Beranda | Buku/Sinopsis | Bab 1 | Bab 2 | Bab 3 | Bab 4 | Bab 5 | Daftar Referensi | Tentang Penulis | Beranda
BAB 2
KEBIJAKAN KAWASAN POLITIK LUAR NEGERI AS DALAM POLITIK PEMBENDUNGAN
2.1. Kebijakan Politik Pembendungan di Kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara
Doktrin
maksimalisme merupakan dasar bagi kebijakan politik luar negeri AS
dalam upaya penyebaran demokrasi AS, khususnya ketika berhadapan dengan
upaya komunisme yang menentang kapitalisme barat. AS berusaha
menyebarkan kapitalisme – yang didasarkan pada liberalisme – ke seluruh
penjuru dunia atas nama demokrasi guna menjamin kepentingan ekonomi
global sekaligus kepentingan politik. Kondisi ini dapat dilihat terutama
pada saat pemerintahan Presiden Harry Truman, yang mewarisi persoalan
serius yang ditinggalkan oleh Franklin D. Roosevelt, yang telah
menyerahkan kontrol atas Eropa Timur kepada Soviet.
Situasi yang tidak kondusif ini memaksa Truman mengeluarkan doktrin containment
mengingat Soviet semakin agresif dalam menanamkan pengaruhnya di Eropa
Timur yang dikhawatirkan akan diperluas dengan melakukan penetrasi
kewilayah perbatasan Eropa Barat. Kekhawatiran AS semakin nyata ketika
Soviet berhasil menjatuhkan pemerintahan Cekoslovakia (Februari 1948),
disusul secara berturut-turut dengan tindakan Soviet melakukan blokade
terhadap Berlin (Juni 1948), keberhasilan Soviet dalam uji coba ledakan
bom atom (September 1949), kejatuhan pemerintahan nasionalisme Chiang
Kai-shek oleh rezim komunis Mao Tse-tung (Oktober 1949), yang disusul
dengan invasi Komunis Korea Utara atas Korea Selatan (Juni 1950) yang
disinyalir ditunggangi oleh Soviet.
Menyikapi
situasi tersebut, AS tidak bisa tinggal diam, segala daya dan upaya
ditempuh. Sidang darurat pun digelar oleh Truman (Desember 1949), begitu
Soviet melakukan blokade atas Berlin dan atas jatuhnya pemerintahan
nasionalisme Chiang. Sidang lanjutan dilaksanakan pada April 1950 yang
membahas Memorandum Badan Keamanan Nasional 68 (National Security Council’s Memorandum 68/NSC-68),
yang diharapkan mampu mengambil langkah-langkah strategis untuk
merespon setiap ancaman Soviet di mana pun di dunia, melalui pembangunan
kemampuan senjata konvensional. Dari sinilah berawal terjadinya
perlombaan senjata antara dua kekuatan super power pada waktu itu, yang mana kedua belah pihak menerapkan doktrin yang sama yaitu maksimalisme.
Pasca
PD II, Soviet yang merupakan sekutu Amerika dalam menaklukkan fasisme
Jerman merasa dikhianati oleh AS terutama dalam hal pengembangan
teknologi bom atom, yang digunakan oleh AS dalam mengakhiri PD II.
Stalin berusaha menerobos AS dengan perluasan paham komunisme di Eropa.
Sebagai langkah awal Soviet menuntut dominasi atas Eropa Timur sesuai
perjanjian Yalta (Februari 1945). Di samping itu Stalin juga
berkeinginan untuk melebarkan sayapnya ke Jerman yang merupakan musuh.
Stalin’s
primary goal at Yalta seems to have been the guarantee of Soviet
security through the establishment of friendly regimes receptive to
Soviet troops in strategic areas of Eastern Europe, … No doubt he wanted
Communist regimes in Western Europe, or at least weak nation in that
area. …[11]
Sikap
menentang yang ditunjukkan oleh Soviet mulai nampak ketika AS
menghendaki agar negara-negara Eropa Timur diberikan hak pemerintahan
sendiri melalui pemilihan umum – sebagai ciri demokrasi AS – tetapi
ditolak Soviet. Pertarungan demokrasi Barat melawan komunisme meruncing
pada masa pemerintahan Presiden Harry Truman, dengan upaya Stalin
merealisasikan rencana lima tahunan yang bertujuan untuk pembangunan
industri militer Soviet secara cepat. Hal ini semakin menunjukkan ambisi
Soviet untuk memperkuat posisinya dalam upaya meningkatkan pengaruhnya
atas kontrol Eropa Timur. AS tidak dapat membiarkan situasi ini. George
Kenan – seorang diplomat AS yang bertugas di Moskow – mengirim
peringatan tentang ambisi Soviet ini ke Washington yang antara lain
mengatakan bahwa hanya AS yang mampu mengubah atau menghentikan ambisi
Soviet. Peringatan Kenan inilah yang selanjutnya dikembangkan dan
memuncak sebagai doktrin pembendungan Truman, yang kemudian dikenal
sebagai doktrin Truman atau Containment.
Istilah doktrin ini lahir berawal dari sebuah artikel yang dimuat pada jurnal Foreign Affair yang berjudul “The Sources of Soviet Conduct.” Penulisnya hanya membubuhkan “tanda X,”[12] yang kemudian diketahui adalah George Kenan yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur Perencanaan Kebijakan Deplu AS.
Doktrin Truman atau Containment ini dipadukan dengan Marshall Plan kemudian diimplementasikan sebagai kebijakan luar negeri AS yang dikenal sebagai kebijakan pembendungan (policy of containment). Perpaduan
kebijakan ini menjadi pola kebijakan AS yang pada awalnya lebih
ditekankan pada unsur-unsur politik dan ekonomi daripada militer, dan
terutama ditujukan untuk membangun kembali kekuatan industri di Eropa.[13]
Kebijakan ini pertama kali diterapkan pada saat Turki dan Yunani dalam
posisi terjepit antara ultimatum Soviet atas kontrol Dardanelless di
satu sisi dan terhentinya bantuan Inggris di sisi lain. AS memandang
pentingnya keamanan di wilayah Timur Mediterania, oleh karena itulah
kebijakan pembendungan diimplementasikan. Pada tanggal 12 Maret 1947 AS
menyatakan untuk memberikan bantuan kepada Turki dan Yunani senilai
US$400 juta dan mengirimkan tenaga ahli dan militer untuk memberikan
supervisi atas bantuan yang diberikan.[14]
Para sejarahwan menyatakan bahwa peristiwa ini menandai dimulainya
Perang Dingin. Sebelumnya, pada Februari 1947 Menlu Dean Acheson
melakukan konsultasi dengan Menhan dan memberikan paparan tentang
pentingnya menjaga agar Yunani dan Turki tidak sampai jatuh ke rezim
komunis, ia memprediksi apabila Yunani sampai jatuh ke rezim komunis,
maka tidak mustahil akan diikuti oleh kejatuhan Turki yang akan
memberikan keleluasaan bagi Soviet untuk mengontrol Dardanelles yang
merupakan akses lalu lintas utama bagi pelayaran Rusia ke Mediterania
melalui Laut Hitam. Apabila hal ini terjadi maka kejatuhan negara-negara
Italia, Jerman dan Perancis hanya tinggal menunggu waktu. Teori yang
dikemukaan Acheson ini dikemudian hari dikenal sebagai teori domino.
Pada
saat itu kondisi perekonomian Eropa semakin memburuk, termasuk Inggris.
AS menerapkan kebijakan pemberian bantuan ekonomi dalam rangka membantu
pemulihan ekonomi Eropa Barat melalui Marshall Plan. Rancangan
bantuan ini diolah relatif hampir bersamaan dengan proses penggodokan
doktrin pembendungan. Sehingga kemudian secara bersamaan kedua doktrin
ini lahir dan terimplementasikan sebagai kebijakan pembendungan komunis (policy of containment).
Kebijakan ini ibarat tombak bermata dua, negara-negara yang menerima
implementasi kebijakan ini secara bersamaan memperoleh bantuan ekonomi
dan sekaligus bantuan militer.
Kondisi
perekonomian Eropa Timur pada saat itu tidak lebih baik atau bahkan
cenderung lebih buruk dibandingkan Eropa Barat. Menanggapi Marshall Plan yang
diluncurkan oleh AS bagi Eropa Barat, Soviet pada 25 Januari 1949
meluncurkan program tandingan untuk membantu pemulihan ekonomi Eropa
Timur, yaitu Council for Mutual Economic Assistance (COMECON).
Marshall Plan merupakan bagian integral dari policy of containment melalui pendekatan ekonomi. Untuk mengoptimalkan pencapaian kebijakan tersebut melalui pendekatan security – yang merupakan perwujudan dari doktrin maksimalis Amerika – AS menginisiasi pembentukan Pakta Pertahanan North Atlantic Treaty Organization (NATO)
pada 4 April 1949 yang beranggotakan 12 negara Eropa Barat (AS, Canada,
Turki, Yunani, Perancis, Belgia, Belanda, Luxembourg, Italia, Inggris,
Jerman, Spanyol). Pembentukan Pakta ini dipicu oleh tindakan Soviet yang
mendirikan Republik Demokrat Jerman sebagai tandingan atas prakarsa AS
mendirikan Republik Federasi Jerman. Enam tahun kemudian tepatnya pada
14 Mei 1955 Soviet kembali membuat Pakta tandingan yaitu Pakta Warsawa
yang beranggotakan 6 negara-negara Eropa Timur (Bulgaria, Rumania,
Jerman Timur, Hungaria, Polandia, Cekoslovakia) yang berada di bawah
pengaruh kuat komunis Soviet.
Kebijakan
pembendungan ini semakin tegas ketika Soviet semakin meningkatkan
pembangunan kemampuan persenjataan militernya, termasuk dalam hal
pengembangan senjata bom atom. Truman melakukan pertemuan khusus
membahas Memorandum Keamanan Nasional 68 (National Security Council’s Memorandum 68/NSC- 68) yang diharapkan mampu merespon setiap ancaman Soviet di mana pun didunia.
Ancaman
komunis Soviet telah membuat kekhawatiran AS meningkat semenjak
jatuhnya Cekoslovakia dan kekhawatiran ini semakin bertambah ketika
Soviet berhasil mengembangkan bom atom. Soviet mengumumkan keberhasilan
atas uji coba ledakan bom atom pada 23 September 1949, disusul dengan
jatuhnya China ke rezim komunis dengan diproklamasikan the People’s Republic of China oleh
Mao Tse-tung pada 1 Oktober 1949. Hal ini membuat situasi global
semakin memanas, yang kemudian memicu terjadinya perlombaan senjata dan
membuat Truman menetapkan kebijakan anggaran pertahanan menjadi sekitar
$15 milyar.
Pada awal Maret 1950 Menlu Acheson dalam suatu forum diskusi menyatakan bahwa: …The US, must fight the cold war with “total diplomacy,” comparable in sacrifice by the American people to total war.[15] Lebih lanjut Acheson menyatakan untuk mengimplementasikan “total diplomacy” dalam
membendung komunis, diperlukan perubahan kebijakan yang drastis
dibidang politik, sosial dan ekonomi dengan memperlonggar masuknya
dollar dari Eropa Barat, dan membenahi kemunduran industri domestik.
Sementara kebijakan luar negeri AS diarahkan mencari aliansi untuk
menghadapi perang melawan komunis dan melindungi kemerdekaan mereka dari
agresi komunis. Dari pernyataan ini AS menyadari benar bahwa
pertempuran melawan komunis akan sangat sulit bila AS hanya bertindak
secara unilateral.
Pada 14 April 1950, dalam sidang khusus membahas lanjutan NSC-68, antara lain disimpulkan bahwa:
The foregoing analysis indicates that the probable fission bomb capability of Soviet Union have greatly intensified the Soviet threat to the security of United States. This threat is of the same character as described in NSC 20/4 (approved by the President on November 24, 1948)
but is more immediate than had previously been estimated. …within the
next four or five years the Soviet Union will possess the military
capability of delivering a surprise atomic attack of such weight that
the United States must have substantially increase general air, ground,
and sea strength, atomic capability, and air and civilian defenses to
deter war and to provide reasonable assurance, in the event of war, that
it could survive the initial blow and go on the eventual attainment of
its objectives. In turn, this contingency requires the intensification
of our effort in the field of intelligence and research and development…[16]
Untuk
mewujudkan rekomendasi NSC-68 dalam membangun kemampuan militer AS,
diperkirakan akan menelan biaya sebesar $30 milyar hingga $50 milyar,
hal ini berarti memerlukan anggaran 2 hingga 3 kali lipat dari anggaran
pertahanan yang diajukan Truman sebelumnya. Dari sinilah awal mula AS
mempersiapkan secara serius strategi persiapan menghadapi perang melawan
komunisme Soviet, yang pada masa pemerintahan Nixon strategi ini
dikembangkan menjadi strategi flexible respons dalam memerangi
komunisme global. Hal ini semakin menguatkan bahwa doktrin maksimalis
Amerika benar-benar diterapkan dengan sangat tegas untuk membendung
penyebaran komunisme.
Penerapan containment policy selanjutnya
adalah ketika Amerika melakukan pembebasan Korea Selatan dari invasi
Komunis Korea Utara. Perang Korea ini merupakan bagian dari warisan
konflik PD II yang tidak diselesaikan pada saat itu. Sekutu tidak
memperlakukan Korea Selatan sebagai sesuatu yang penting selama
berlangsungnya PD II. Mereka tidak membuat pengaturan untuk pendudukan
Korsel hingga kemudian Uni Soviet memasuki perang Pasifik, sehari
sebelum Jepang menyerah. Soviet dan Amerika secara tergesa-gesa
menyetujui bahwa Rusia secara temporer akan menduduki Korea Utara,
sementara Amerika menduduki Korea Selatan. Amerika berasumsi bahwa Korea
akan segera disatukan dan membentuk pemerintahan sendiri, setelah itu
kedua kekuasaan (AS dan Rusia) yang menduduki Korea segera menarik
pasukan mereka.
Namun
dalam perkembangannya Soviet membentuk pemerintahan Korea Utara dari
Partai Komunis Korea buangan. Uni Soviet memberlakukan aturan yang
sangat ketat bagi hubungan Korea Utara dengan dunia luar. Rusia juga
membangun tentara Korea Utara yang kuat untuk membantu pasukan merah
dalam memelihara kontrol, serta meluncurkan program land reform untuk
membantu memenangkan dukungan lokal, meskipun menekan pemerintahan
baru. Kemudian Amerika mengajak Soviet segera membentuk pemerintahan
sendiri bagi penyatuan kedua Korea melalui pemilihan umum, namun kedua
belah pihak mengalami kesulitan dalam membuat format yang tepat karena
keduanya tidak pernah sepaham. Akhirnya rencana pemilihan umum yang
digagas oleh kedua belah pihak mengalami kegagalan. Selanjutnya Amerika
mengusulkan kepada Soviet agar pemilihan umum dilakukan dengan pelibatan
PBB, namun hal ini ditolak Soviet. Dalam hal ini kembali dipertontonkan
pertarungan ideologi demokrasi AS dengan ideologi komunis Soviet yang
tidak dapat dikompromikan untuk menyelesaikan konflik Korea secara damai
dan bermartabat.
PBB mengadakan pemilihan umum di Korsel. Pemilihan umum pada tahun 1948 menghasilkan formasi Republik Korea (Republic of Korea) dengan
Syngman Rhee sebagai pemimpin. Menjelang pertengahan tahun 1949, AS
menarik sisa pasukannya yang berjumlah 7.500 dari Korsel. Rhee segera
membangun kekuatan tentaranya dan mengirimkan tentaranya kedaerah
perbatasan. Dalam perkembangan selanjutnya Korea Utara melakukan invasi
ke Korsel (Juni 1950). AS mencurigai bahwa invasi ini ditunggangi oleh
Soviet. Amerika semakin gerah, ia tidak mau kejadian di Cina terulang,
dimana Chiang Kai-shek (Pemimpin Kelompok Nasionalis Cina) ditaklukkan
oleh Mao Tse-tung yang membentuk pemerintahan Komunis. Disini
kredibilitas Truman dengan doktrin containment nya benar-benar dipertaruhkan.
Dalam
konteks itu, Truman menugaskan Jenderal McArthur memimpin pasukan
Amerika dengan Armada Ketujuhnya yang digerakkan dari Piliphina ke Selat
Taiwan, dengan pesan agar Jenderal McArthur berupaya menghindari
terjadinya perluasan peperangan dengan Rusia ataupun Cina. Pergeseran
pasukan ini dimaksudkan sekaligus untuk menghalangi Mao yang berusaha
merebut Taiwan. Ketika Jenderal McArthur menemui Chiang Kai-shek dan
mengisyaratkan permintaan terhadap komitmen permanen Amerika dalam
mendukung pemerintahan nasionalis Taiwan, Truman mengirim Averell
Harriman untuk mengingatkan McArthur agar menghindari membuat janji yang
menyanggupi permintaan Chiang. Kemudian McArthur mengumumkan bahwa Armada Ketujuh akan ditarik dari Selat Taiwan setelah Perang Korea.
Pasukan
Jenderal McArthur melakukan serangan amphibi di garis pertahanan
pasukan Korea Utara di pantai Incheon, dan terus bergerak maju hingga
akhirnya mampu menghancurkan pasukan regime komunis Korut melampaui
garis perbatasan 38 derajat lintang Utara. Dalam operasi pembebasan
Korsel ini McArthur mengingatkan agar Cina tidak campur tangan, sebab
kalau sampai Cina melakukannya, Jenderal McArthur tidak akan segan/ragu
untuk menaklukkannya.
Serangan
McArthur dihentikan setelah melintasi garis perbatasan 38 lintang Utara
dan dilanjutkan dengan negosiasi damai. Secara efektif pertempuran
berakhir hanya dalam waktu 3 bulan dengan menelan biaya dan korban jiwa
yang relatif kecil. Dalam pertempuran ini korban jiwa yang dialami
Amerika berjumlah sebanyak 30.000 prajurit, dan dari Korsel menelan
korban jiwa yang lebih banyak. Dalam perang Korea ini rekomendasi NSC-68
sepenuhnya terimplementasikan. Belanja pertahanan Amerika mengalami
pelipatan hingga 3 kali, dari semula $15 milyar sebelum perang Korea,
menjadi $44 milyar ditahun 1952 dan menjadi $50 milyar ditahun 1953. Shock
yang dialami oleh Amerika secara berturut-turut yaitu jatuhnya
Cekoslovakia, blokade Berlin, keberhasilan uji coba ledakan bom atom
Soviet, jatuhnya Cina ke rezim komunis Mao, dan terakhir Perang Korea
telah membawa Perang Dingin ke puncak yang membahayakan yang akan
berlanjut bagi generasi berikutnya.[17]
Perang
Korea ini, memberikan pelajaran bagi AS bagaimana komunis menggarap
negara-negara miskin dan negara berkembang untuk menanamkan pengaruhnya.
Pada saat yang bersamaan dengan pecahnya perang Korea, pengaruh komunis
mulai berkembang di beberapa negara di kawasan Asia Tenggara seperti di
Vietnam, Laos, Kamboja dan Indonesia. Amerika tidak mau mengambil
resiko atas meluasnya komunis di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.
Oleh sebab itu untuk membendung pengaruh komunis, AS meluncurkan program
bantuan yang memadukan bantuan ekonomi dan militer sebagai perwujudan
perpaduan Marshall Plan dan doktrin Containment. Salah satu dari aplikasi kebijakan ini adalah U.S. Security Assistance.
Dalam memaksimalkan pencapaian kebijakan pembendungan, AS tidak hanya sampai pada pemberian Security Assistance. Memperhatikan
pengaruh komunis yang cenderung semakin menguat di kawasan Asia Pasifik
khususnya Asia Tenggara, timbul kekhawatiran AS terhadap kejatuhan
negara-negara di kawasan ke dalam rezim komunis, sebagaimana teori
(domino) yang pernah dikemukaan oleh Acheson ketika menjaga kejatuhan
negara-negara Eropa Barat ke rezim komunisme.
Kekhawatiran
AS semakin beralasan ketika perang Korea berakhir di tahun 1953, justru
pengaruh komunis di Indochina semakin menguat. Bahkan ketika pasukan
Perancis menghadapi kesulitan dalam pertempuran melawan komunis di
Indochina dan memperoleh bantuan berbagai peralatan militer dari AS,
Perancis tetap tidak mampu menghadapi perlawanan komunis Indochina.
Untuk mengantisipasi kondisi yang semakin tidak menentu Menlu Dulles
pada 6 September 1954 mengadakan konferensi di Manila dengan perwakilan
dari negara-negara Inggris, Perancis, Australia, New Zealand, Philipina,
Thailand dan Pakistan. Negara-negara di kawasan yang diundang, namun
tidak hadir adalah India, Burma, Srilanka (Ceylon)
dan Indonesia. Dalam konferensi tersebut akhirnya disepakati pembentukan
Pakta Pertahanan sejenis NATO di kawasan Asia Tenggara yaitu Southeast Asia Treaty Organization (SEATO), yang dimaksudkan untuk membendung penyebaran komunis di Asia Tenggara.
2.2. U.S. Security Assistance dan Kepentingan AS
U.S. Security Assistance adalah
salah satu program yang terkait erat dengan politik luar negeri AS
dibidang kerjasama militer dan pertahanan dengan negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia. Bantuan diberikan dalam beberapa bentuk
program seperti: International Military Education Training (IMET), Military Assistance Program (MAP), Foreign Military Sales (FMS).
Dalam
menjalankan politik luar negeri melalui penyebaran demokrasi, AS
meluncurkan program-program bantuan kepada negara-negara berkembang,
termasuk bantuan keamanan. U.S. Security Assistance merupakan salah satu program bantuan keamanan dimaksud. Melalui penyebaran demokrasi ke seluruh penjuru dunia yang dilandasi oleh semangat manifest destiny,
maka persoalan kepentingan nasional AS adalah identik dengan
kepentingan globalnya. Salah satu tantangan global AS dalam penyebaran
demokrasi pada kurun waktu tertentu adalah adanya pengaruh/ancaman
penyebaran ajaran komunis, yang secara ideologis paham tersebut sangat
berseberangan dengan demokrasi dan kapitalisme. Pada tahun 1947 Presiden
Harry Truman mencanangkan doktrin containment, yang merupakan pernyataan perang globalnya untuk membendung penyebaran paham komunis. Perang Dingin telah dimulai.
Sebagai
negara demokrasi yang berazaskan kebebasan termasuk kapitalisme,
Amerika mendorong para pengusahanya untuk melebarkan sayapnya dalam
melakukan bisnis di mana pun. Salah satu sasaran para pebisnis Amerika
dalam mengembangkan bisnisnya adalah negara-negara berkembang yang kaya
akan sumber daya alamnya, sekaligus memanfaatkan negara-negara
berkembang tersebut dalam rangka memperluas pangsa pasar bagi
produk-produk manufacture dan memperkenalkan sistem mekanisme pasar bebas (kapitalisme), tanpa campur tangan pemerintah.
AS
yang juga sebagai negara industri tentunya memerlukan ketersediaan
energi yang sangat besar untuk menggerakkan roda perekonomian yang
menjadi nafas berbagai bidang kehidupan lainnya. Keberhasilan ekonomi
tentunya harus diproteksi dengan kontrol keamanan domestik yang ketat,
untuk itu diperlukan kehadiran militer yang kuat sebagai deterrence factor
untuk mengamankan seluruh aset dan kekayaan yang dimiliki. Kembali pada
kebutuhan akan energi sebagai penggerak roda perekomian yang sangat
vital bagi AS, AS memerlukan pasokan energi yang sangat besar, yang
dalam hal ini tidak mungkin dipenuhi hanya dari produksi bahan bakar
(energi) domestik. Oleh karena itu, AS dalam melakukan ekspansi bisnis
di seluruh belahan dunia, salah satu tujuannya adalah untuk mencari
peluang bisnis melalui investasi dibidang eksplorasi energi. Salah satu
sumber pasokan energi AS pada awalnya diperoleh di negara-negara
berkembang seperti kawasan Timur Tengah, dan Asia Pasifik khususnya Asia
Tenggara termasuk Indonesia.
Salah
satu ketegangan yang pernah terjadi di Timur Tengah pasca PD II antara
lain juga disebabkan oleh perebutan penguasaan sumber energi. Rusia
berusaha hadir ke Iran memasuki arena eksplorasi minyak di sana menyusul
masuknya Jerman, di mana Inggris telah terlebih dahulu melakukan
eksplorasi sejak tahun 1920. Kemudian antara Inggris dan Rusia menjadi
sekutu untuk mencegah masuknya Jerman. Persoalan ini tidak terlepas dari
persoalan tahta kekaisaran Iran. Selanjutnya AS juga masuk yang diawali
dengan pembangunan infrastruktur perkerataapian. Dalam perkembangan
selanjutnya AS mulai mengkhawatirkan terhadap kehadiran Inggris dan
Rusia beserta pasukan militer mereka secara permanen di Iran. Kehadiran
pasukan kedua negara ini merupakan sisa-sisa pendudukan semasa
berlangsungnya PD II. Oleh karena itu AS mengupayakan sebuah treaty dan pada tahun 1942 treaty tersebut
disepakati oleh semua kekuatan yang menduduki Iran untuk menarik
pasukan mereka dalam waktu 6 bulan setelah berakhirnya perang. Dengan treaty tersebut,
Inggris dan AS menarik pasukan mereka sebelum batas akhir yang
ditetapkan pada 2 Maret 1944 kecuali untuk beberapa orang penasehat AS
yang memang dikehendaki oleh pemerintah Iran. Sementara itu, Soviet
ingin tetap mempertahankan kehadiran pasukannya di Iran.[18] Hal inilah yang juga menjadi salah satu pemicu ketegangan hubungan antara AS dan Rusia.
Perburuan
ladang-ladang minyak terus dilakukan oleh AS, termasuk di kawasan Asia
Tenggara. Dengan demikian AS memiliki kepentingan-kepentingan di setiap
kawasan, dalam mana dia menanamkan investasinya. Kepentingan ekonomi
sebuah negara merupakan kepentingan vital yang tidak akan lepas dari
upaya untuk melindunginya. Untuk kepentingan itulah maka AS mengerahkan
militernya dan membangun basis-basis militer di setiap kawasan. Terkait
dengan perburuan ladang-ladang minyak oleh AS di kawasan Asia antara
lain disebutkan bahwa:
In 1948, the United States
became a net importer of oil. Seven major companies, “Big Oil,”
spearheated the world industry. Of these companies five were American –
Chevron, Exxon, Gulf, Mobil and Texaco – … The developing countries that
owned the vast supply of discovered oil reserves were scattered across
the earth: Indonesia, Iran, Iraq, Kuwait, Saudi Arabia and Venezuela…
The companies procceded to construct legal and business systems for
extracting the oil and controlling supply.[19]
AS
menyadari bahwa tidak mungkin untuk melindungi kepentingan-kepentingan
ekonominya secara langsung di negara-negara berkembang. Oleh karena
itulah seiring dengan penerapan doktrin pembendungan, AS juga memberikan
bantuan-bantuan terutama dalam bentuk security assistance. Sebab
manakala terjadi pergolakan politik di sebuah negara berkembang, dalam
mana kepentingan ekonomi AS ada di negara tersebut, maka kepentingan
tersebut akan ikut terancam dengan pola perjuangan komunis, yang akan
menghancurkan kapitalisme AS, melalui nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing secara sepihak. U.S. Security Assistance kepada negara-negara berkembang dalam mana kepentingan nasional AS ada didalamnya adalah terutama untuk memberikan peningkatan capacity building dibidang keamanan negara tersebut. Dengan kondisi yang aman dinegara tersebut, maka kepentingan AS juga akan ikut terjamin.
2.3. Persyaratan-persyaratan yang ditetapkan bagi negara penerima U.S. Security Assistance
Kebijakan yang mendasari pelaksanaan program U.S. Security Assistance terdapat 3 ketentuan yaitu:
2.3.1. Kewenangan Kongres dalam memberikan persetujuan terhadap bantuan luar negeri (Congressional Authorization and Appropriations) [20]
Program bantuan ini biasanya diinisiasi oleh pemerintah AS, dalam hal ini U.S. Department of Defense, atau
berdasarkan kebutuhan negara penerima bantuan. Adapun program-program
yang termasuk di dalamnya adalah baik yang akan sepenuhnya didanai oleh
Pemerintah Amerika maupun yang didanai oleh pemerintah negara penerima
bantuan.
Untuk program yang diluncurkan namun harus menggunakan dana dari pemerintah negara penerima bantuan adalah Foreign Military Sales (FMS), yaitu program-program yang digunakan untuk pengadaan berbagai defense articles beserta
suku cadang dan komponen peralatan militer produk AS. Sekalipun
menggunakan dana dari Pemerintah negara penerima bantuan, pihak AS tetap
memiliki kewenangan dalam melakukan kontrol terhadap pemanfaatannya.
Bantuan yang diberikan dalam FMS Cases antara lain dalam bentuk softloan dengan bunga tetap serta jangka waktu pembayaran yang relatif panjang.
2.3.2. Ketentuan Perundang-undangan (Authorization Acts)
Foreign Assistance Act of 1961 (FAA),
berikut amandemennya. Ketentuan ini berisi berbagai hal terkait dengan
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh negara penerima U.S. Security Assistance.[21] Persyaratan-persyaratan dimaksud antara lain: (i) Pihak pemerintah negara penerima bantuan dilarang menyerahkan any defense articles yang diberikan, kepada pihak ketiga tanpa persetujuan resmi dari pemerintah AS; (ii) Seluruh defense articles beserta
komponennya wajib diserahkan kembali kepada pemerintah AS, manakala
pihak pemerintah negara penerima bantuan bermaksud tidak akan
memanfaatkannya lagi; (iii) Apabila defense articles tersebut dihapus – atas persetujuan Amerika – dan dijual dalam bentuk scrap, maka
pemerintah negara penerima bantuan harus menyerahkan hasil penjualan
tersebut kepada pemerintah AS; (iv) Pihak pemerintah negara penerima
bantuan bersedia memberlakukan tingkat kerahasiaan terhadap defense articles yang
diberikan sesuai dengan tingkat kerahasiaan yang diberlakukan oleh AS.
Apabila diperlukan pihak pemerintah negara penerima bantuan harus
mengijinkan personil AS melakukan observasi terhadap defense articles tersebut.[22]
Arms Export Control Act of 1776 (AECA), yang sekaligus juga mengakomodasikan berbagai ketentuan yang telah ada yaitu International Traffic in Arms Regulation (ITAR).
Ketentuan ini berisi hal-hal yang terkait dengan pengaturan tentang
peralatan militer apa saja yang boleh dijual dan yang tidak boleh dijual
kepada negara yang memerlukan.[23]
2.3.3. Human Rights.
Pemerintah
Amerika merasa memiliki kewajiban internasional sebagaimana yang
ditetapkan di dalam Ketetapan PBB dan sebagai perwujudan dari apa yang
ditulis dalam warisan dan tradisi Konstitusinya. Dalam hal ini Amerika
diwajibkan untuk mempromosikan dan mendorong peningkatan penghormatan
pada HAM dan dasar-dasar kebebasan ke seluruh dunia tanpa membedakan
ras, kelamin (gender), bahasa ataupun agama. Prinsip-prinsip inilah yang
digunakan oleh Amerika dalam menerapkan kebijakan politik luar
negerinya, sehingga Kongres tidak akan menyetujui pemberian bantuan ini
bagi negara-negara yang diindikasikan terlibat dalam berbagai
pelanggaran HAM [Section 502B, FAA].[24]
Beranda | Buku/Sinopsis | Bab 1 | Bab 2 | Bab 3 | Bab 4 | Bab 5 | Daftar Referensi | Tentang Penulis | Beranda
[11] Jerald A. Combs, The History of American Foreign Policy (New York: Alfred A. Knopf, 1986), 306.
[12] Stephen E. Ambrose, Rise to Globalisme: American Foreign Policy Since 1938, 4th ed (New York: Penguin Books Inc., 1985), 99.
[13] Jerald A. Combs, op.cit., 333.
[14] Alexander Deconde, A History of American Foreign Policy (New York: Charles Scripner’s Sons,1963), 669 – 670.
[15] Time in partnership with CNN, “Total Diplomacy.” (New York), 13 Maret 1950., 8 March 2009. <http://www.time.com/time/ printout/8816,812120,00,htm.>.
[16] NSC-68 Conclusions, NSC-68 of April 14, 1950., 8 March 2009. <http://history.sandiego. edu/gen/20th/ nsc68.html.>.
[17] Alexander Deconde, op.cit., 345
[18] Jerald A. Combs, op.cit., 326
[19] Joseph Coton Wright, Oil: Demand, Supply and Trends in the United States (T.k.: University of California Berkeley, T.t.), 2.
[20] The Defence Institute of Security Assistance Management, The Management of Securiy Assistance, 26th ed (Ohio: DISAM, 2006), 2-1.
[21] Ibid.
[22] Amandemen terbaru Foreign Assistance Act of 1961 (FAA)
adalah Nota Diplomatik “505 Agreement” Deplu RI kepada Kedubes AS di
Jakarta No. D.638/PO/IX/2006/36, Jakarta: 6 September 2006.
[23] The Defence Institute of Security Assistance Management, op.cit., 2-1.
[24] Ibid., 2-9.
Beranda | Buku/Sinopsis | Bab 1 | Bab 2 | Bab 3 | Bab 4 | Bab 5 | Daftar Referensi | Tentang Penulis | Beranda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar