasi yang dilandasi
oleh penghormatan terhadap HAM. Hal ini terlihat ketika proses integrasi
Timor Timur kedalam NKRI tengah berlangsung, pada saat itu kepentingan
ekonomi global AS terancam oleh komunis, yang mana komunis menerapkan
perjuangan menentang kapitalisme dan berupaya menghancurkannya. Oleh
karena itu, Amerika merasa perlu memberikan dukungan penuh kepada
Indonesia. Dukungan ini diberikan dalam rangka skenario global
pembendungan komunisme, yang mana AS masih terlibat Perang Dingin dengan
komunis Soviet. Salah satu doktrin yang diterapkan adalah doktrin containment, yang dalam penerapannya dikombinasikan dengan program bantuan ekonomi Marshall Plan yang semula diperuntukkan bagi upaya Amerika membenahi perekonomian Eropa Barat yang menjadi aliansinya.
Perpaduan doktrin pembendungan dan Marshall Plan ini kemudian dijadikan sebagai kebijakan luar negeri pembendungan (policy of containment) yang selanjutnya dimodifikasi sedemikan rupa menjadi program U.S. Security Assistance kepada
negara-negara berkembang. Hal ini dilakukan seiring dengan adanya
investasi-investasi AS yang ditanamkan di negara-negara berkembang yang
tersebar diseluruh belahan dunia. Dengan demikian kebijakan U.S. Security Assistance ini pada dasarnya merupakan salah satu strategi global AS dalam upayanya meningkatkan capacity building dibidang security bagi negara-negara berkembang, dalam mana kepentingan AS hadir dinegara tersebut.
Dalam
konteks proses integrasi Timor Timur kedalam NKRI, pihak AS memberikan
dukungan penuh baik berupa dukungan politis maupun dukungan dalam bentuk
security assistance. Dalam
hal ini AS tetap berpedoman pada kepentingan nasional negaranya guna
menjamin keamanan nasional. Namun harus diakui pada saat itu mungkin
aspek-aspek penghormatan terhadap hak-hak individu agak dikesampingkan.
AS dalam melakukan kebijakan luar negerinya pada saat itu lebih
mengutamakan pendekatan kepentingan ekonomi global yang terancam oleh
rongrongan komunisme yang menjadi ancaman globalnya. Dengan demikian apa
yang dilakukan oleh AS adalah merupakan bagian dari skenario global
yang memang menjadi pilihan yang paling tepat untuk diterapkan pada saat
itu. Sementara lepasnya Timor Timur dari NKRI juga tidak dapat
dilepaskan dari adanya perubahan kebijakan global AS pasca Perang
Dingin. Proses perubahan diawali pasca terjadinya kerusuhan Santa Cruz,
yang pada saat itu Amerika menerapkan kebijakan Liberal democratic internationalism yang
lebih mengedepankan penghormatan HAM. Perubahan kebijakan ini memuncak
pasca terjadinya kerusuhan pasca jajak pendapat Timor Timur 1999 dengan
diterapkannya embargo kepada militer Indonesia sebagai bentuk nyata dari
perubahan kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia. Serangan teroris
11 September 2001 telah memaksa AS kembali merubah kebijakan luar
negerinya terhadap Indonesia untuk memulihkan hubungan militer yang
telah diputus melalui embargo. Tahun 2000 Indonesia telah mulai diijinkan untuk membeli suku cadang dan komponen senjata yang tidak mematikan (non-leathal weapon component/spare parts).
Tahun 2003 IMET secara bertahap mulai dipulihkan dan akhirnya pada
tahun 2005 secara resmi embargo dinyatakan dicabut, hubungan militer
kedua belah pihak dipulihkan secara penuh.
Perubahan
kebijakan ini – sekali lagi – pada dasarnya diawali ketika terjadi
serangan teroris 11 September 2001 yang telah membuat Amerika menjadi
gusar, dan mendorong untuk merumuskan grand strategy baru dalam
melindungi keamanan nasionalnya terhadap serangan terorisme. Pada
Januari 2002 Bush menyampaikan pidato pada rapat gabungan Kongres yang
selanjutnya dikenal sebagai Doktrin Bush. Adapun pidato yang disampaikan
antara lain menyatakan bahwa AS akan membasmi sarang-sarang teroris,
mengacaukan rencana-rencana teroris, serta membawa para teroris ke
pengadilan. AS harus mencegah para teroris dan pemerintahan manapun yang
berusaha mengembangkan senjata kimia, biologi, atau nuklir yang akan
mengancam AS dan seluruh dunia. Negara-negara yang diindikasikan oleh AS
seperti tersebut diatas, oleh Robert Kagan disebut sebagai rogue state seperti Iraq, Iran dan Korea Utara, yang oleh Bush dijuluki sebagai “axis of evil.”[42] Namun
juga dikatakan bahwa waktu berada diluar kontrol AS. Oleh karena itu AS
tidak akan menunggu terjadinya suatu peristiwa yang akan membahayakan
terakumulasi dan menjadi kenyataan. AS tidak akan membiarkan resiko
datang mendekat dan semakin mendekat. AS tidak akan
mengijinkan/membiarkan suatu pemerintahan yang sangat membahayakan dunia
dan mengancam AS dengan senjata yang akan menghancurkan dunia.[43]
Adapun strategi baru dalam memerangi terorisme, sesuai rumusan U.S. NSS (The National Security Strategy of the United States of America), yang telah dirilis oleh Gedung Putih pada tanggal 17 September 2002 adalah:
(1) Preemption. … (The USA
could) the preemptive use of military forces against terrorists or
state sponsors of terrorism that attempt to gain or use WMD; (2) Military Primacy.
… (The USA)’s unparalleled position of power in the world and held that
a fundamental goal of grand strategy should be maintain American
primacy by discouraging the rise of any challengers; (3) A new Multilateralism …, while the USA will constantly strive to enlist the support of the international community, but he will not hesitate to act alone; (4) The Spread of Democracy. …(It)
was not just about power and security, (but) also committed the United
States to spread democracy worldwide and promote the development of free
and open societies on every continent,… especially in the Muslim world. [44]
Salah
satu butir dari doktrin Bush dalam memerangi terorisme global yaitu
butir keempat, dalam mana AS menyatakan perlunya upaya untuk menyebarkan
demokrasi keseluruh dunia dan mempromosikan berkembangnya masyarakat
yang bebas dan terbuka di setiap benua, khususnya didunia muslim.
Nampaknya AS hingga saat ini tetap meyakini ajaran liberalisme Wilson
yakni manakala demokrasi dapat disebarkan dan diterapkan diseluruh
dunia, maka dunia akan aman dan damai, sehingga akan berdampak bagi
terjaminnya keamanan didalam negerinya.
Dalam
konteks ini, kemudian AS melihat perkembangan demokrasi di Indonesia
sebagai negara berpenduduk muslim terbesar didunia dinilai cukup
signifikan dalam mana proses reformasi berjalan seiring antara
pemerintahan dan di tubuh TNI, oleh karena itulah Amerika berusaha
memperbaiki hubungan dengan Indonesia, khususnya dengan TNI. Amerika
juga memperhatikan tentang reformasi yang dilakukan di tubuh TNI dengan
dilembagakannya reformasi tersebut dalam kebijakan pertahanan negara
Indonesia yang dimuat dalam “Buku Putih” (Kebijakan bidang) Pertahanan
yang diterbitkan pada tahun 2003 dengan judul “Mempertahankan Tanah Air
Memasuki Abad ke-21.” Dalam Bab II buku tersebut di ulas tentang
komitmen TNI untuk mendukung kebijakan pemerintahan nasional di bawah
supremasi sipil, serta komitmen untuk melakukan reformasi internal.
Konsep reformasi TNI berisi pemikiran strategis tentang peran TNI yang
di kenal sebagai “Paradigma Baru Peran TNI,” yang berisi dokumen tentang
Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi peran TNI dalam kehidupan bangsa di masa depan.” [45]
Reformasi
internal TNI berjalan terus dan selanjutnya pada tahun 2004 Presiden RI
telah mensahkan Undang-undang Republik Indonesia tentang TNI, dalam
mana UU tersebut telah di atur tentang tugas, peran dan fungsi TNI,
kewajiban, hak, dan larangan. Larangan-larangan yang ditetapkan,
dimaksudkan untuk mendukung pemerintahan demokratis di bawah supremasi
sipil yaitu larangan bagi setiap prajurit TNI untuk tidak terlibat dalam
(1) kegiatan menjadi anggota partai politik; (2) kegiatan politik
praktis; (3) kegiatan bisnis; dan (4) kegiatan untuk dipilih menjadi
anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya.[46]
Dengan
adanya kesungguhan bangsa Indonesia dalam menerapkan demokrasi serta
komitmen TNI dalam melakukan reformasi internal, telah mampu memperbaiki
kondisi keamanan nasional. Perkembangan ini secara cermat diikuti oleh
AS, sehingga pada tahun 2000 Indonesia (TNI) telah mulai diijinkan untuk
melakukan pembelian spare parts peralatan militer yang tidak mematikan (“military spare parts for non-lethal items”).[47]
Selanjutnya Indonesia juga mulai digandeng untuk ikut bersama-sama
dengan komunitas internasional melakukan perang melawan terorisme
global. Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional tentunya
tidak dapat berpangku tangan terhadap ancaman terorisme global ini,
sehingga Indonesia menerima dengan baik ajakan tersebut. Untuk itu
Amerika pada tahun 2002 – 2004 memberikan bantuan dana bagi pelatihan
dan strategi dibidang counterterrorism (Counterterrorism Fellowship Program) yang diperuntukkan bagi TNI khususnya yang bertugas dibidang intelijen.[48] Program ini ditindak lanjuti dengan program sejenis yang disebut sebagai Antiterrorism Assistance Program.
Bantuan ini diberikan khusus kepada Polisi dalam rangka memberikan
pelatihan dan memperlengkapi satuan anti teror “Detasemen 88” yang
dibentuk pada tahun 2003 dalam merespon peristiwa bom Bali. IMET juga
mulai dibuka kembali pada tahun 2003, walaupun diberikan dalam bentuk
yang berbeda, serta melalui seleksi yang ketat, dengan melarang para
anggota TNI yang diindikasikan pernah terlibat dalam kasus-kasus
pelanggaran HAM. Kebijakan ini dikenal sebagai “Human Rights Vetting.” {selaras dengan yang tercantum pada Section 502B, Foreign Assistance Act of 1961 (FAA)} [49]
Pada 22 Nopember 2005, secara formal Pemerintah AS melalui U.S. Department of State (Deplu)
telah menyatakan pencabutan embargo AS terhadap Indonesia, dan
kerjasama antara militer kedua belah pihak dipulihkan kembali.
…to inform you of the Secretary’s determination that it is in the national security interest of the United States to waive the conditions on assistance to Indonesia… Carefully targeted assistance to specific, vetted Indonesia military units will provide incentives for further reform and help achieve U.S.
national security objectives. Such assistance will advance our
strategic interest in Southeat Asia and strengthen a critically
importance relationship with the world’s third-largest democracy and
most populous majority-Muslim nation.[50]
Sebuah penilaian yang objektif tentang perlunya pemulihan kembali U.S. security assistance kepada Indonesia. Pemerintah AS mengamati dengan cermat perkembangan
demokrasi di Indonesia yang didukung oleh reformasi internal TNI yang
telah berlangsung dengan baik. AS mengakui bahwa pemberian bantuan ini
akan memiliki dampak yang sangat positif bagi kepentingan strategik AS
di Asia Tenggara dan akan memperkuat hubungan yang dinilai sangat
penting dengan Indonesia yang diakui telah berkembang sebagai negara
demokratis terbesar ketiga didunia dengan penduduk mayoritas muslim.
Kepentingan strategik yang dimaksud pada saat ini adalah terkait dengan
kepentingan AS dalam memerangi terorisme global. Namun sayangnya dalam
prakteknya anggota Kongres Amerika (Senator Feingold & Leahy)
berupaya menghambat hubungan bilateral ini dengan tetap menuntut agar
pemerintah Indonesia secara konsisten meneruskan reformasi internal TNI,[51] yang sebenarnya hal tersebut telah menjadi komitmen yang sangat kuat ditubuh TNI.
Dengan
demikian pertimbangan utama yang mendasari pemulihan kerjasama militer
antara kedua belah pihak adalah sebagaimana yang telah disinggung diatas
yaitu adanya penilaian AS terhadap Indonesia yang telah berkembang
menjadi negara demokratis terbesar ketiga didunia dengan jumlah penduduk
yang sebagian besar adalah muslim. Selaras dengan doktrin Bush terkait
dengan perang melawan terorisme global yang menyebutkan bahwa perlu
melakukan pendekatan dan kerjasama dengan negara-negara muslim atau yang
memiliki pengaruh di percaturan dunia, Indonesia termasuk dalam
kriteria ini.
Sejak embargo di cabut, berbagai program security assistance kembali
diluncurkan, yaitu IMET, FMS, dan FMF. Untuk program bantuan IMET,
Indonesia (Dephan/TNI) pada Tahun Anggaran (TA) 2006 memperoleh dana
bantuan sebesar US$792,000 sedangkan bantuan untuk TA.2007 di dukung
sebesar US$1,285,000 dan TA.2008 di dukung sebesar US$974,000. Sedangkan
untuk tahun anggaran berjalan 2009 AS mengalokasikan anggaran IMET
sebesar US$2,400,000.[52]
Sementara untuk FMS, Indonesia (TNI) telah kembali diijinkan untuk
membeli berbagai peralatan militer dan suku cadang/komponen alat utama
sistim senjata (Alut Sista). Untuk program FMF yang sebelumnya dikenal
dengan sebutan Military Assistance Program (MAP) yang merupakan hibah bersyarat,[53] di mulai lagi pada TA. 2006. Adapun program bantuan hibah (FMF) pasca embargo adalah: [54]
Untuk TA.2007 (1 Okt 07 – 30 Sep 08), bantuan yang diberikan senilai + US$6 juta, dalam bentuk: (1) bantuan pembangunan Kapasitas Depo TNI AU, termasuk dukungan pemeliharaan/perbaikan 1 unit pesawat angkut militer C-130; (2) bantuan tenaga teknisi (Contractor Engineering Technical Support), terdiri dari 4 macam yaitu: Tim
Chief/Training, Navy Small Craft, C41SR (Command, Control,
Communications, Computers, Intelligence, and Surveillance and
Reconnaissance System), C-130 Aircraft.
Untuk TA. 2008, pemerintah AS memberikan bantuan senilai + US$15,6 juta,
dalam bentuk: (1) kelanjutan pembangunan kapasitas Depo TNI AU,
termasuk bantuan pemeliharaan/perbaikan 2 unit pesawat angkut militer
C-130; (2) bantuan tenaga teknisi, terdiri dari 4 macam : Team Chief, Ship, C41SR, C-130 Aircraft; (3) Liaison Officer sistem senjata sebanyak 1 orang di bidang persenjataan pesawat F-16; (4) Kelanjutan Project “1206” FY06, dalam bentuk dukungan spare part dan upgrade.
Untuk TA. 2009, pemerintah AS mengalokasikan bantuan senilai + US$28,1 juta,
dalam bentuk: (1) kelanjutan pembangunan kapasitas Depo TNI AU,
termasuk bantuan pemeliharaan/perbaikan 2 unit pesawat angkut militer
C-130; (2) bantuan tenaga teknisi, terdiri dari 4 macam : Team Chief, Ship, C41SR, C-130 Aircraft; (3) Liaison Officer sistem senjata sebanyak 2 orang di bidang persenjataan pesawat F-16 dan F-5; (4) dukungan Skuadron Logistik Tempur dari USAF (U.S. Air Force), terdiri dari teknisi ahli F-16, F-5, C-130; (5) kelanjutan Project “1206” FY06/FY07, dalam bentuk dukungan spare part dan upgrade.
Untuk dukungan Project “1206” FY06 & “1206” FY07. (Integrated Maritime Surveillance System/IMSS) yaitu: (1) Project “1206” FY06, Integrated Maritime Surveillance System (IMSS), di Selat Malaka. nilai bantuan sebesar + US$18,4 juta, diwujudkan dengan pemasangan 8 unit radar Coastal Surveillance System (CSS) beserta perlengkapannya termasuk 2 unit cadangan, untuk memantau maritime security
di Selat Malaka. Dalam pelaksanaan pekerjaannya dilakukan secara
bertahap dan diselesaikan dalam 2 Tahun Anggaran (Tahun 2007 dan Tahun
2008); (2) Project “1206” FY07. IMSS, nilai bantuan sebesar + US$18,1 juta, dengan rencana pemasangan 8 radar CSS di Laut Sulawesi.
Selanjutnya dalam proses normalisasi hubungan AS – Indonesia, khususnya mililary to military relationship (mil – to – mil), sejak tahun 2002 secara reguler telah diadakan Indonesia – US Security Dialog
(IUSSD) oleh Kementerian Pertahanan kedua belah pihak, yang hingga pada
saat ini (2010) telah terselenggara 8 kali dialog. Dalam dialog
tersebut dibahas berbagai perkembangan global, regional serta
kemungkinan kerjasama teknis atau bantuan dalam bentuk capacity building dibidang security yang diperlukan oleh Indonesia. Dari kegiatan security dialog tersebut kedua belah pihak memandang perlu untuk menyusun Defence Cooperation Agreement (DCA)
AS – RI yang akan dijadikan sebagai payung hukum terhadap berbagai
kegiatan kerjasama yang telah terselenggara selama ini. Draft DCA pada
saat ini tengah dalam proses pembahasan intensif antara sfaf Direktorat
Kerjasama Internasional Ditjen Strahan Kemhan – yang melibatkan
unsur-unsur terkait seperti Kementerian Luar Negeri dan TNI – dan staf
Kedubes AS. Diharapkan pada tahun 2010 draft DCA dimaksud dapat
ditandatangani oleh Menteri Pertahanan kedua belah pihak atau yang
mewakili, terutama pihak AS kemungkinan Menhan AS apabila tidak dapat
melakukan, akan diwakili oleh Dubes AS di Jakarta. (Pada saat buku ini
diterbitkan kemungkinan DCA dimaksud telah ditandatangani oleh kedua
belah pihak).
Salah
satu persoalan pokok yang masih menjadi ganjalan/penghambat untuk
memulihkan hubungan mil – to – mil antara AS dengan Indonesia adalah
kebijakan U.S. Human Right Vetting bagi
prajurit TNI yang akan diikutsertakan dalam program IMET. Ganjalan
dimaksud terutama berasal dari pihak Kongres AS yang tetap merujuk pada Section 502B, Foreign Assistance Act of 1961 (FAA) tentang ketentuan pemberian U.S. Security Assistance termasuk IMET. Sementara
itu, pokok permasalahannya telah diselesaikan oleh pemerintah RI dan
Timor Leste dengan telah diterimanya hasil kerja Komisi Kebenaran dan
Persahabatan Indonesia – Timor Leste.
Perkembangan
yang terbaru adalah kunjungan presiden Barack Obama ke Indonesia pada
medio Maret 2010 dalam rangka membangun kemitraan komprehensif (comprehensive partnership) dengan
pemerintah Indonesia. Dengan kemitraan komprehensif ini diharapkan
kedua belah pihak dapat lebih meningkatkan kerjasama yang saling
menguntungkan (mutual benefit) diberbagai
sektor seperti bidang energi, lingkungan, kesehatan, ilmu pengetahuan,
investasi, serta meningkatkan volume perdagangan antar kedua belah
pihak. Khusus terkait dengan adanya ganjalan hubungan mil – to – mil
dengan adanya kebijakan U.S. Human Right Vetting, dengan penandatangan comprehensive partnership agreement atau joint declaration on comprehensive partnership antara
kedua kepala pemerintahan, diharapkan akan lebih menjadi perhatian
pemerintah AS untuk memperjuangkan ke Kongres AS agar kebijakan tersebut
dapat dicabut.
Dalam
kaitan hubungan bilateral AS – Indonesia secara lebih luas, tidak dapat
dipungkiri bahwa pengaruh kawasan ikut mewarnai hubungan bilateral
tersebut, dimana dalam konstelasi percaturan global, China telah muncul
sebagai kekuatan baru (the new arising power) yang
mencoba berebut pengaruh dengan AS, telah melakukan pendekatan yang
cukup intensif dengan berbagai negara di kawasan ASEAN termasuk
Indonesia. Hal ini membuat Amerika merasa perlu meningkatkan pengaruhnya
di Kawasan Asia Pasifik dibawah kendali US PACOM (United State Pacific Command) melalui peningkatan U.S. Security Assistence, yang sejatinya merupakan derivatif dari containment policy (perpaduan antara doktrin pembendungan dan bantuan ekonomi marsall plan).
Mungkinkah era Perang Dingin babak baru antara AS – China sedang
dimulai, meskipun mungkin dalam format yang berbeda? Sebab pada saat ini
AS melalui US PACOM tengah melakukan pendekatan intensif kepada
negara-negara ASEAN untuk dapat menempatkan perwakilan negaranya di
Sekretariat ASEAN. Upaya ini nampaknya dilakukan sebagai upaya counter
atau membendung upaya China memperkuat pengaruhnya di kawasan. Modus ini
kalau disimak, senada dengan upaya AS sewaktu membangun Southeast Asia Treaty Organization (SEATO)
pada September 1954 pada saat membendung pengaruh penyebaran komunis
Soviet di Asia Tenggara. Hal ini sekaligus nampaknya juga dijiwai oleh
doktrin Bush yang kedua sebagaimana tersebut di atas tentang Military Primacy
dalam bentuk lain yang dapat diterjemahkan bahwa AS tidak ingin
dominasinya di percaturan global ditentang oleh kekuatan manapun. Untuk
itu AS akan berupaya semaksimal mungkin untuk meredam kekuatan penentang
dengan berbagai upaya. Dengan demikian, doktrin maksimalisme Amerika
juga tampak semakin nyata.
Dalam
sebuah artikel yang ditulis oleh Hendrajit (yang disampaikan dalam
sebuah seminar) disebutkan bahwa Amerika berupaya membentuk ASEAN
Defence Forum (ADF) untuk menancapkan pengaruhnya di ASEAN guna
membendung pengaruh China yang dirasakan oleh AS semakin menguat. Namun
rupanya China mampu melakukan manuver politik yang dinilai lebih elegan.
Bahkan
dibidang politik, nanuver politik Cina ternyata jauh lebih elegan
dibandingkan Amerika. Dalam Deklarasi Kemitraan ASEAN-Cina pada 2003
lalu, ASEAN dan Cina telah sepakat untuk bekerjasama lebih lanjut
mengenai aksesi Cina atas Treaty of Aminity and Cooperation (TAC),
dan terus mengkonsultasikan niat Cina untuk aksesi Protokol Perjanjian
Kawasan Bebas Nuklir Asia Tenggara. Suatu hal yang justru dihindari
Amerika sebisa mungkin. Begitulah. Deklarasi kemitraan ASEAN-Cina pada
justru telah menggugurkan opini yang dikembangkan oleh Amerika bahwa
Cina merupakan musuh dan ancaman bagi kawasan Asia Tenggara, dan sebagai
alat pembenaran (justifikasi) dibentuknya ADF sebagai persekutuan
militer regional Asia Tenggara yang berada dalam kendali Amerika.
Motivasi Amerika dengan adanya ADF memang bisa dimengerti. Karena dengan
ADF, maka Amerika akan memiliki instrument militer untuk mendesak ASEAN
agar menjalankan misi dan kepentingan spesifik Amerika di kawasan Asia
Tenggara.
Namun demikian Amerika tidak pernah berhenti dalam upayanya menanam
pengaruh militernya di kawasan Asia Tenggara. Gagasan ADF yang
nampaknya sulit untuk direalisasikan, Amerika ternyata dalam kurun waktu
yang bersamaan telah membentuk suatu instrument kerjasama militer
lainnya di seluruh kawasan, termasuk Asia Pasifik, dimana Asia Tenggara
berada didalamnya. Instrumen dimaksud adalah adanya tawaran dari pihak
AS kepada negara-negara Asia Pasifik termasuk Asia Tenggara untuk
melakukan kerjasama saling memberikan dukungan logistik dalam suatu
operasi dikawasan tertentu yang melibatkan Angkatan Bersenjata dari
kedua belah pihak atau Aquitition Cross Servicing Agrement
(ACSA). Beberapa kawasan Asia Pasifik termasuk Asia Tenggara memang
dengan mudah telah mampu ditembus oleh Amerika dan bersedia
menandatangani perjanjian tersebut yang rumusannya telah disiapkan oleh
pihak J-4 (Deputy Logistic) U.S.
PACOM. Namun untuk mampu meyakinkan Kementerian Pertahanan RI/TNI,
Amerika memerlukan waktu yang relatif cukup panjang sampai akhirnya
pihak TNI menandatangani perjanjian tersebut.
Menyikapi
perkembangan global dan regional yang tengah berlangsung, nampaknya
Indonesia ingin tetap mempertahankan kebijakan luar negeri bebas aktif
dengan mengusung all direction foreign policy and zero enemy. Dengan
kebijakan ini diharapkan Indonesia tidak hanya dapat menjaga
kepentingan nasionalnya namun juga memperkuat sistem nasional yang telah
terbangun baik dalam percaturan ditingkat regional maupun
internasional. Dengan demikian hal ini akan semakin mengangkat citra
Indonesia di forum internasional. Pada akhirnya Indonesia akan mampu
meningkatkan bargaining position dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya di forum Internasional.
Kembali pada U.S. Security Assistance, pada dasarnya adalah merupakan implementasi dari kebijakan politik luar negeri AS dalam rangka peningkatan capacity building dibidang security kepada negara-negara berkembang melalui pemberian bantuan dalam berbagai bentuk program sesuai dengan scenario global yang telah mereka rancang. Scenario global
ini selalu mengikuti kecenderungan ancaman yang mereka prediksi. Semua
itu sebenarnya tidak terlepas dari kepentingan nasional AS sendiri yang
berorientasi pada Internal Security negaranya (U.S. Homeland Security).
Sungguh, Indonesia merupakan salah satu arena (theater),
yang menggambarkan perubahan kebijakan luar negeri AS khususnya dalam
kasus proses integrasi dan lepasnya Timor Timur dari NKRI. Indonesia
memperoleh U.S. Security Assistance pada
saat Indonesia mengambil Timor Timur dengan maksud untuk melindungi
negara dari penyebaran komunis, karena secara geografis Timor Timur
dikelilingi oleh wilayah NKRI. Pada saat itu Amerika memberikan dukungan
mutlak, karena Amerika dengan doktrin Truman (containment)
tidak menginginkan pengaruh komunis menyebar di Indonesia. Namun pada
saat situasinya berbeda, ketika ancaman komunis tidak lagi menjadi
ancaman global terjadi perubahan kebijakan politik luar negeri AS.
Antara lain perubahan kebijakan politik luar negeri AS terhadap
Indonesia terjadi pada tahun 1999, pada saat itu AS menerapkan kebijakan
Liberal democratic internationalism, yang lebih mengedepankan
pola penyebaran demokrasi dengan menitikberatkan pada penghormatan
terhadap HAM, yang kemudian menyebabkan lepasnya Timor Timur dari NKRI.
Akibatnya Embargo
diterapkan kepada militer Indonesia. Namun ketika era terorisme yang
dimotori oleh kelompok Islam radikal menghantui Amerika, Amerika mulai
memperhitungkan kembali posisi dan peran Indonesia yang telah berkembang
menjadi negara demokratis terbesar ketiga dengan jumlah penduduk muslim
terbesar didunia, yang di nilai akan memberikan pengaruh yang
signifikan untuk di ajak bekerjasama memerangi terorisme global yang
dimotori oleh kelompok Islam radikal tersebut. Embargo kemudian di cabut, dan program-program security assistance kembali
diaktifkan dengan memodifikasi sedemikian rupa sesuai kebutuhan Amerika
dan kepentingan nasionalnya yang dihadapkan pada ancaman global yang
dihadapi. Dari apa yang telah diuraikan tersebut di atas, semakin nyata
bahwa paradoksal kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia tidak dapat
dihindari sejauh menyangkut kepentingan nasionalnya. Hal ini semakin
memperkuat premise bahwa pragmatisme telah menjadi bagian dari budaya
Amerika dalam segala aspek kehidupan, terlebih bila berkaitan dengan
kepentingan nasionalnya.
Beranda | Buku/Sinopsis | Bab 1 | Bab 2 | Bab 3 | Bab 4 | Bab 5 | Daftar Referensi | Tentang Penulis | Beranda
[1] Security Assistance Community, FY 1980 Security Assistance Program, Resource: Security Assistance news from the Military Departments (T.k., T.t.), 8.
[2] Departemen Pertahanan RI, “Record program IMET Tahun 1971 – 2009” (Jakarta: Ditkersin Ditjen Strahan, 2009).
[3] Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, “Insiden Dili.”, 10 January 2002 <http://id.wikipedia. org/...>.
[4] ETAN, Santa Cruz Massacre (T.k.: T.p., T.t.), 1., 10 January 2002 <http://www.etan.org/ timor/SntaCRUZ. htm>.
[5] Tony Smith, America’s Mission: The United States and the Worldwide Struggle for Democracy in the Twentieth Century (T.k.: A Twentieth Century Fund Book, Princeton University Press, 1994), 312.
[6] Gaddish Smith, George Bush, in The Presidents: A Reference History, 2nd ed., ed. Henry F. Graff (New York: Charles Scribner’s Sons, 1996), 603.
[7] Charles W. Kegley Jr., Controversies in International Relations Theory: Realism and Neoliberal Challenge (New York: St. Martin’s Press, 1995), 14.
[8] Brad Simpson, “Solidarity in an Age of Globalization: The Transnational Movement for East Timor and U.S. Foreign Policy,” Peace History Society and Peace and Justice Studies Association: Peace & Change, vol. 29, no. 3&4, (Juli 2004), 460.
[9] Ibid.
[10] Ibid., 461.
[11] Ibid., 462.
[12] Ibid., 464.
[13] Ibid., 469.
[14] Joseph
Nevins, “The Making of “Ground Zero” in East Timor in 1999: An
Analysis of International Complicity in Indonesia’s Crimes,” Asian Survey: The Legacy of Violence in Indonesia vol. 42. No. 4 University of California Press, (Jul. – Aug., 2002), 623., 2 December 2009 <http://www. jstor.org...>.
[15] The Commission of Truth and Friendship (CTF) Indonesia – Timor-Leste, Final Report: Per Memoriam Ad Spem (Denpasar: Commission of Truth and Friendship Indonesia – Timor-Leste, 2009), ii-iii.
[16] Ibid., xiii – xiv.
[17] Brad Simpson, op.cit., 471.
[18] Wikipedia, the free encyclopedia, “1999 East Timorese crisis.”, 10 January 2002 <http://en. wikipedia.org ...>.
[19] Paul D. Elliot, “The East Timor Disput,” The International and Comperative Law Quarterly, vol. 27, no. 1 (Jan., 1978), 240., 2 January 2009 <http://www.jstor.org/…>.
[20] Ibid.
[21] Brad Simpson, op.cit., 472 – 3.
[22] Tony Smith, op.cit., 31.
[23] George Brown Tindall, op.cit., 947.
[24] Ibid., 957.
[25] Ibid.
[26] Tony Smith, op.cit., 31.
[27] Liberalism lebih
mengutamakan hak-hak warga negara yang direpresentasikan melalui peran
yang lebih besar oleh negara dengan membatasi peran market dan mengutamakan penghormatan atas hak-hak individu. Liberalisme semacam ini dijelaskan oleh Michael W. Doyle dalam tulisannya yang berjudul Kant, Liberal Legacies, and Foreign Affairs, ia menyampaikan tentang prinsip-prinsip liberalism
yang secara umum di bentuk dari sebuah komitmen yang terdiri dari 3 set
atau kelompok hak-hak sebagai berikut: Pertama, liberalisme yang bebas
dari tindakan kesewenang-wenangan penguasa atau lazim disebut sebagai “kebebasan
negatif.” Yaitu termasuk kebebasan hati nurani, kebebasan pers dan
menyampaikan pendapat, kesetaraan di mata hukum (tidak pandang bulu),
dan hak atas kekayaan yang dimiliki. Kedua, liberalisme atas hak-hak
yang diperlukan untuk melindungi dan mempromosikan kapasitas dan
kesempatan untuk memperoleh kebebasan atau lazim disebut sebagai
“kebebasan positif.” Yaitu meliputi hak-hak sosial dan ekonomi seperti
kesetaraan dan kesempatan dalam memperoleh pendidikan, dan hak untuk
memperoleh perawatan kesehatan serta pekerjaan yang layak, kebutuhan
untuk berekspresi dan berpartisipasi. Ketiga, hak atas kebebasan untuk
berpartisipasi dan merepresentasikan demokrasi.
[28] ETAN, op. cit., 1.
[29] Siswanto, “Kebijakan Amerika dan Indonesia terhadap Timor Timur dalam Perspektif Containment Policy,” Jurnal Study Amerika, vol.V, (Agustus – Desember 1999), 89.
[30] Tony Smith, op.cit., 312 – 3.
[31] Ibid., 324.
[32] Ratna Shofi Inayati dan Irine Hiraswati Gayatri, Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat, dalam Hubungan Indonesia Amerika Serikat 1992-2000: Masa Pemerintahan Presiden Clinton, ed. Ratna Shofi Inayati (Jakarta: PPW-LIPI, 2000), 18.
[33] Ibid., 52
[34] Noam Chomsky, op.cit., 2.
[35] Keith R. Legg and James F. Morrison, op.cit.,62.
[36] Ganewati Wuryandari, Hubungan Indonesia-Amerika Serikat: Aspek Pertahanan Keamanan, dalam Hubungan Indonesia Amerika Serikat 1992-2000 (Masa Pemerintahan Presiden Clinton), ed. Ratna Shofi Inayati (Jakarta: PPW-LIPI, 2000), 55.
[37] Arms Control Association, U.S. and EU Suspend Military Ties With Indonesia., 14 January 2002 <http://www.armcontrol.org ...>.
[38] Brad Simpson, op.cit., 640.
[39]
Agus Setiawan dalam tulisannya yang dimuat pada sebuah jurnal Wacana,
vol.6, no. 2 Oktober 2004 (179-190) yang berjudul “Perkembangan Lobi
Yahudi dan Pengaruhnya terhadap Politik Luar Negeri dan Kongres Amerika
Serikat” menguraikan dengan jelas bagaimana unsur-unsur Yahudi yang
bermukim di AS yang terorganisasi dengan sangat baik yakni AIPAC (American Israel Public Affairs Committee) memiliki
kemampuan lobi yang luar biasa dikedua cabang kekuasaan AS yang paling
berpengaruh yaitu eksekutif dan legislatif (Kongres). Kekuatan lobi
mereka telah mampu mewarnai kebijakan luar negeri AS terhadap Israel
dalam memberikan dukungan penuh baik finansial/ekonomi maupun militer
terhadap kelangsungan hidup bangsa Israel sejak awal perjuangan mereka
membentuk sebuah negara hingga penguasaan teritorial Israel pasca Perang
Yom Kippur 1973.
[40] Alfian Muthalib, “Nilai-nilai dalam Politik Luar Negeri Amerika Pasca 11 September,” dalam Nilai-nilai Amerka dalam konteks Global, ed. Ronny M. Bishry, Alfian Muthalib, Albertine Minderop (Jakarta: Kajian Wilayah Amerika Program Pascasarjana UI, 2008), 121.
[41] IG. Purwana, Sistem Keamanan Nasional Indonesia: Sebuah Sumbangan Pemikiran, (Jakarta: PPSN, 2005),7.
[42] Robert Kagan, Of Paradise and Power: America and Europe in the New World Order (Vintage Books: New York, 2004), 92.
[43] Robert J. Leiber, The American Era: Power and Strategy for the 21st Century (Cambridge University Press, 2005), 43.
[44] Ibid., 46-49.
[45] Departemen Pertahanan Republik Indonesia, Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad ke-21 (Jakarta, 2006), 12-13.
[46] Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia (Jakarta: 2004), Megawati Sukarnoputri, 2004, 23.
[47] Adam O’Brian, The U.S. – Indonesia Military Relationship (Council on Foreign Relation, A Resources for Nonpartisan Information and Analysis), 16, November 2007. <http://www. cfr.org/publication/8964/usindonesian_military_relationship. html>.
[48] Departemen Pertahanan RI, Record Program IMET, op.cit., 2
[49] The Defense Institute of Security Assistance Management, op.cit., 2-9.
[50] United
States Department of State. “The United States to waive the condition
on assistance to Indonesia. (Washington D.C.: United States Department
of State, 2005).
[51] Surat Senat AS kepada Menlu dan Menhan AS, Kekecewaan atas dicabutnya Embargo (Senator Russel D. Feingold dan Senator Patrick J. Leahy), 25 April 2006.
[52] Departemen Pertahanan RI, Record Program IMET, op.cit., 2.
[53] Yang dimaksud hibah bersyarat adalah, bahwa seluruh bantuan (security assistance)
dalam bentuk peralatan militer hibah (FMF) pada dasarnya hanya bersifat
pinjam pakai. Karena pemanfaatannya selain untuk mendukung kepentingan
global AS, juga tetap berada di bawah kontrol mereka (sebagaimana yang
tertuang dalam nota diplomatik Deplu kepada Dubes AS tentang “505”
Agreement tanggal 6 September 2006). Meskipun demikian Indonesia tetap
dapat memperoleh keuntungan/manfaat dalam hal peningkatan detterence, karena pada dasarnya setiap hubungan/kerjasama antar negara akan memperhatikan prinsip mutual benefit, meskipun
masing-masing pihak berorientasi pada kepentingan nasionalnya. Hal ini
sesuai dengan UU RI No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
[54] Departemen
Pertahanan RI, “Data U.S. Security Assistance kepada Indonesia, pasca
embargo” (Jakarta: Ditkersin Ditjen Strahan, 2009).
Beranda | Buku/Sinopsis | Bab 1 | Bab 2 | Bab 3 | Bab 4 | Bab 5 | Daftar Referensi | Tentang Penulis | Beranda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar