Total Tayangan Halaman

Selasa, 22 Mei 2012

BAB 4


BAB 4
PARADOKSAL KEBIJAKAN BANTUAN AS TERHADAP INDONESIA

4.1. Sikap AS terhadap upaya-upaya Timor Timur dalam memperoleh kemerdekaannya
Kebijakan luar negeri AS terhadap proses integrasi Timor Timur (1975) kepada NKRI dari tahun ketahun nampaknya tetap dipertahankan. Hal itu tampak dalam security assistance, meskipun tidak secara terbuka, atau paling tidak, untuk beberapa saat setelah proses integrasi. Kebijakan ini tidak banyak diperdebatkan, baik oleh komunitas internasional maupun oleh anggota Kongres. Hal ini tidak lain karena pada saat itu Perang Dingin masih berlangsung, dan kepentingan AS hadir dinegara-negara berkembang diberbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Seiring penerapan doktrin pembendungan dan dalam melindungi kepentingan-kepentingan ekonominya, AS terus menerapkan kebijakan luar negerinya melalui pemberian security assistance. AS menyadari sepenuhnya apabila negara-negara berkembang yang mana kepentingan ekonomi AS di negara tersebut tidak diberikan security assistance – bagian dari strategi peningkatan capacity building dari aspek keamanan – maka apabila negara tersebut jatuh kerezim komunis hal ini akan mengancam kepentingan Amerika.
Terkait dengan upaya AS melindungi kepentingan-kepentingannya diberbagai belahan dunia, Menhan AS Harold Brown pada 5 Februari 1979 mempresentasikan proposal dukungan Dephan AS kepada negara-negara berkembang didepan the House International Relation Committee tentang pemberian security assistance untuk Tahun Anggaran 1980 sebesar $4,236 juta. Bantuan tersebut diberikan dalam tiga jenis (three elements): (1) Military Assistance Program/MAP; (2) International Military Education Training/IMET; (3) Foreign Military Sales/FMS.
This budget is modest in relation to our many interests around the world and their impact on our security, economy, and general well-being. Three elements within this total relate most directly to our worldwide defense posture. …in Military Assistance Program funding – “MAP” – for grant materiel aid to four countries and overall management of the security assistance program. … in International Military Education Training funds – “IMET” – for grant training of students from 52 foreign countries. … in credits to 25 countries for the financing of foreign military sales. I shall highlight the support which these programs will provide key allies and friendly countries as I review our defense posture in the various region of the world.[1]
Pada tahun 1979 saat Menhan AS Harold Brown menyampaikan proposal didepan Kongres, bantuan IMET yang telah diberikan kepada Indonesia sebesar US$1,973,000 namun dalam pelaksanaannya terserap sebesar US$1,848,000 dengan jumlah personil TNI yang mengikuti program IMET sebanyak 195 orang. Sementara realisasi dari program yang dilaksanakan pada tahun 1980 adalah sebesar US$1,874,000 hal ini ternyata lebih besar dari yang direncanakan yaitu sebesar US$1,639,000. Namun jumlah personil yang dikirim mengikuti program IMET mengalami pengurangan yaitu hanya sejumlah 173 orang.[2]
Menarik untuk menyimak pernyataan Menhan AS bahwa, U.S. Security Assistance yang akan dialokasikan, terkait erat dengan begitu banyak kepentingan AS diseluruh dunia dan diakui bahwa hal tersebut akan sangat berpengaruh bagi keamanan nasional, kepentingan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Amerika. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa AS memerlukan mitra dalam menjamin terselenggaranya seluruh kepentingan nasionalnya melalui penciptaan citra positif kepada negara-negara berkembang sekaligus memberikan capacity building dibidang keamanan bagi negara-negara mitra dalam mana kepentingan-kepentingan Amerika hadir. Sikap tersebut di atas juga tercermin sewaktu AS memberikan dukungan terhadap proses Timor Timur kedalam NKRI.
Permasalahan integrasi Timor Timur mulai muncul kepermukaan setelah terjadi peristiwa “Kerusuhan Santa Cruz Dilli” pada 12 November 1991. Demo di Dilli dilakukan berkaitan dengan terbunuhnya seorang aktivis kemerdekaan Timor Timur yang dimakamkan di pemakaman Santa Cruz sebulan sebelumnya serta rencana kunjungan Parlemen Portugal yang batal karena adanya keberatan dari pemerintah Indonesia. Demo ini kemudian dihentikan oleh aparat keamanan yang dilakukan secara represif. Kerusuhan ini membawa korban 251 orang meninggal, 382 orang terluka, dan 250 orang menghilang. Masalahnya adalah bahwa peristiwa ini disaksikan oleh dua wartawan Amerika, Amy Goodman dan Allan Nairm dan direkam dalam pita video oleh Max Stahl untuk stasion televisi Yorkshire di Inggris. Video tersebut selanjutnya digunakan dalam pembuatan sebuah film dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor, dan ditayangkan di ITV Inggris pada Januari 1992.[3] Ini merupakan “casus belli” antara pemerintah AS dan Indonesia kemudian.
Pada dasarnya peristiwa ini merupakan letupan pertama dimana permasalahan integrasi Timor Timur menarik perhatian komunitas internasional, karena tayangan tersebut kemudian disiarkan keseluruh dunia. Tentunya letupan ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Permasalahan integrasi Timor Timur sendiri pada dasarnya memang belum diakui oleh PBB yang mewakili komunitas internasional. Tapi, masalah ini mampu bertahan sekian lama sekalipun ditentang PBB. Tentunya semua ini tidak luput dari pengaruh kuat yang dipancarkan oleh Amerika sebagai salah satu super power, sementara Australia pada saat itu juga tidak terlalu mempersoalkannya, karena adanya kepentingan dengan Indonesia tentang deposit minyak bumi di celah Timor. Dari kacamata ini terlihat jelas bahwa dukungan Amerika telah mampu meredam persoalan integrasi Timor Timur kedalam NKRI dari sorotan internasional.
Peristiwa kerusuhan ini kemudian mulai mendunia setelah munculnya gerakan solidaritas internasional yang diawali oleh berdirinya East Timor Action Network (ETAN) di AS. Gerakan ini mulai mempersoalkan keterlibatan pemerintahnya dalam bentuk dukungan security assistance yang secara terus menerus disalurkan kepada Indonesia dari sejak proses integrasi Timor Timur kedalam NKRI (1975) hingga pasca kerusuhan Santa Cruz.[4]
Kerusuhan Santa Cruz (1991) bertepatan waktunya dengan tahun-tahun awal berakhirnya Perang Dingin (1989 – 90). Pada saat itu kepemimpinan AS berada dibawah Presiden George W.H. Bush menggantikan Ronald Reagan. Bush menerapkan doktrin Liberal democratic internationalism bagi kebijakan luar negerinya.[5] Doktrin pembendungan warisan Truman telah mulai ditinggalkan, pembangunan ekonomi Amerika yang sukses dibawah Reagan, oleh Bush diupayakan untuk dilanjutkan.
Perhatian utama (major concern) Presiden Bush dalam melanjutkan pembangunan ekonomi yang dilandasi oleh doktrin Liberal democratic internationalism adalah adanya kebebasan pasar (free market). Hambatan perdagangan internasional yang dirasakan selama ini adalah adanya hambatan tarif (bea masuk) perdagangan dengan negara-negara tetangga dekatnya yaitu Amerika Latin. Salah satu inisiatif Bush untuk menghapus hambatan tersebut adalah melalui upaya negosiasi dengan Mexico dalam bentuk the North American Free Trade Agreement (NAFTA) yang berhasil ditandatangani oleh kedua belah pihak pada Desember 1992. Melalui perjanjian ini hambatan perdagangan dibidang tarif (bea masuk) antara tiga negara (AS, Mexico dan Canada) dihilangkan.[6] Sementara terkait dengan liberalisme dibidang penyebaran demokrasi, AS menerapkan kebijakan penghormatan terhadap hak-hak individu. Oleh karena itu permasalahan pelanggaran HAM dibeberapa negara untuk kali ini juga menjadi perhatian utama bagi AS. Era pasca Perang Dingin juga disebut sebagai era neoliberalism atau era kebangkitan kembali Wilsonian Liberalism sebagai alat diplomasi hubungan bilateral dan multilateral dalam mempromosikan dan melindungi hak-hak azasi manusia.
Neoliberals have recently given great emphasis to bilateral and multilateral diplomacy for promotion and protection of human rights. They have brought the topic of humanitarian intervention into spotlight … This, too, returns inquiry to focus on concerns central to idealists in the liberal tradition of Wilson.[7]
Dengan demikian pada saat ETAN memulai kampanyenya kepada para pejabat AS dan Kongres untuk menghentikan bantuan IMET kepada TNI, upaya tersebut memperoleh respon yang positif dari pemerintah maupun Kongres. Akhirnya sebuah rancangan UU tentang penghentian program IMET dihasilkan. Meskipun rancangan UU ini semula ditentang oleh perusahaan-perusahaan Amerika di Jakarta seperti General Electric, McDonnell-Douglas, Freeport-MacMoRan dan AT&T melalui lobby yang intensif kepada Kongres, nampaknya lobby tersebut sia-sia. Pada Oktober 1992, akhirnya Kongres meloloskan rancangan UU penghentian program IMET kepada TNI, upaya ETAN untuk mendesak pemerintah AS bagi penghentian bantuan militer kepada Indonesia berhasil.[8] Keberhasilan ini tentunya tidak lepas dari kebijakan luar negeri AS yang diterapkan pada saat itu yang memang memberikan perhatian yang sangat besar terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM. Keberhasilan ini diikuti oleh keberhasilan lainnya terhadap penerapan kebijakan luar negeri AS dalam hal pembatalan rencana penjualan pesawat tempur F-5 kepada Indonesia pada tahun 1993.[9]
Pada tahun 1993 pemerintahan Bush digantikan oleh William J. Clinton. Pemerintahan Clinton melanjutkan kebijakan politik luar negeri Bush. Pada tahun itu juga pemerintah AS ikut mendukung sebuah resolusi yang mengkritik Indonesia. Resolusi ini dilaksanakan oleh Komisi HAM PBB di Jeneva. Ini adalah untuk yang pertama kalinya AS memberikan dukungan secara resmi bagi event seperti ini. Pada awal 1994 Deplu AS mengumumkan larangan Kongres bagi penjualan senjata ringan kepada Indonesia.
… In early 1994 the State Department announced a ban on small arms sales to Indonesia again in response to Congressional and grassroots pressure. Not since Indonesia’s invasion of East Timor in 1975 had the U.S. government suspended weapon transfer to Indonesia.[10]
Pemerintah AS memperoleh tekanan bertubi-tubi dari berbagai kelompok solidaritas Timor Timur yang dipelopori oleh ETAN. Bahkan ETAN mampu membangkitkan suatu strategi yang efektif namun fleksible dalam membangun dukungan bagi munculnya debat publik tentang Timor Timur yang mampu mempengaruhi kebijakan AS. Sebuah argumen yang keras berhasil diciptakan oleh ETAN yang berisi tuntutan bagi pertanggungjawaban pemerintah AS terhadap terjadinya tindak kekerasan di Timor Timur dimasa yang lalu. Untuk itu ETAN berupaya mengumpulkan berbagai informasi tentang tindak kekerasan atas Timor Timur yang dapat dipercaya, serta terus melakukan lobi-lobi secara langsung kepada Kongres.[11]
ETAN benar-benar mampu menciptakan isu-isu tentang HAM yang sangat mempengaruhi hubungan bilateral AS – Indonesia, dan mendesak agar pemerintah AS mengakhiri bantuan militer kepada Indonesia dan mendukung bagi penentuan nasib Timor-Timur oleh rakyatnya sendiri. ETAN melakukan lobi kepada para senator dan anggota Parlemen yang simpatik, yang menduduki jabatan yang menentukan dalam hal pemberian bantuan militer, pelatihan dan penjualan senjata ke Indonesia. … it only could hope to affect U.S. policy by establishing relationships with sympathetic senators and representatives who were in a position to restrict military aid, training, and weapons sales to Indonesia.[12] Hasilnya antara 1992 – 99 ETAN dengan para pendukungnya telah mampu mempengaruhi kebijakan AS dalam menghambat berbagai bentuk bantuan militer termasuk pelatihan bagi militer Indonesia.
Keberhasilan ETAN dalam upaya menginternasionalisasi berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran HAM di Timor-Timur tidak saja didalam negeri AS, namun juga mampu mempengaruhi opini komunitas internasional. Keberhasilan ini tentunya tidak terlepas dari dukungan pemerintah AS dibawah Presiden Clinton yang menerapkan kebijakan politik luar negeri berdasarkan doktrin Liberal democratic internationalism yang diwarisi semasa pemerintahan Bush. Hal ini terbukti dengan dinobatkannya Uskup Dilli (Belo) dan Ramos Horta sebagai pemenang hadiah Nobel Perdamaian ditahun 1996 atas upaya mereka yang terus memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Timor Timur secara damai.
Masa pemerintahan Clinton, khususnya pada paruh kedua adalah puncak dari perubahan kebijakan luar negeri AS kepada Indonesia, khususnya setelah Presiden Soeharto lengser dan digantikan oleh Presiden B.J. Habibie. Pada 22 Mei 1998, sehari setelah lengsernya Soeharto, Senat AS dengan suara bulat menghimbau Presiden Habibie untuk mendukung reformasi demokrasi dan ekonomi di Indonesia serta meminta pula agar Habibie mendukung referendum bagi penentuan nasib sendiri terhadap Timor Timur, yang dalam pelaksanannya seyogianya dilakukan dengan supervisi komunitas internasional.[13]
Habibie memenuhi tuntutan pemerintah AS yang disampaikan melalui Senat tersebut. Pada 5 Mei 1999 melalui mediasi PBB Indonesia dan Portugal mencapai kesepakatan bagi penyelesaian secara politis terhadap Timor Timur melalui pemungutan suara/jajak pendapat yang direncanakan pada akhir Agustus 1999. Jajak pendapat ini akan menentukan apakah rakyat Timor Timur akan menerima tawaran otonomi luas dengan tetap berintegrasi dengan Indonesia, atau menolak dan lebih memilih untuk merdeka.
Jajak pendapat akhirnya dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 dan hasilnya 78,5% rakyat Timor Timur lebih memilih untuk merdeka. Hasil jajak pendapat ini membuat milisi pro-integrasi mengalami shock dan kemudian melakukan serangan secara membabi buta kepada rakyat Timor Timur yang memilih untuk merdeka, serta melakukan aksi bumi hangus terhadap berbagai fasilitas publik. Tindakan brutal/anarkis ini mengakibatkan terjadinya arus pengungsian terhadap lebih dari 250.000 orang yang melintasi perbatasan ke Timor Barat – wilayah Indonesia – dan diperkirakan sebanyak 2.000 korban meninggal dunia. Tindak anarkis milisi pro-integrasi ini diindikasikan melibatkan unsur-unsur TNI. Pemerintah Indonesia dipersalahkan oleh komunitas internasional berada dibalik aksi pelanggaran HAM berat ini.
… During the approximately three weeks that followed, the TNI and its militia destroyed an estimated 70% of the territory’s building and infrastructure, forcibly deported about 250.000 people to Indonesia, raped untold numbers of women, and killed upward of 2.000 people – to create what many have called “ground zero.” …[14]
Kenyataan pahit persoalan Timor Timur, khususnya terkait adanya pelanggaran HAM berat terhadap keterlibatan TNI baik dilapangan maupun secara institusional sempat menjadi perdebatan publik, baik didalam negeri maupun dalam percaturan internasional. Namun setelah sebuah tim pencari fakta yang bersifat independen dibentuk oleh kedua belah pihak yaitu pemerintah Indonesia dan Timor-Leste, hasilnya menguak beberapa kesaksian yang memang sangat disesalkan oleh semua pihak. Terlepas dari apapun fakta tindak kekerasan yang terjadi, kedua belah pihak telah sepakat bahwa tujuan pembentukan tim ini yang selanjutnya disebut sebagai Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor-Leste {(The Commission of Truth and Friendship (CTF) Indonesia-Timor-Leste)} tidak dimaksudkan sebagai dasar untuk membuat penuntutan lewat peradilan, namun lebih diarahkan untuk pembelajaran bagi kedua bangsa, betapa mengerikan sebuah sengketa yang melibatkan Angkatan Perang serta berbagai ekses pelanggaran HAM yang ditimbulkan oleh kedua belah pihak. Oleh karena itulah laporan akhir komisi ini di beri judul “Per Memoriam Ad Spem” yang bermakna “Melewati Kenangan (suram) Menuju Harapan (indah).” [15]
Dari fakta-fakta yang diungkapkan oleh Komisi ini dalam Executive Summary disimpulkan beberapa hal yaitu: (1) bahwa pelanggaran HAM berat terjadi dalam bentuk kejahatan kemanusiaan di Timor Timur pada 1999 dan pelanggaran dimaksud meliputi pembunuhan, pemerkosaan ataupun pelecehan seksual dalam bentuk lain, penyiksaan, penahanan ilegal, dan pengusiran secara paksa yang dilakukan terhadap penduduk sipil; (2) bahwa terdapat tanggungjawab institusional dalam berbagai tindak pelanggaran tersebut; (3) dalam hal tindak kejahatan yang dilakukan oleh gerakan pro-otonomi, komisi menyimpulkan bahwa kelompok milisi pro-otonomi, TNI, pemerintahan sipil lokal (Pemda), dan Polri seluruhnya harus menerima beban tanggungjawab institusional terhadap pelanggaran HAM berat yang ditujukan kepada masyarakat sipil yang mendukung kemerdekaan, kejahatan yang dilakukan meliputi pembunuhan, pemerkosaan dan pelecehan sexual, penyiksaan, penahanan ilegal, dan pengusiran secara paksa; (4) dalam hal tindak kejahatan yang dilakukan oleh gerakan pro-kemerdekaan, komisi menyimpulkan bahwa karena kurangnya bukti-bukti yang menguatkan yang ditemukan dilapangan, sulit dipastikan apakah mereka melakukan pelanggaran, meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan bahwa kelompok pro-kemerdekaan bertanggungjawab terhadap terjadinya pelanggaran HAM berat dalam bentuk penahanan secara ilegal terhadap penduduk sipil yang pro-otonomi; (5) bahwa karena adanya keterlibatan secara institusional dalam hal terjadinya pelanggaran HAM berat dari kedua belah pihak, maka kedua belah pihak harus menerima tanggung jawab baik secara moral maupun politis terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan institusi masing-masing.[16]
Sungguh, sebuah letupan ditengah-tengah komunitas internasional sekali lagi terjadi, dan letupan yang kedua ini ternyata jauh lebih dahsyat dari apa yang pernah terjadi sebelumnya atas kerusuhan Santa Cruz pada tahun 1991. Kejadian ini menyebabkan Pemerintah AS dan Kongres menerima puluhan ribu tilpon dari berbagai aktivis HAM internasional yang berisi tuntutan agar AS segera memutus hubungan militer dengan Indonesia. Segera sesudahnya Senator Feingold dan yang lain mengajukan rancangan UU penghentian bantuan Amerika bagi Indonesia.[17] Pada 9 September 1999 pemerintahan Clinton secara resmi mengumumkan dihentikannya hubungan militer dengan Indonesia dan menuntut agar Indonesia menerima pasukan penjaga perdamaian internasional.
Pada 12 September 1999 Presiden Habibie menyerah terhadap adanya tekanan internasional dan kemudian mengundang pasukan pemelihara perdamaian ke Timor Timur. Misi pemelihara perdamaian internasional – the International Force for East Timor/INTERFET – tiba di Timor Timur pada 20 September 1999 dibawah pimpinan Australia. Misi ini didasarkan pada Resolusi DK PBB No. 1264.[18] Dari kenyataan ini jelas terlihat bahwa dominasi AS di PBB memberikan pengaruh yang menentukan, sebab bila kita amati sesungguhnya pasca serangan Indonesia atas Timor Timur, pada 12 Desember 1975 Dewan Keamanan (DK) PBB juga telah mengeluarkan Resolusi No. 384 yang antara lain mendesak agar Indonesia menarik pasukannya dari wilayah Timor Timur; tidak mengakui Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia; menuntut agar rakyat Timor Timur diberikan kesempatan untuk menentukan nasibnya sendiri; serta meminta agar Perwakilan Khusus Sekjen PBB dapat dikirim untuk meninjau situasi.[19] Namun dari sekian banyak tuntutan/permintaan DK PBB hanya satu yang dikabulkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu pengiriman Utusan Khusus Sekjen PBB Vittorio Winspeare Guicciardi, Under-Secretary-General yang merangkap sebagai Director General of the UN Office at Geneva. Kunjungan dilaksanakan pada tanggal 15 Januari 1976. Dan pada saat itu pertempuran sedang berlangsung sengit antara TNI dan Falintil (Tentara Fretilin).
Berdasarkan laporan yang diberikan oleh Utusan Khusus Sekjen PBB, pada 22 April 1976 DK PBB mengadopsi Resolusi No. 389 yang isinya sekali lagi mendesak agar pemerintah Indonesia segera menarik pasukannya dari wilayah Timor Timur dan meminta agar Utusan Khusus Sekjen PBB dapat melanjutkan tugas pemantauannya. … The Resolution again “called upon” the Government of Indonesia to withdraw without delay all its forces from the Territory and request the Special Representative to continue his assignment.[20] Dua resolusi DK PBB No. 384 dan 389 yang mendesak agar Indonesia menarik tentaranya tidak begitu diindahkan – karena Indonesia memiliki alasan sendiri dan telah menganggap sah terhadap proses integrasi tersebut – sekalipun demikian DK PBB tidak mampu mengeluarkan sanksi apapun. Hal ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh Amerika yang sejatinya memberikan dukungan baik secara politis maupun dalam bentuk security assistance.
Dalam suatu laporan dinyatakan bahwa adanya perubahan kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia tentang kasus Timor Timur karena keberhasilan ETAN yang memanfaatkan munculnya teknologi komunikasi seperti internet, yang telah memungkinkan untuk menciptakan sebuah jaringan yang mampu menyebarkan informasi keseluruh negara dan memobilisasi suatu jajak pendapat (pooling) yang relatif terbatas untuk dapat bekerja dengan berbagai organisasi yang kemudian menyatu dan mampu menjamin dan memperkuat suara organisasi tersebut terhadap kondisi yang tidak kondusif di Timor Timur. Selanjutnya dikatakan bahwa pada akhirnya keberhasilan jaringan solidaritas Timor Timur di AS disebabkan oleh kemampuan organisasi tersebut dalam mengkombinasikan argumen keyakinan moral tentang tanggungjawab Amerika terhadap penderitaan yang dialami oleh rakyat Timor Timur, dengan adanya tekanan fisik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Lebih jauh dikatakan pula bahwa ETAN dan kelompok lainnya mampu meyakinkan banyak penentu kebijakan Amerika agar menekan Jakarta terkait kasus Timor Timur dengan tanpa perlu merusak hubungan bilateral secara menyeluruh.[21]
Klaim yang dinyatakan tersebut mungkin benar, tapi tentunya tidak sepenuhnya. Sebagaimana uraian sebelumnya telah dikatakan bahwa perubahan kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia terkait kasus Timor Timur, lebih ditentukan oleh adanya perubahan kebijakan luar negeri AS secara global pasca berakhirnya Perang Dingin. AS dibawah kepemimpinan Bush dan penggantinya Clinton menerapkan doktrin Liberal democratic internationalism yang selaras dengan paham Wilson. Dimana orientasi kebijakan luar negeri AS berpusat pada kepentingan nasional yang mendasar atau mutlak yaitu keamanan nasional yang dikombinasikan dengan kepentingan nasional vitalnya yaitu pembangunan ekonomi. Dalam implementasinya terkait dengan penyebaran demokrasi, AS sangat memperhatikan kebebasan individu melalui penghormatan terhadap HAM. Sehingga langkah pemerintah AS menekan Indonesia tidak terlepas dari kondisi tersebut. Tentunya kebijakan ini tidak akan diambil, andaikata persoalan ini masih dalam konsteks Perang Dingin, dimana AS menerapkan doktrin pembendungan. Dengan demikian bahwa momentum lepasnya Timor Timur dari NKRI terjadi karena adanya perubahan kebijakan luar negeri AS dalam percaturan global.
4.2. Benturan Kepentingan Nasional AS dengan Indonesia
Salah satu visi Presiden AS yang cukup terkenal adalah visi Presiden Woodrow Wilson yang menyatakan tentang perdamaian tanpa kemenangan (“peace without victory”) melalui penyebaran demokrasi keseluruh penjuru dunia dalam rangka mewujudkan dunia yang aman. Visi Wilson ini memunculkan debat nasional yang cukup seru pada tahun 1918 – 19, bagaimana mungkin hal tersebut dapat terwujud dalam situasi dunia yang berada dalam kesemrawutan dan ketidak pastian.[22] Pada saat itu situasi dunia sedang dibayangi perang besar. Eropa terbelah dalam dua sistem aliansi yang saling berhadapan sebagai musuh yang kemudian memicu meletusnya Perang Dunia I. Dua aliansi besar tersebut adalah Triple Alliance atau Central Power (German, Austria-Hungaria, dan Italia) berhadapan dengan Triple Entente (Perancis, Inggris, dan Rusia).[23]
Sementara Amerika dibawah Wilson berupaya bersikap netral serta berupaya menjadi mediator untuk mengakhiri perang Eropa, namun Amerika juga tidak mungkin berdiam diri dengan situasi dunia yang sedang kacau, sebab bagaimanapun Amerika memiliki kepentingan perdagangan global yang terganggu dengan adanya blokade jalur perniagaan oleh dua belah pihak yang berperang, sehingga Amerika harus mempersiapkan kekuatan untuk melindungi kepentingan globalnya tersebut. Pada tahun 1916, ketika dilakukan pemilihan presiden AS, Wilson kembali terpilih untuk masa jabatan kedua, dan berbagai persiapan untuk perang terus dilanjutkan.[24]
Berbagai upaya mediasi yang dilakukan oleh Wilson kepada kedua belah pihak yang tengah berperang selalu menemui jalan buntu. Wilson kembali membuat keputusan untuk melakukan mediasi, dengan harapan pendapat publik akan dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah. Berbicara sebelumnya kepada Senat pada 22 Januari 1917, Wilson menegaskan hak AS untuk berbagi dalam meletakkan dasar-dasar bagi terciptanya perdamaian abadi, yang barang kali akan terjadi “perdamaian tanpa kemenangan” atau hanya “perdamaian diantara kesetaraan” (“peace without victory” or only “peace among equals”).[25] Namun nampaknya upaya inipun menemui jalan buntu, sementara pertempuran didaratan Eropa terus berkecamuk. Visi Wilson untuk menciptakan perdamaian abadi didunia masih harus melalui perjalanan panjang untuk dapat terwujud.
Visi Wilson nampaknya tidak hanya menjadi sebuah visi yang sia-sia, karena para pemimpin Amerika setelah dia mampu melihat bahwa visi Wilson merupakan sebuah visi universal yang hanya mungkin untuk dapat diwujudkan oleh sebuah bangsa besar seperti Amerika.
Thus, when President Clinton, like Presidents Bush (senior) and Reagan before him, speaks of his conviction that no feature of U.S. foreign policy is more critical at the end of the cold war than helping the democratic forces in Russia, he may often be at a loss on how best to proceed. But he is articulating his concerns for peace in a recognizable way that stretches back across the generation, to American leaders in other time who have speculated on what to do in the aftermath of victory and who rightly concluded that the answer consisted in promoting the fortunes of democracy for other the sake of American national security.[26]
Sedemikian kondusifnya sistem pemerintahan Amerika yang mampu bertahan dari generasi ke generasi, yang mana keamanan nasional menjadi tujuan utama bagi bangsa ini. Keamanan Nasional benar-benar diagungkan sebagai kepentingan nasional yang diutamakan (mutlak). Adapun strategi untuk mewujudkan kepentingan nasional tersebut disesuaikan dengan situasi tantangan jaman yang selalu berubah dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pada saat Amerika menghadapi tantangan Perang Dingin, strategi yang digunakan adalah dengan menerapkan kebijakan pembendungan (policy of containment), dan strategi ini tentunya sudah tidak valid lagi manakala ancaman komunis Soviet sudah tidak ada lagi dengan berakhirnya Perang Dingin ditahun 1989 - 90 yang ditandai dengan runtuhnya USSR.
Kemenangan AS atas Perang Dingin telah membuktikan keunggulan demokrasi Amerika dalam mana liberalisme menjadi bagian penting dari demokrasi itu sendiri, atau dengan kata lain liberalisme sesungguhnya merupakan nafas dari sebuah demokrasi. Liberalisme dalam bentuk ekonomi terwujud dalam kapitalisme, dan dalam bentuk politik diwujudkan melalui penghormatan hak-hak individu yang menjadi dasar bagi perjuangan demokrasi Amerika yang disebarkan keseluruh dunia.[27] Apakah Amerika telah mengkhianati perjuangan demokrasinya disaat mendukung Indonesia mengintegrasikan Timor Timur? Dapat diperhatikan bahwa kepentingan nasional AS yang paling hakiki adalah keamanan nasional. Keamananan Nasional itu pula yang dipertaruhkan pada saat menghadapi komunisme di era Perang Dingin, dan strategi yang paling tepat digunakan untuk menyebarkan demokrasi guna menjaga keamanan nasionalnya pada saat itu dihadapkan pada ancaman global, adalah kebijakan pembendungan melalui penerapan kebijakan luar negeri yang diwujudkan dalam bentuk U.S. Security Assistance. Bertepatan waktu itu Indonesia yang dinilai memiliki pengaruh yang cukup dominan bagi terjaminnya kepentingan nasional AS menghadapi ancaman serupa, sehingga Amerika tidak mungkin membiarkan Indonesia jatuh kerezim komunis. Dengan demikian Amerika meyakini bahwa pilihannya pada waktu itu merupakan pilihan yang tepat.
Setelah Perang Dingin usai, ancaman global yang dialami AS dalam mempertahankan kepentingan nasional bergeser, nilai-nilai demokrasi dalam bentuk penghormatan terhadap hak-hak individu memperoleh porsi yang lebih utama. AS melihat adanya berbagai pelanggaran HAM di Timor Timur yang terus berjuang mendapatkan kemerdekaannya tidak mungkin berdiam diri secara terus menerus. Sementara Indonesia melakukan kesalahan mendasar dalam merebut simpati warga Timor Timur, yaitu lebih mengutamakan pendekatan keamanan dari pada kesejahteraan, meskipun pendekatan kesejahteraan juga dilakukan, namun tidak diimbangi dengan operasi simpati, yang sejatinya pada saat itu juga menjadi salah satu doktrin TNI dalam dwi fungsi, sehingga yang terjadi adalah suatu hal yang justru kontra produktif.
Bagi Indonesia – pada masa pemerintahan Soeharto – integrasi Timor Timur menjadi harga mati, karena sama dengan Amerika yang mana kepentingan nasional yang paling mendasar adalah keamanan nasional, begitu pula bagi Indonesia dalam mana integritas NKRI termasuk Timor Timur adalah bagian integral dari kepentingan nasional. Adapun konsekuensi yang harus dihadapi Indonesia dalam pertempurannya dengan komunis belum berakhir, Falintil – sayap bersenjata Fretilin dibawah pimpinan Xanana Gusmao – terus melakukan perang gerilya dari rimbunnya hutan belukar Timor Timur. Adapun perjuangan Fretilin secara diplomasi diprakarsai oleh Ramos Horta dari luar negeri, yang mana perjuangan diplomasi ini memperoleh perkuatan dengan berdirinya ETAN di AS, yang terus melakukan pendekatan (lobbying) kepada anggota-anggota Kongres dan para Senator.
Perjuangan ETAN yang diawali seusai kerusuhan Santa Cruz telah mampu mengubah wajah Timor Timur dipercaturan dunia. Hal ini sangat dimungkinkan dengan semakin maraknya perkembangan teknologi informasi, sehingga jejaring informasi mengalir sedemikian derasnya yang menandai puncak kejayaan era globalisasi. Kerusuhan Santa Cruz menjadi titik balik yang memukul bangsa Indonesia, dalam mana kepentingan nasional untuk mempertahankan integrasi Timur Timor mengalami masa-masa yang sangat sulit. Bahkan mantan Menlu Ali Alatas sempat berkomentar dengan menyatakan bahwa, the massacre (Santa Cruz) a “turning point,” which set in motion the events leading to East Timor’s coming independence.[28] Gerakan solidaritas bagi rakyat tertindas di Timor Timur mulai bermunculan di seluruh belahan dunia.
Sebuah benturan kepentingan terjadi antara AS dengan Indonesia. AS dalam perjuangan menghadapi tantangan global telah berubah, sementara kepentingan nasional Indonesia yang paling utama (mutlak) yaitu menjaga integritas wilayah nasional yang dikumandangkan sebagai wawasan nusantara – yang mengadopsi prinsip NATO yang mana bagi Indonesia ancaman yang dihadapi oleh salah satu teritorialnya merupakan ancaman bagi NKRI, sedangkan prinsip NATO adalah ancaman yang dihadapi salah satu negara anggota merupakan ancaman bersama yang harus dihadapi secara bersama pula – tetap diperjuangkan secara all out. Timor Timur merupakan sebuah tempat dimana benturan kepentingan nasional kedua negara terjadi. Amerika yang mendukung pengintegrasian Timor Timur kedalam NKRI ditahun 1975 melalui dukungan security assistance sebagai perwujudan dukungan politisnya, kini tidak lagi hadir didalamnya. Sementara masyarakat Amerika dan juga masyarakat dunia terperangah oleh letupan Timor Timur yang pertama dengan adanya kerusuhan Santa Cruz, yang disusul oleh letupan kedua yang tidak kalah dahsyat, yaitu serangan milisi pro-integrasi – yang ditenggarai memperoleh dukungan TNI –terhadap orang-orang tak berdosa yang menginginkan kemerdekaan Timor Timur, yang telah menjadi korban sia-sia pasca jajak pendapat tahun 1999. Dunia benar-benar terperangah, dan perjuangan diplomasi Ramos Horta yang didukung oleh ETAN akhirnya mampu menembus Kongres AS. Presiden Clinton tidak berdaya menghadapi desakan masyarakatnya sendiri dan komunitas dunia. Embargo diumumkan, seluruh bentuk U.S. Security Assistance kepada Indonesia dihentikan.
Disadari atau tidak, Indonesia telah mewarisi benih-benih demokrasi dari Barat dan telah diadopsi dalam bentuk pemerintahan yang menganut sistim pembagian kekuasaan sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa didalam UUD 45. Namun sayangnya para pemimpin bangsa Indonesia pada saat itu terlalu menyepelekan hal-hal mendasar tentang penerapan hak-hak warganegara dalam menentukan nasibnya. Kesalahan terbesar yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah pada saat penetapan integrasi Timor Timur kedalam NKRI. Pada waktu itu proses integrasi ini direncanakan untuk dilakukan melalui referendum bagi warga Timor Timur setelah Indonesia berhasil menduduki wilayah tersebut. Namun dengan pertimbangan rendahnya tingkat kecerdasan rakyat dikhawatirkan mereka tidak mampu melaksanakan hak pilihnya. Akhirnya keputusan integrasi Timor Timur hanya dilakukan melalui sistem perwakilan dalam bentuk petisi yang dianggap telah mewakili keinginan rakyat Timor Timur, dan referendum dibatalkan. Indonesia lupa bahwa legitimasi integrasi Timor Timur kedalam NKRI berdasarkan ketentuan internasional mengalami cacat hukum, karena hak individu masyarakat Timor Timur tidak dihormati.
Andaikan proses integrasi Timor Timur dilakukan lewat referendum, dengan pengalaman pahit sebagian besar rakyat Timor Timur pernah berada dalam penjajahan Portugis, serta tindakan komunis yang kurang dapat diterima oleh kebanyakan warga, mungkin referendum akan menjadi pilihan sebagian besar warga Timor Timur untuk berintegrasi dengan Indonesia, yang secara ekonomi pada saat itu cukup menjanjikan bagi mereka yang menginginkan perubahan yang lebih baik. Apabila integrasi Timor Timur berhasil dilakukan melalui referendum, mungkin dukungan internasional akan lebih positif dan upaya bangsa Indonesia dalam mempertahankan integrasi akan lebih ringan dengan adanya pengakuan komunitas internasional. Namun sayangnya Indonesia menempuh cara yang tidak tepat, yang membuat integrasi Timor Timur menjadi agenda PBB (internasional) yang dianggap tidak tuntas dan mengandung cacat hukum. Dalam sebuah tulisan penelitian dinyatakan:
… namun perlu dicatat Indonesia telah melakukan kesalahan saat menjelang integrasi tahun 1976, yakni dibatalkannya rencana referendum pada saat itu, karena rendahnya tingkat kecerdasan rakyat dan dikhawatirkan tidak mampu melaksanakan hak pilihnya, walaupun ini mungkin keinginan rakyat TimTim melakukan integrasi dengan Indonesia tanpa referendum, tetapi Indonesia sebagai negara yang sudah berpengalaman dalam masalah demikian …, seharusnya Indonesia menolak keinginan integrasi tanpa referendum tersebut, apalagi jika integrasi tanpa referendum tersebut merupakan keinginan Indonesia, maka Indonesia sesungguhnya telah melakukan kesalahan, karena Indonesia telah mengabaikan nilai-nilai demokrasi yang universal dan kemudian hal ini akhirnya menjadi ganjalan Indonesia di forum internasional.[29]
Disinilah yang sejatinya menjadi suatu permasalahan mendasar yang membuat kepentingan nasional Amerika tidak lagi konvergen dengan kepentingan nasional Indonesia. Amerika dalam penerapan demokrasi yang dialiri oleh nafas liberalisme sangat menghormati hak-hak individu yang merupakan ciri demokrasi universal, sedangkan Indonesia tidak mau belajar dari perjalanan sejarah masa lalu, para pemimpin Indonesia pada waktu itu cenderung terkungkung oleh hal-hal yang lebih bersifat retorika yang hanya memiliki nilai momentum sesaat, kurang melihat visi jauh kedepan. Mungkin disini pula letak perbedaan mendasar dengan para pemimpin Amerika, sebagaimana digambarkan pada visi Wilson yang mampu melihat kondisi sesaat bangsanya yang menghadapi situasi ketidak pastian politik internasional, yang kemudian menghubungkan dengan keinginan jangka panjang bagi kepentingan bangsanya. Visi yang barangkali pada saat itu lebih bersifat mimpi, namun mimpi tersebut mampu ditangkap oleh para pemimpin generasi sesudahnya, yang kemudian berupaya dengan segala daya mewujudkannya melalui strategi yang tepat dihadapkan pada tantangan dan ancaman jaman, yang kemudian menjadi landasan bagi bangsa Amerika dalam memenuhi kebutuhan hakiki bagi setiap umat manusia secara universal yaitu keamanan, yang kemudian melahirkan sebuah kepentingan nasional yang abadi (mutlak) yaitu keamanan nasional.
Berakhirnya Perang Dingin 1989 – 90 Amerika dipimpin oleh Presiden George W. H. Bush. Dalam pemerintahannya Bush – dalam hal urusan luar negeri – melakukan pendekatan liberalisme kritis, yang ditandai dengan dimunculkannya kebijakan luar negeri yang difokuskan untuk menjamin keamanan nasional. Kebijakan ini dikenal sebagai doktrin Liberal democratic internationalism. Kebijakan ini didukung oleh Menlu James Baker yang juga memiliki visi yang senada dengan Bush, bahkan Baker menyatakan dirinya sebagai pelaksana doktrin Liberal democratic internationalism. Yang menarik dari pengakuan ini, Baker dalam suatu acara dengar pendapat dengan Senat (1989) ia menyatakan bahwa kebijakan luar negeri AS akan menerapkan idealisme dan nilai-nilai Amerika yakni kebebasan, demokrasi, persamaan hak, penghormatan pada hak-hak individu (respect for human dignity), dan bermain jujur (fair play).[30] Apa yang dilakukan oleh Bush pasca Perang Dingin selaras dengan visi Wilson yang memperjuangkan demokrasi keseluruh dunia berdasarkan liberalisme demi terjaminnya keamanan nasional. Momentum ini relatif berdekatan dengan kerusuhan Santa Cruz, suatu peristiwa yang memang sangat tidak kondusif bagi Indonesia.
Dari apa yang telah diuraikan di atas, semakin terlihat jelas bahwa benturan kepentingan ini telah mulai muncul pada saat itu. Di satu sisi Amerika tengah meluncurkan kebijakan luar negeri Liberal democratic internationalism yang salah satunya mengedepankan penghormatan pada hak-hak individu, sementara di sisi lain Indonesia mempertontonkan suatu adegan yang sangat bertentangan dengan kebijakan luar negeri AS, yakni terjadinya kerusuhan Santa Cruz yang sarat dengan pelanggaran HAM yang kemudian tersiar keseluruh penjuru dunia. Dengan demikan gerakan solidaritas Timor Timur di Amerika yang diawali dengan kemunculan ETAN ibarat gayung bersambut dengan kebijakan politik luar negeri AS. Kemudian membuat Indonesia semakin ditinggalkan oleh AS. Pada periode jabatan presiden sesudahnya, Bush digantikan Bill Clinton yang mengadopsi kebijakan luar negeri Bush dalam hampir semua aspek.[31] Clinton memerintah AS selama 2 periode kepemimpinan, perhatian AS terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM sangat besar.
Mengutip “U.S. Democracy Promotion Program in Asia,” Hearing before the Subcommittee on Asia and The Pacific of the Committee on International Relations, House of Representatives, 105th Congress, first session, September 17, 1997, Washington, 1998 seorang peneliti menyatakan:
Salah satu pilar penting politik luar negeri AS adalah menyebarluaskan nilai-nilai demokrasi dan HAM ke seluruh penjuru dunia, khususnya Asia. Hal ini secara tegas diungkapkan oleh Secretary of State, Madeline Allbright, dengan menggarisbawahi kebijakan diplomasi HAM pada kebijakan AS terhadap Asia.[32]
Dari situasi ini, tidak mengherankan bahwa perjuangan ETAN dengan berbagai gerakan sejenis yang tersebar tidak saja di Amerika, namun juga dibeberapa belahan dunia lain, mendapatkan momentum yang tepat untuk mendesak para pemimpin dunia melakukan tekanan terhadap Indonesia. Tekanan ini, kembali memperoleh momentum yang tepat pada saat Indonesia dipimpin oleh Presiden Habibie, yang memperoleh pendidikan tinggi di Jerman. Akhirnya Habibie memutuskan menerima desakan komunitas internasional yang dipelopori oleh PBB dan terutama desakan yang disampaikan oleh Senat Amerika, agar Indonesia menyelenggarakan referendum bagi masyarakat Timor Timur untuk menentukan nasibnya sendiri, apakah memilih tetap berintegrasi dengan Indonesia atau merdeka.
Difasilitasi lembaga internasional dengan supervisi PBB yaitu the U.N. Mission to East Timor (UNAMET) yang dibentuk pada bulan Juni 1999 – kira-kira satu bulan setelah negosiasi Indonesia dan Portugal disepakati pada 5 Mei 1999 – referendum penentuan nasib Timor Timur dilaksanakan pada 30 Agustus 1999, yang hasilnya adalah Timor Timur memilih merdeka. Hal ini membuat milisi pro-integrasi Timor Timur melakukan serangan brutal yang menewaskan banyak warga Timor Timur yang memilih merdeka, yang mana tindakan brutal milisi pro-integrasi ini diindikasikan terdapat keterlibatan unsur-unsur TNI. Hal inilah yang membuat pemerintah AS memberikan sanksi embargo bagi TNI, yang merupakan puncak ketidak harmonisan kepentingan nasional kedua negara, atau dengan kata lain kepentingan kedua negara sudah tidak lagi konvergen.
4.3. AS mencabut U.S. Security Assistance dan menerapkan embargo kepada TNI pasca jajak pendapat kemerdekaan Timor Timur
Pasca jajak pendapat yang dimenangkan oleh pro-kemerdekaan telah membuat frustasi bagi pihak pro-integrasi, khususnya bagi para milisi yang selama ini berjuang bersama TNI memerangi Falintil pimpinan Xanana Gusmao. Maka tidak mengherankan rasa frustasi itu mengakibatkan tindakan yang tidak terkontrol. Pada saat menjelang pemungutan suara dengan supervisi PBB meskipun di satu sisi AS mendesak pemerintahan Habibie melalui Senat, namun di sisi lain pemerintahan Clinton masih bersedia mendengar permintaan Indonesia agar pasukan internasional yang digagas oleh PBB dan dipelopori Australia tidak dihadirkan selama berlangsungnya pemungutan suara (jajak pendapat). Indonesia menyatakan kepada PBB dan pemerintah AS akan bertanggungjawab untuk mengawal pelaksanaan jajak pendapat dan menjamin bahwa jajak pendapat akan berlangsung aman. Amerika sebagai negara yang menerapkan azas demokrasi liberal dalam percaturan internasional menghormati sepenuhnya terhadap keinginan Indonesia tersebut.
Sejatinya pemerintah Amerika berupaya mendukung Indonesia sepenuhnya sejak Indonesia mengintegrasikan Timor Timur kedalam wilayahnya hingga berbagai perjuangannya dalam upaya menghadapi perlawanan pasukan komunis Falintil dibawah pimpinan Xanana Gusmao. Dukungan militer (security assistance) bahkan terus diberikan hingga tahun 1997, sekalipun Kongres dan ETAN berupaya menghentikan bantuan militer tersebut. Penghentian bantuan militer memang pernah dilakukan pasca kerusuhan Santa Cruz. Namun hanya sebatas program IMET, itupun atas desakan Kongres yang dipelopori seorang Senator yang kemudian mendapatkan dukungan dari beberapa Senator yang lain. Pada tahun 1994 program IMET dihidupkan kembali setelah dibekukan selama 3 tahun. Menurut Menlu Warren Christopher dihidupkannya kembali program IMET “merupakan suatu hal yang penting” untuk mempromosikan “reformasi militer” di Indonesia.[33] Pada awal tahun yang sama (1994) Deplu AS mengumumkan larangan bagi penjualan senjata ringan kepada Indonesia untuk memenuhi desakan Kongres. Bahkan pada tahun 1996 format IMET diubah menjadi Extended – IMET (E-IMET) yang dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang hukum humaniter, hubungan sipil-militer yang proporsional dalam pemerintahan sipil, serta penghormatan terhadap HAM. Secara keseluruhan pada masa pemerintahan Clinton terungkap bahwa bantuan militer yang diberikan kepada Indonesia senilai + US$150 juta. Sepertinya AS dalam menerapkan kebijakan luar negerinya bersifat mendua (double standard).
The degree of cooperation between Washington and Jakarta is impessive. US weapons sales to Indonesia amount to over $1 billion since the 1975 invation. Military aid during the Clinton years is about $150 million, and in 1997 the Pentagon was still training Kopassus units, in violation of the intent of congressional legislation. In the face of this record, the US government lauded “the value of the years of training given to Indonesia’s future military leader in the US and millions of dollars in military aid for Indonesia.” [34]
Dari catatan tersebut diatas, terlihat bahwa pemerintah AS sejatinya masih menaruh perhatian terhadap Indonesia, dan berharap bahwa reformasi di Indonesia akan diawali oleh para petinggi dengan latar belakang militer yang pernah mendapatkan pendidikan militer di AS melalui program IMET. Tapi apakah perhatian yang diberikan ini benar-benar menjadi dasar kebijakan luar negerinya? Sebagaimana diketahui bahwa kepentingan nasional yang bersifat mutlak bagi setiap bangsa didunia dan menjadi dasar bagi penentuan kebijakan luar negeri adalah menjamin kelangsungan hidup dan mempertahankan integritas teritorial bagi suatu komunitas sebuah bangsa dan negara. Disamping itu terdapat kepentingan nasional yang dianggap vital yaitu kepentingan ekonomi yang mungkin bisa berada dimanapun, dan juga menjadi salah satu dasar bagi penentuan kebijakan luar negeri suatu negara. Keith R. Legg dan James F Morisson merumuskan hubungan kepentingan nasional dengan kebijakan luar negeri sebagai berikut:
The most fundamental source of foreign policy objectives is perhaps the universally shared desire to insure the survival and territorial integrity of community and state. … the single most important set of domestic source of foreign policy are the economic needs of the community. [35]
Dengan demikian bahwa sikap AS yang terlihat mendua ini pada dasarnya tidak terlepas dari upayanya menjamin kepentingan nasional mutlaknya dan sekaligus kepentingan nasional vitalnya. Dalam hal ini secara khusus ditujukan untuk menjamin kelangsungan hidup atau keamanan nasionalnya dan kepentingan ekonomi globalnya. Dan untuk mencapai dua kepentingan nasionalnya tersebut berbagai strategi dirumuskan dalam bentuk-bentuk doktrin. Dan doktrin yang diterapkan oleh Clinton yang meneruskan doktrin Bush dan diwarisi dari pemikiran Wilson telah memaksa AS menerapkan strategi yang tampak mendua tersebut. Di satu sisi faham demokratik liberal dibidang ekonomi mengharuskan Amerika menerapkan free market antara lain melalui pembentukan NAFTA. Sementara kepentingan ekonomi AS di Indonesia juga tidak kecil dengan adanya investasi yang ditanamkan diberbagai sektor seperti minyak bumi, pertambangan dan jasa.
Sedangkan di sisi lain faham demokratik liberal dibidang politik mengharuskan AS bersikap tegas dalam hal menyikapi berbagai pelanggaran HAM diseluruh penjuru dunia sebagai salah satu upaya penyebarluasan nilai-nilai demokrasi. Itulah sebabnya sekalipun AS menentang pelanggaran HAM terhadap kasus Timor Timur, khususnya pasca kerusuhan Santa Cruz, serta berbagai tindak kekerasan TNI dalam memerangi Falintil, pemerintah AS nampaknya masih memberikan toleransinya, hal ini mengingat adanya berbagai kepentingan ekonomi yang cukup signifikan di Indonesia. Dengan demikian penjualan senjata dan bantuan militer lainnya yang dilakukan kepada Indonesia selama periode ini tentunya tidak terlepas juga dari upaya AS dalam menjamin kepentingan-kepentingan nasionalnya.
Situasi pasca jajak pendapat Timor Timur, nampaknya tidak dapat lagi dihindari oleh AS. Hal ini disebabkan permasalahan ini telah menjadi perhatian dunia, dan pemerintah AS bahkan dipojokkan oleh publiknya sendiri baik melalui ETAN maupun Kongres. Oleh karena itulah akhirnya pemerintah AS terpaksa menerapkan embargo menyeluruh terhadap Indonesia yang salama ini diberikan dalam bentuk security assistance selama hampir 50 tahun (sejak 1950 – 1999). Presiden Clinton pada tanggal 9 September 1999 menyatakan, “if Indonesia does not to end the violence it must invite the international community to assist in restoring security.” Dan pada tanggal yang sama Washington memutus/menghentikan bantuan militer bagi Indonesia sebesar US$476,000.[36] Namun ternyata jumlah bantuan (U.S. Security Assistance) yang dihentikan tersebut berdasarkan penjelasan yang disampaikan oleh penasehat keamanan presiden, Sandi Berger jauh lebih besar dari data tersebut.
that what had not already been delivered of about $40 million in outstanding U.S. government-to-government sales through the Pentagon’s Foreign Military Sales (FMS) program and some $400 million in commercial arms sales would be put on hold. A Defense Department official subsequently said the suspension would halt $7 million in undelivered FMS items.[37]
Sikap mendua AS ini akhirnya diakui oleh James Rubin, Juru Bicara Deplu AS yang menyatakan bahwa, “We did the best that could be done under extremely difficult circumstance.”[38] Sebuah pengakuan yang disampaikan dengan bahasa diplomasi tingkat tinggi untuk mengungkap tentang adanya paradoksal kebijakan bantuan AS terhadap Indonesia dalam menyikapi kasus Timor Timur.
4.4. Kebijakan AS Pasca 11 September 2001
Menarik untuk dicermati lebih lanjut tentang kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia setelah terjadinya serangan kelompok teroris Osama bin Laden atas dua simbol kebanggaan/hegemoni Amerika dalam percaturan dunia, yaitu Pentagon yang merupakan simbol hegemoni kekuatan militer dan WTC yang merupakan simbol hegemoni ekonomi. Osama bin Laden dengan Al-Qaeda merupakan kelompok teroris dari aliran Islam garis keras (radikal) yang merasakan atau setidak-tidaknya memberikan penilaian yang ekstrim terhadap sikap Amerika selama ini dalam memperlakukan kelompok muslim. Osama bin Laden dan kelompoknya menilai Amerika tidak adil dalam memperlakukan muslim di kawasan Timur Tengah, khususnya sikap AS dalam membela Israel atas musuhnya Palestina. Amerika yang menyebut dirinya sebagai negara demokratis dan memperjuangkan demokrasi bagi dunia, dinilai tidak mampu menekan Israel yang merupakan sekutu dekatnya yang telah mencaplok wilayah Palestina dan bahkan memberikan dukungan persenjataan dan bantuan ekonomi/finansial yang nilainya sangat fantastis dari tahun ke tahun. Israel yang dianggap sebagai musuh Islam, telah menginjak-injak nilai-nilai demokrasi terhadap kaum Palestina, sikap ketidakadilan yang kontra produktif terhadap nilai-nilai demokrasi universal inilah yang membuat kelompok Osama bin Laden memusuhi Amerika. Osama bin Laden sebagai aktor “non state” memiliki keleluasaan dalam menjalankan aksi terornya terhadap Amerika dan berbagai kepentingannya diseluruh dunia. Osama bin Laden dengan kelompoknya telah mampu menyebarkan faham jihad atas perangnya dengan Amerika, dan Osama bin Laden telah mampu membentuk dan memperluas jaringan Al-Qaeda dinegara-negara berpenduduk muslim diseluruh dunia. Jaringan ini bahkan telah mampu menembus Indonesia yang menyerang berbagai kepentingan Amerika beserta sekutu dekatnya.
Penilaian Osama ini, mungkin benar dari sisi perjuangannya, namun kebijakan AS terhadap kasus Timur Tengah dalam format yang berbeda mungkin relatif sama dengan kebijakan AS terhadap proses integrasi Timor Timur. Hanya saja konteksnya jauh berbeda. Di satu sisi Israel mampu melakukan lobby yang sangat kuat terhadap pemerintah AS beserta Kongres,[39] di sisi lain Indonesia tidak memiliki kemampuan seperti itu, bahkan yang melakukan lobby adalah lawan politik Indonesia, yakni ETAN yang mendukung perjuangan Ramos Horta. Dengan demikian dukungan AS terhadap Israel tidak pernah berubah, meskipun negara-negara Islam berupaya menyuarakan aspirasinya terhadap sikap double standard AS terhadap Timur Tengah tersebut.
Serangan atas Pentagon dan WTC pada 11 September 2001 merupakan serangan puncak Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Berbagai langkah akhirnya ditempuh oleh Amerika yakni Kongres menetapkan USA-PATRIOT Act yang merupakan langkah strategis dalam rangka memutus aliran dana perjuangan Al-Qaeda dalam menyebarkan teror di seluruh dunia, melalui pemblokiran rekening-rekening yang dicurigai milik mereka. Dan tidak hanya terbatas pada kegiatan pemutusan aliran dana bagi kelompok teroris, ketentuan (Act) ini juga memberikan kekuasaan yang luar biasa bagi pemerintah AS untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan.
… Serangan teroris Al-Qaeda terhadap WTC dan Pentagon, 11 September bukan membuat masyarakat Amerika terpecah belah, … Kohesivitas itu tampak pada pengesahan the USA-PATRIOT Act, tanggal 26 Oktober 2001. Suatu kekuasaan yang luar biasa diberikan oleh Kongres Amerika kepada pemerintah untuk membasmi teroris tanpa melalui penerapan hukum terlebih dahulu… Jaksa Agung John D. Ashcrof mempertegas kekuasaan pemerintah dengan menyatakan “Think outside the box, but not outside the constitution.”[40]
Dalam hal ini nampaknya AS menganut sebuah mashab tentang keamanan nasional yang menyatakan bahwa:
Jika kebijakan yang dilakukan oleh suatu negara untuk keamanan nasionalnya bertentangan dengan sistem internasional secara keseluruhan atau anggota-anggota yang lain asalkan kepentingan negara-bangsa tetap terjamin, maka kebijakan tersebut relevan untuk bangsa yang bersangkutan.[41]
Hal tersebut pada dasarnya menunjukkan konsistensi AS dalam menerapkan doktrin maksimalisme melalui strategi yang tepat dihadapkan pada setiap perubahan ancaman globalnya. Mashab ini nampaknya tidak hanya dianut oleh AS, sebagai contoh China juga menganutnya pada saat menghentikan demo mahasiswa di Lapangan Tiananmen secara represif. Indonesia sebenarnya disadari atau tidak pada saat melakukan tindakan menyerang demonstran di Santa Cruz juga dapat dibenarkan bila dikaitkan dengan mashab tersebut, hanya saja mashab ini mungkin dapat dikatakan efektif jika dilakukan oleh sebuah negara dengan kekuatan militer yang tiada bandingnya sebagaimana yang dimiliki oleh AS, atau paling tidak memiliki kemampuan detterence yang tinggi sebagaimana China. Sedangkan Indonesia tidak memiliki tingkat kemampuan militer sebagaimana yang dimiliki AS dan juga tidak memiliki tingkat kemampuan detterence sebagaimana yang dimiliki oleh China. Itulah sebabnya kerusuhan Santa Cruz justru menjadi titik balik bagi proses terlepasnya Timor Timur.
Langkah AS selanjutnya – berbekal USA-PATRIOT Act yang memberikan kekuasaan luar biasa dari Kongres – dibawah kepemimpinan George W. Bush menetapkan doktrin melawan terorisme global sebagai grand strategy baru. Indonesia yang merupakan negara berpenduduk muslim terbesar didunia dinilai penting dalam mendukung pelaksanaan grand strategy baru tersebut dalam memerangi ancaman terorisme global yang menyerang dengan senjata-senjata pemusnah massal (weapon mass destruction/WMD). Dengan demikian perubahan kebijakan AS ini dilakukan tidak terlepas dari upayanya dalam menjamin keamanan nasional, yang merupakan bagian dari kepentingan nasional yang bersifat mutlak (fundamental) serta dalam upaya menyebarkan nilai-nilai demokrasi yang dilandaskan pada liberalisme, dalam mana penghormatan terhadap hak-hak individu dijunjung tinggi.
Dari apa yang terjadi dapat pula dilihat bahwa dari tiga unsur kepentingan nasional AS yang meliputi (1) keamanan nasional, (2) kepentingan ekonomi global, dan (3) penyebaran demokrasi yang berazaskan penghormatan pada HAM, maka keamanan nasional merupakan harga mati. Sedangkan antara kepentingan ekonomi global dengan penyebaran demokrasi dijadikan sebagai salah satu alat utama bagi kebijakan luar negerinya dalam menjamin keamanan nasionalnya. Dari dua kepentingan nasional yang disebutkan terakhir, prioritasnya akan ditentukan oleh ancaman dan tantangan global yang dihadapi dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi. Suatu saat kepentingan ekonomi mendapatkan prioritas, dan disaat lain prioritas bergeser pada kepentingan penyebaran demokrasi yang dilandasi oleh penghormatan terhadap HAM. Hal ini terlihat ketika proses integrasi Timor Timur kedalam NKRI tengah berlangsung, pada saat itu kepentingan ekonomi global AS terancam oleh komunis, yang mana komunis menerapkan perjuangan menentang kapitalisme dan berupaya menghancurkannya. Oleh karena itu, Amerika merasa perlu memberikan dukungan penuh kepada Indonesia. Dukungan ini diberikan dalam rangka skenario global pembendungan komunisme, yang mana AS masih terlibat Perang Dingin dengan komunis Soviet. Salah satu doktrin yang diterapkan adalah doktrin containment, yang dalam penerapannya dikombinasikan dengan program bantuan ekonomi Marshall Plan yang semula diperuntukkan bagi upaya Amerika membenahi perekonomian Eropa Barat yang menjadi aliansinya.
Perpaduan doktrin pembendungan dan Marshall Plan ini kemudian dijadikan sebagai kebijakan luar negeri pembendungan (policy of containment) yang selanjutnya dimodifikasi sedemikan rupa menjadi program U.S. Security Assistance kepada negara-negara berkembang. Hal ini dilakukan seiring dengan adanya investasi-investasi AS yang ditanamkan di negara-negara berkembang yang tersebar diseluruh belahan dunia. Dengan demikian kebijakan U.S. Security Assistance ini pada dasarnya merupakan salah satu strategi global AS dalam upayanya meningkatkan capacity building dibidang security bagi negara-negara berkembang, dalam mana kepentingan AS hadir dinegara tersebut.
Dalam konteks proses integrasi Timor Timur kedalam NKRI, pihak AS memberikan dukungan penuh baik berupa dukungan politis maupun dukungan dalam bentuk security assistance. Dalam hal ini AS tetap berpedoman pada kepentingan nasional negaranya guna menjamin keamanan nasional. Namun harus diakui pada saat itu mungkin aspek-aspek penghormatan terhadap hak-hak individu agak dikesampingkan. AS dalam melakukan kebijakan luar negerinya pada saat itu lebih mengutamakan pendekatan kepentingan ekonomi global yang terancam oleh rongrongan komunisme yang menjadi ancaman globalnya. Dengan demikian apa yang dilakukan oleh AS adalah merupakan bagian dari skenario global yang memang menjadi pilihan yang paling tepat untuk diterapkan pada saat itu. Sementara lepasnya Timor Timur dari NKRI juga tidak dapat dilepaskan dari adanya perubahan kebijakan global AS pasca Perang Dingin. Proses perubahan diawali pasca terjadinya kerusuhan Santa Cruz, yang pada saat itu Amerika menerapkan kebijakan Liberal democratic internationalism yang lebih mengedepankan penghormatan HAM. Perubahan kebijakan ini memuncak pasca terjadinya kerusuhan pasca jajak pendapat Timor Timur 1999 dengan diterapkannya embargo kepada militer Indonesia sebagai bentuk nyata dari perubahan kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia. Serangan teroris 11 September 2001 telah memaksa AS kembali merubah kebijakan luar negerinya terhadap Indonesia untuk memulihkan hubungan militer yang telah diputus melalui embargo. Tahun 2000 Indonesia telah mulai diijinkan untuk membeli suku cadang dan komponen senjata yang tidak mematikan (non-leathal weapon component/spare parts). Tahun 2003 IMET secara bertahap mulai dipulihkan dan akhirnya pada tahun 2005 secara resmi embargo dinyatakan dicabut, hubungan militer kedua belah pihak dipulihkan secara penuh.
Perubahan kebijakan ini – sekali lagi – pada dasarnya diawali ketika terjadi serangan teroris 11 September 2001 yang telah membuat Amerika menjadi gusar, dan mendorong untuk merumuskan grand strategy baru dalam melindungi keamanan nasionalnya terhadap serangan terorisme. Pada Januari 2002 Bush menyampaikan pidato pada rapat gabungan Kongres yang selanjutnya dikenal sebagai Doktrin Bush. Adapun pidato yang disampaikan antara lain menyatakan bahwa AS akan membasmi sarang-sarang teroris, mengacaukan rencana-rencana teroris, serta membawa para teroris ke pengadilan. AS harus mencegah para teroris dan pemerintahan manapun yang berusaha mengembangkan senjata kimia, biologi, atau nuklir yang akan mengancam AS dan seluruh dunia. Negara-negara yang diindikasikan oleh AS seperti tersebut diatas, oleh Robert Kagan disebut sebagai rogue state seperti Iraq, Iran dan Korea Utara, yang oleh Bush dijuluki sebagai “axis of evil.”[42] Namun juga dikatakan bahwa waktu berada diluar kontrol AS. Oleh karena itu AS tidak akan menunggu terjadinya suatu peristiwa yang akan membahayakan terakumulasi dan menjadi kenyataan. AS tidak akan membiarkan resiko datang mendekat dan semakin mendekat. AS tidak akan mengijinkan/membiarkan suatu pemerintahan yang sangat membahayakan dunia dan mengancam AS dengan senjata yang akan menghancurkan dunia.[43]
Adapun strategi baru dalam memerangi terorisme, sesuai rumusan U.S. NSS (The National Security Strategy of the United States of America), yang telah dirilis oleh Gedung Putih pada tanggal 17 September 2002 adalah:
(1) Preemption. … (The USA could) the preemptive use of military forces against terrorists or state sponsors of terrorism that attempt to gain or use WMD; (2) Military Primacy. … (The USA)’s unparalleled position of power in the world and held that a fundamental goal of grand strategy should be maintain American primacy by discouraging the rise of any challengers; (3) A new Multilateralism …, while the USA will constantly strive to enlist the support of the international community, but he will not hesitate to act alone; (4) The Spread of Democracy. …(It) was not just about power and security, (but) also committed the United States to spread democracy worldwide and promote the development of free and open societies on every continent,… especially in the Muslim world. [44]
Salah satu butir dari doktrin Bush dalam memerangi terorisme global yaitu butir keempat, dalam mana AS menyatakan perlunya upaya untuk menyebarkan demokrasi keseluruh dunia dan mempromosikan berkembangnya masyarakat yang bebas dan terbuka di setiap benua, khususnya didunia muslim. Nampaknya AS hingga saat ini tetap meyakini ajaran liberalisme Wilson yakni manakala demokrasi dapat disebarkan dan diterapkan diseluruh dunia, maka dunia akan aman dan damai, sehingga akan berdampak bagi terjaminnya keamanan didalam negerinya.
Dalam konteks ini, kemudian AS melihat perkembangan demokrasi di Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar didunia dinilai cukup signifikan dalam mana proses reformasi berjalan seiring antara pemerintahan dan di tubuh TNI, oleh karena itulah Amerika berusaha memperbaiki hubungan dengan Indonesia, khususnya dengan TNI. Amerika juga memperhatikan tentang reformasi yang dilakukan di tubuh TNI dengan dilembagakannya reformasi tersebut dalam kebijakan pertahanan negara Indonesia yang dimuat dalam “Buku Putih” (Kebijakan bidang) Pertahanan yang diterbitkan pada tahun 2003 dengan judul “Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad ke-21.” Dalam Bab II buku tersebut di ulas tentang komitmen TNI untuk mendukung kebijakan pemerintahan nasional di bawah supremasi sipil, serta komitmen untuk melakukan reformasi internal. Konsep reformasi TNI berisi pemikiran strategis tentang peran TNI yang di kenal sebagai “Paradigma Baru Peran TNI,” yang berisi dokumen tentang Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi peran TNI dalam kehidupan bangsa di masa depan.” [45]
Reformasi internal TNI berjalan terus dan selanjutnya pada tahun 2004 Presiden RI telah mensahkan Undang-undang Republik Indonesia tentang TNI, dalam mana UU tersebut telah di atur tentang tugas, peran dan fungsi TNI, kewajiban, hak, dan larangan. Larangan-larangan yang ditetapkan, dimaksudkan untuk mendukung pemerintahan demokratis di bawah supremasi sipil yaitu larangan bagi setiap prajurit TNI untuk tidak terlibat dalam (1) kegiatan menjadi anggota partai politik; (2) kegiatan politik praktis; (3) kegiatan bisnis; dan (4) kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya.[46]
Dengan adanya kesungguhan bangsa Indonesia dalam menerapkan demokrasi serta komitmen TNI dalam melakukan reformasi internal, telah mampu memperbaiki kondisi keamanan nasional. Perkembangan ini secara cermat diikuti oleh AS, sehingga pada tahun 2000 Indonesia (TNI) telah mulai diijinkan untuk melakukan pembelian spare parts peralatan militer yang tidak mematikan (“military spare parts for non-lethal items”).[47] Selanjutnya Indonesia juga mulai digandeng untuk ikut bersama-sama dengan komunitas internasional melakukan perang melawan terorisme global. Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional tentunya tidak dapat berpangku tangan terhadap ancaman terorisme global ini, sehingga Indonesia menerima dengan baik ajakan tersebut. Untuk itu Amerika pada tahun 2002 – 2004 memberikan bantuan dana bagi pelatihan dan strategi dibidang counterterrorism (Counterterrorism Fellowship Program) yang diperuntukkan bagi TNI khususnya yang bertugas dibidang intelijen.[48] Program ini ditindak lanjuti dengan program sejenis yang disebut sebagai Antiterrorism Assistance Program. Bantuan ini diberikan khusus kepada Polisi dalam rangka memberikan pelatihan dan memperlengkapi satuan anti teror “Detasemen 88” yang dibentuk pada tahun 2003 dalam merespon peristiwa bom Bali. IMET juga mulai dibuka kembali pada tahun 2003, walaupun diberikan dalam bentuk yang berbeda, serta melalui seleksi yang ketat, dengan melarang para anggota TNI yang diindikasikan pernah terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran HAM. Kebijakan ini dikenal sebagai “Human Rights Vetting.” {selaras dengan yang tercantum pada Section 502B, Foreign Assistance Act of 1961 (FAA)} [49]
Pada 22 Nopember 2005, secara formal Pemerintah AS melalui U.S. Department of State (Deplu) telah menyatakan pencabutan embargo AS terhadap Indonesia, dan kerjasama antara militer kedua belah pihak dipulihkan kembali.
…to inform you of the Secretary’s determination that it is in the national security interest of the United States to waive the conditions on assistance to Indonesia… Carefully targeted assistance to specific, vetted Indonesia military units will provide incentives for further reform and help achieve U.S. national security objectives. Such assistance will advance our strategic interest in Southeat Asia and strengthen a critically importance relationship with the world’s third-largest democracy and most populous majority-Muslim nation.[50]
Sebuah penilaian yang objektif tentang perlunya pemulihan kembali U.S. security assistance kepada Indonesia. Pemerintah AS mengamati dengan cermat perkembangan demokrasi di Indonesia yang didukung oleh reformasi internal TNI yang telah berlangsung dengan baik. AS mengakui bahwa pemberian bantuan ini akan memiliki dampak yang sangat positif bagi kepentingan strategik AS di Asia Tenggara dan akan memperkuat hubungan yang dinilai sangat penting dengan Indonesia yang diakui telah berkembang sebagai negara demokratis terbesar ketiga didunia dengan penduduk mayoritas muslim. Kepentingan strategik yang dimaksud pada saat ini adalah terkait dengan kepentingan AS dalam memerangi terorisme global. Namun sayangnya dalam prakteknya anggota Kongres Amerika (Senator Feingold & Leahy) berupaya menghambat hubungan bilateral ini dengan tetap menuntut agar pemerintah Indonesia secara konsisten meneruskan reformasi internal TNI,[51] yang sebenarnya hal tersebut telah menjadi komitmen yang sangat kuat ditubuh TNI.
Dengan demikian pertimbangan utama yang mendasari pemulihan kerjasama militer antara kedua belah pihak adalah sebagaimana yang telah disinggung diatas yaitu adanya penilaian AS terhadap Indonesia yang telah berkembang menjadi negara demokratis terbesar ketiga didunia dengan jumlah penduduk yang sebagian besar adalah muslim. Selaras dengan doktrin Bush terkait dengan perang melawan terorisme global yang menyebutkan bahwa perlu melakukan pendekatan dan kerjasama dengan negara-negara muslim atau yang memiliki pengaruh di percaturan dunia, Indonesia termasuk dalam kriteria ini.
Sejak embargo di cabut, berbagai program security assistance kembali diluncurkan, yaitu IMET, FMS, dan FMF. Untuk program bantuan IMET, Indonesia (Dephan/TNI) pada Tahun Anggaran (TA) 2006 memperoleh dana bantuan sebesar US$792,000 sedangkan bantuan untuk TA.2007 di dukung sebesar US$1,285,000 dan TA.2008 di dukung sebesar US$974,000. Sedangkan untuk tahun anggaran berjalan 2009 AS mengalokasikan anggaran IMET sebesar US$2,400,000.[52] Sementara untuk FMS, Indonesia (TNI) telah kembali diijinkan untuk membeli berbagai peralatan militer dan suku cadang/komponen alat utama sistim senjata (Alut Sista). Untuk program FMF yang sebelumnya dikenal dengan sebutan Military Assistance Program (MAP) yang merupakan hibah bersyarat,[53] di mulai lagi pada TA. 2006. Adapun program bantuan hibah (FMF) pasca embargo adalah: [54]
Untuk TA.2007 (1 Okt 07 – 30 Sep 08), bantuan yang diberikan senilai + US$6 juta, dalam bentuk: (1) bantuan pembangunan Kapasitas Depo TNI AU, termasuk dukungan pemeliharaan/perbaikan 1 unit pesawat angkut militer C-130; (2) bantuan tenaga teknisi (Contractor Engineering Technical Support), terdiri dari 4 macam yaitu: Tim Chief/Training, Navy Small Craft, C41SR (Command, Control, Communications, Computers, Intelligence, and Surveillance and Reconnaissance System), C-130 Aircraft.
Untuk TA. 2008, pemerintah AS memberikan bantuan senilai + US$15,6 juta, dalam bentuk: (1) kelanjutan pembangunan kapasitas Depo TNI AU, termasuk bantuan pemeliharaan/perbaikan 2 unit pesawat angkut militer C-130; (2) bantuan tenaga teknisi, terdiri dari 4 macam : Team Chief, Ship, C41SR, C-130 Aircraft; (3) Liaison Officer sistem senjata sebanyak 1 orang di bidang persenjataan pesawat F-16; (4) Kelanjutan Project “1206” FY06, dalam bentuk dukungan spare part dan upgrade.
Untuk TA. 2009, pemerintah AS mengalokasikan bantuan senilai + US$28,1 juta, dalam bentuk: (1) kelanjutan pembangunan kapasitas Depo TNI AU, termasuk bantuan pemeliharaan/perbaikan 2 unit pesawat angkut militer C-130; (2) bantuan tenaga teknisi, terdiri dari 4 macam : Team Chief, Ship, C41SR, C-130 Aircraft; (3) Liaison Officer sistem senjata sebanyak 2 orang di bidang persenjataan pesawat F-16 dan F-5; (4) dukungan Skuadron Logistik Tempur dari USAF (U.S. Air Force), terdiri dari teknisi ahli F-16, F-5, C-130; (5) kelanjutan Project “1206” FY06/FY07, dalam bentuk dukungan spare part dan upgrade.
Untuk dukungan Project “1206” FY06 & “1206” FY07. (Integrated Maritime Surveillance System/IMSS) yaitu: (1) Project “1206” FY06, Integrated Maritime Surveillance System (IMSS), di Selat Malaka. nilai bantuan sebesar + US$18,4 juta, diwujudkan dengan pemasangan 8 unit radar Coastal Surveillance System (CSS) beserta perlengkapannya termasuk 2 unit cadangan, untuk memantau maritime security di Selat Malaka. Dalam pelaksanaan pekerjaannya dilakukan secara bertahap dan diselesaikan dalam 2 Tahun Anggaran (Tahun 2007 dan Tahun 2008); (2) Project “1206” FY07. IMSS, nilai bantuan sebesar + US$18,1 juta, dengan rencana pemasangan 8 radar CSS di Laut Sulawesi.
Selanjutnya dalam proses normalisasi hubungan AS – Indonesia, khususnya mililary to military relationship (mil – to – mil), sejak tahun 2002 secara reguler telah diadakan Indonesia – US Security Dialog (IUSSD) oleh Kementerian Pertahanan kedua belah pihak, yang hingga pada saat ini (2010) telah terselenggara 8 kali dialog. Dalam dialog tersebut dibahas berbagai perkembangan global, regional serta kemungkinan kerjasama teknis atau bantuan dalam bentuk capacity building dibidang security yang diperlukan oleh Indonesia. Dari kegiatan security dialog tersebut kedua belah pihak memandang perlu untuk menyusun Defence Cooperation Agreement (DCA) AS – RI yang akan dijadikan sebagai payung hukum terhadap berbagai kegiatan kerjasama yang telah terselenggara selama ini. Draft DCA pada saat ini tengah dalam proses pembahasan intensif antara sfaf Direktorat Kerjasama Internasional Ditjen Strahan Kemhan – yang melibatkan unsur-unsur terkait seperti Kementerian Luar Negeri dan TNI – dan staf Kedubes AS. Diharapkan pada tahun 2010 draft DCA dimaksud dapat ditandatangani oleh Menteri Pertahanan kedua belah pihak atau yang mewakili, terutama pihak AS kemungkinan Menhan AS apabila tidak dapat melakukan, akan diwakili oleh Dubes AS di Jakarta. (Pada saat buku ini diterbitkan kemungkinan DCA dimaksud telah ditandatangani oleh kedua belah pihak).
Salah satu persoalan pokok yang masih menjadi ganjalan/penghambat untuk memulihkan hubungan mil – to – mil antara AS dengan Indonesia adalah kebijakan U.S. Human Right Vetting bagi prajurit TNI yang akan diikutsertakan dalam program IMET. Ganjalan dimaksud terutama berasal dari pihak Kongres AS yang tetap merujuk pada Section 502B, Foreign Assistance Act of 1961 (FAA) tentang ketentuan pemberian U.S. Security Assistance termasuk IMET. Sementara itu, pokok permasalahannya telah diselesaikan oleh pemerintah RI dan Timor Leste dengan telah diterimanya hasil kerja Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia – Timor Leste.
Perkembangan yang terbaru adalah kunjungan presiden Barack Obama ke Indonesia pada medio Maret 2010 dalam rangka membangun kemitraan komprehensif (comprehensive partnership) dengan pemerintah Indonesia. Dengan kemitraan komprehensif ini diharapkan kedua belah pihak dapat lebih meningkatkan kerjasama yang saling menguntungkan (mutual benefit) diberbagai sektor seperti bidang energi, lingkungan, kesehatan, ilmu pengetahuan, investasi, serta meningkatkan volume perdagangan antar kedua belah pihak. Khusus terkait dengan adanya ganjalan hubungan mil – to – mil dengan adanya kebijakan U.S. Human Right Vetting, dengan penandatangan comprehensive partnership agreement atau joint declaration on comprehensive partnership antara kedua kepala pemerintahan, diharapkan akan lebih menjadi perhatian pemerintah AS untuk memperjuangkan ke Kongres AS agar kebijakan tersebut dapat dicabut.
Dalam kaitan hubungan bilateral AS – Indonesia secara lebih luas, tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh kawasan ikut mewarnai hubungan bilateral tersebut, dimana dalam konstelasi percaturan global, China telah muncul sebagai kekuatan baru (the new arising power) yang mencoba berebut pengaruh dengan AS, telah melakukan pendekatan yang cukup intensif dengan berbagai negara di kawasan ASEAN termasuk Indonesia. Hal ini membuat Amerika merasa perlu meningkatkan pengaruhnya di Kawasan Asia Pasifik dibawah kendali US PACOM (United State Pacific Command) melalui peningkatan U.S. Security Assistence, yang sejatinya merupakan derivatif dari containment policy (perpaduan antara doktrin pembendungan dan bantuan ekonomi marsall plan). Mungkinkah era Perang Dingin babak baru antara AS – China sedang dimulai, meskipun mungkin dalam format yang berbeda? Sebab pada saat ini AS melalui US PACOM tengah melakukan pendekatan intensif kepada negara-negara ASEAN untuk dapat menempatkan perwakilan negaranya di Sekretariat ASEAN. Upaya ini nampaknya dilakukan sebagai upaya counter atau membendung upaya China memperkuat pengaruhnya di kawasan. Modus ini kalau disimak, senada dengan upaya AS sewaktu membangun Southeast Asia Treaty Organization (SEATO) pada September 1954 pada saat membendung pengaruh penyebaran komunis Soviet di Asia Tenggara. Hal ini sekaligus nampaknya juga dijiwai oleh doktrin Bush yang kedua sebagaimana tersebut di atas tentang Military Primacy dalam bentuk lain yang dapat diterjemahkan bahwa AS tidak ingin dominasinya di percaturan global ditentang oleh kekuatan manapun. Untuk itu AS akan berupaya semaksimal mungkin untuk meredam kekuatan penentang dengan berbagai upaya. Dengan demikian, doktrin maksimalisme Amerika juga tampak semakin nyata.
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Hendrajit (yang disampaikan dalam sebuah seminar) disebutkan bahwa Amerika berupaya membentuk ASEAN Defence Forum (ADF) untuk menancapkan pengaruhnya di ASEAN guna membendung pengaruh China yang dirasakan oleh AS semakin menguat. Namun rupanya China mampu melakukan manuver politik yang dinilai lebih elegan.
Bahkan dibidang politik, nanuver politik Cina ternyata jauh lebih elegan dibandingkan Amerika. Dalam Deklarasi Kemitraan ASEAN-Cina pada 2003 lalu, ASEAN dan Cina telah sepakat untuk bekerjasama lebih lanjut mengenai aksesi Cina atas Treaty of Aminity and Cooperation (TAC), dan terus mengkonsultasikan niat Cina untuk aksesi Protokol Perjanjian Kawasan Bebas Nuklir Asia Tenggara. Suatu hal yang justru dihindari Amerika sebisa mungkin. Begitulah. Deklarasi kemitraan ASEAN-Cina pada justru telah menggugurkan opini yang dikembangkan oleh Amerika bahwa Cina merupakan musuh dan ancaman bagi kawasan Asia Tenggara, dan sebagai alat pembenaran (justifikasi) dibentuknya ADF sebagai persekutuan militer regional Asia Tenggara yang berada dalam kendali Amerika. Motivasi Amerika dengan adanya ADF memang bisa dimengerti. Karena dengan ADF, maka Amerika akan memiliki instrument militer untuk mendesak ASEAN agar menjalankan misi dan kepentingan spesifik Amerika di kawasan Asia Tenggara.
Namun demikian Amerika tidak pernah berhenti dalam upayanya menanam pengaruh militernya di kawasan Asia Tenggara. Gagasan ADF yang nampaknya sulit untuk direalisasikan, Amerika ternyata dalam kurun waktu yang bersamaan telah membentuk suatu instrument kerjasama militer lainnya di seluruh kawasan, termasuk Asia Pasifik, dimana Asia Tenggara berada didalamnya. Instrumen dimaksud adalah adanya tawaran dari pihak AS kepada negara-negara Asia Pasifik termasuk Asia Tenggara untuk melakukan kerjasama saling memberikan dukungan logistik dalam suatu operasi dikawasan tertentu yang melibatkan Angkatan Bersenjata dari kedua belah pihak atau Aquitition Cross Servicing Agrement (ACSA). Beberapa kawasan Asia Pasifik termasuk Asia Tenggara memang dengan mudah telah mampu ditembus oleh Amerika dan bersedia menandatangani perjanjian tersebut yang rumusannya telah disiapkan oleh pihak J-4 (Deputy Logistic) U.S. PACOM. Namun untuk mampu meyakinkan Kementerian Pertahanan RI/TNI, Amerika memerlukan waktu yang relatif cukup panjang sampai akhirnya pihak TNI menandatangani perjanjian tersebut.
Menyikapi perkembangan global dan regional yang tengah berlangsung, nampaknya Indonesia ingin tetap mempertahankan kebijakan luar negeri bebas aktif dengan mengusung all direction foreign policy and zero enemy. Dengan kebijakan ini diharapkan Indonesia tidak hanya dapat menjaga kepentingan nasionalnya namun juga memperkuat sistem nasional yang telah terbangun baik dalam percaturan ditingkat regional maupun internasional. Dengan demikian hal ini akan semakin mengangkat citra Indonesia di forum internasional. Pada akhirnya Indonesia akan mampu meningkatkan bargaining position dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya di forum Internasional.
Kembali pada U.S. Security Assistance, pada dasarnya adalah merupakan implementasi dari kebijakan politik luar negeri AS dalam rangka peningkatan capacity building dibidang security kepada negara-negara berkembang melalui pemberian bantuan dalam berbagai bentuk program sesuai dengan scenario global yang telah mereka rancang. Scenario global ini selalu mengikuti kecenderungan ancaman yang mereka prediksi. Semua itu sebenarnya tidak terlepas dari kepentingan nasional AS sendiri yang berorientasi pada Internal Security negaranya (U.S. Homeland Security).
Sungguh, Indonesia merupakan salah satu arena (theater), yang menggambarkan perubahan kebijakan luar negeri AS khususnya dalam kasus proses integrasi dan lepasnya Timor Timur dari NKRI. Indonesia memperoleh U.S. Security Assistance pada saat Indonesia mengambil Timor Timur dengan maksud untuk melindungi negara dari penyebaran komunis, karena secara geografis Timor Timur dikelilingi oleh wilayah NKRI. Pada saat itu Amerika memberikan dukungan mutlak, karena Amerika dengan doktrin Truman (containment) tidak menginginkan pengaruh komunis menyebar di Indonesia. Namun pada saat situasinya berbeda, ketika ancaman komunis tidak lagi menjadi ancaman global terjadi perubahan kebijakan politik luar negeri AS. Antara lain perubahan kebijakan politik luar negeri AS terhadap Indonesia terjadi pada tahun 1999, pada saat itu AS menerapkan kebijakan Liberal democratic internationalism, yang lebih mengedepankan pola penyebaran demokrasi dengan menitikberatkan pada penghormatan terhadap HAM, yang kemudian menyebabkan lepasnya Timor Timur dari NKRI.
Akibatnya Embargo diterapkan kepada militer Indonesia. Namun ketika era terorisme yang dimotori oleh kelompok Islam radikal menghantui Amerika, Amerika mulai memperhitungkan kembali posisi dan peran Indonesia yang telah berkembang menjadi negara demokratis terbesar ketiga dengan jumlah penduduk muslim terbesar didunia, yang di nilai akan memberikan pengaruh yang signifikan untuk di ajak bekerjasama memerangi terorisme global yang dimotori oleh kelompok Islam radikal tersebut. Embargo kemudian di cabut, dan program-program security assistance kembali diaktifkan dengan memodifikasi sedemikian rupa sesuai kebutuhan Amerika dan kepentingan nasionalnya yang dihadapkan pada ancaman global yang dihadapi. Dari apa yang telah diuraikan tersebut di atas, semakin nyata bahwa paradoksal kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia tidak dapat dihindari sejauh menyangkut kepentingan nasionalnya. Hal ini semakin memperkuat premise bahwa pragmatisme telah menjadi bagian dari budaya Amerika dalam segala aspek kehidupan, terlebih bila berkaitan dengan kepentingan nasionalnya.


[1] Security Assistance Community, FY 1980 Security Assistance Program, Resource: Security Assistance news from the Military Departments (T.k., T.t.), 8.
[2] Departemen Pertahanan RI, “Record program IMET Tahun 1971 – 2009” (Jakarta: Ditkersin Ditjen Strahan, 2009).
[3] Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, “Insiden Dili.”, 10 January 2002 <http://id.wikipedia. org/...>.
[4] ETAN, Santa Cruz Massacre (T.k.: T.p., T.t.), 1., 10 January 2002 <http://www.etan.org/ timor/SntaCRUZ. htm>.
[5] Tony Smith, America’s Mission: The United States and the Worldwide Struggle for Democracy in the Twentieth Century (T.k.: A Twentieth Century Fund Book, Princeton University Press, 1994), 312.
[6] Gaddish Smith, George Bush, in The Presidents: A Reference History, 2nd ed., ed. Henry F. Graff (New York: Charles Scribner’s Sons, 1996), 603.
[7] Charles W. Kegley Jr., Controversies in International Relations Theory: Realism and Neoliberal Challenge (New York: St. Martin’s Press, 1995), 14.
[8] Brad Simpson, “Solidarity in an Age of Globalization: The Transnational Movement for East Timor and U.S. Foreign Policy,” Peace History Society and Peace and Justice Studies Association: Peace & Change, vol. 29, no. 3&4, (Juli 2004), 460.
[9] Ibid.
[10] Ibid., 461.
[11] Ibid., 462.
[12] Ibid., 464.
[13] Ibid., 469.
[14] Joseph Nevins, “The Making of “Ground Zero” in East Timor in 1999: An Analysis of International Complicity in Indonesia’s Crimes,” Asian Survey: The Legacy of Violence in Indonesia vol. 42. No. 4 University of California Press, (Jul. – Aug., 2002), 623., 2 December 2009 <http://www. jstor.org...>.
[15] The Commission of Truth and Friendship (CTF) Indonesia – Timor-Leste, Final Report: Per Memoriam Ad Spem (Denpasar: Commission of Truth and Friendship Indonesia – Timor-Leste, 2009), ii-iii.
[16] Ibid., xiii – xiv.
[17] Brad Simpson, op.cit., 471.
[18] Wikipedia, the free encyclopedia, “1999 East Timorese crisis.”, 10 January 2002 <http://en. wikipedia.org ...>.
[19] Paul D. Elliot, “The East Timor Disput,” The International and Comperative Law Quarterly, vol. 27, no. 1 (Jan., 1978), 240., 2 January 2009 <http://www.jstor.org/…>.
[20] Ibid.
[21] Brad Simpson, op.cit., 472 – 3.
[22] Tony Smith, op.cit., 31.
[23] George Brown Tindall, op.cit., 947.
[24] Ibid., 957.
[25] Ibid.
[26] Tony Smith, op.cit., 31.
[27] Liberalism lebih mengutamakan hak-hak warga negara yang direpresentasikan melalui peran yang lebih besar oleh negara dengan membatasi peran market dan mengutamakan penghormatan atas hak-hak individu. Liberalisme semacam ini dijelaskan oleh Michael W. Doyle dalam tulisannya yang berjudul Kant, Liberal Legacies, and Foreign Affairs, ia menyampaikan tentang prinsip-prinsip liberalism yang secara umum di bentuk dari sebuah komitmen yang terdiri dari 3 set atau kelompok hak-hak sebagai berikut: Pertama, liberalisme yang bebas dari tindakan kesewenang-wenangan penguasa atau lazim disebut sebagai “kebebasan negatif.” Yaitu termasuk kebebasan hati nurani, kebebasan pers dan menyampaikan pendapat, kesetaraan di mata hukum (tidak pandang bulu), dan hak atas kekayaan yang dimiliki. Kedua, liberalisme atas hak-hak yang diperlukan untuk melindungi dan mempromosikan kapasitas dan kesempatan untuk memperoleh kebebasan atau lazim disebut sebagai “kebebasan positif.” Yaitu meliputi hak-hak sosial dan ekonomi seperti kesetaraan dan kesempatan dalam memperoleh pendidikan, dan hak untuk memperoleh perawatan kesehatan serta pekerjaan yang layak, kebutuhan untuk berekspresi dan berpartisipasi. Ketiga, hak atas kebebasan untuk berpartisipasi dan merepresentasikan demokrasi.
[28] ETAN, op. cit., 1.
[29] Siswanto, “Kebijakan Amerika dan Indonesia terhadap Timor Timur dalam Perspektif Containment Policy,” Jurnal Study Amerika, vol.V, (Agustus – Desember 1999), 89.
[30] Tony Smith, op.cit., 312 – 3.
[31] Ibid., 324.
[32] Ratna Shofi Inayati dan Irine Hiraswati Gayatri, Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat, dalam Hubungan Indonesia Amerika Serikat 1992-2000: Masa Pemerintahan Presiden Clinton, ed. Ratna Shofi Inayati (Jakarta: PPW-LIPI, 2000), 18.
[33] Ibid., 52
[34] Noam Chomsky, op.cit., 2.
[35] Keith R. Legg and James F. Morrison, op.cit.,62.
[36] Ganewati Wuryandari, Hubungan Indonesia-Amerika Serikat: Aspek Pertahanan Keamanan, dalam Hubungan Indonesia Amerika Serikat 1992-2000 (Masa Pemerintahan Presiden Clinton), ed. Ratna Shofi Inayati (Jakarta: PPW-LIPI, 2000), 55.
[37] Arms Control Association, U.S. and EU Suspend Military Ties With Indonesia., 14 January 2002 <http://www.armcontrol.org ...>.
[38] Brad Simpson, op.cit., 640.
[39] Agus Setiawan dalam tulisannya yang dimuat pada sebuah jurnal Wacana, vol.6, no. 2 Oktober 2004 (179-190) yang berjudul “Perkembangan Lobi Yahudi dan Pengaruhnya terhadap Politik Luar Negeri dan Kongres Amerika Serikat” menguraikan dengan jelas bagaimana unsur-unsur Yahudi yang bermukim di AS yang terorganisasi dengan sangat baik yakni AIPAC (American Israel Public Affairs Committee) memiliki kemampuan lobi yang luar biasa dikedua cabang kekuasaan AS yang paling berpengaruh yaitu eksekutif dan legislatif (Kongres). Kekuatan lobi mereka telah mampu mewarnai kebijakan luar negeri AS terhadap Israel dalam memberikan dukungan penuh baik finansial/ekonomi maupun militer terhadap kelangsungan hidup bangsa Israel sejak awal perjuangan mereka membentuk sebuah negara hingga penguasaan teritorial Israel pasca Perang Yom Kippur 1973.
[40] Alfian Muthalib, “Nilai-nilai dalam Politik Luar Negeri Amerika Pasca 11 September,” dalam Nilai-nilai Amerka dalam konteks Global, ed. Ronny M. Bishry, Alfian Muthalib, Albertine Minderop (Jakarta: Kajian Wilayah Amerika Program Pascasarjana UI, 2008), 121.
[41] IG. Purwana, Sistem Keamanan Nasional Indonesia: Sebuah Sumbangan Pemikiran, (Jakarta: PPSN, 2005),7.
[42] Robert Kagan, Of Paradise and Power: America and Europe in the New World Order (Vintage Books: New York, 2004), 92.
[43] Robert J. Leiber, The American Era: Power and Strategy for the 21st Century (Cambridge University Press, 2005), 43.
[44] Ibid., 46-49.
[45] Departemen Pertahanan Republik Indonesia, Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad ke-21 (Jakarta, 2006), 12-13.
[46] Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia (Jakarta: 2004), Megawati Sukarnoputri, 2004, 23.
[47] Adam O’Brian, The U.S.Indonesia Military Relationship (Council on Foreign Relation, A Resources for Nonpartisan Information and Analysis), 16, November 2007. <http://www. cfr.org/publication/8964/usindonesian_military_relationship. html>.
[48] Departemen Pertahanan RI, Record Program IMET, op.cit., 2
[49] The Defense Institute of Security Assistance Management, op.cit., 2-9.
[50] United States Department of State. “The United States to waive the condition on assistance to Indonesia. (Washington D.C.: United States Department of State, 2005).
[51] Surat Senat AS kepada Menlu dan Menhan AS, Kekecewaan atas dicabutnya Embargo (Senator Russel D. Feingold dan Senator Patrick J. Leahy), 25 April 2006.
[52] Departemen Pertahanan RI, Record Program IMET, op.cit., 2.
[53] Yang dimaksud hibah bersyarat adalah, bahwa seluruh bantuan (security assistance) dalam bentuk peralatan militer hibah (FMF) pada dasarnya hanya bersifat pinjam pakai. Karena pemanfaatannya selain untuk mendukung kepentingan global AS, juga tetap berada di bawah kontrol mereka (sebagaimana yang tertuang dalam nota diplomatik Deplu kepada Dubes AS tentang “505” Agreement tanggal 6 September 2006). Meskipun demikian Indonesia tetap dapat memperoleh keuntungan/manfaat dalam hal peningkatan detterence, karena pada dasarnya setiap hubungan/kerjasama antar negara akan memperhatikan prinsip mutual benefit, meskipun masing-masing pihak berorientasi pada kepentingan nasionalnya. Hal ini sesuai dengan UU RI No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
[54] Departemen Pertahanan RI, “Data U.S. Security Assistance kepada Indonesia, pasca embargo” (Jakarta: Ditkersin Ditjen Strahan, 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar