Total Tayangan Halaman

Selasa, 22 Mei 2012

BAB 2


BAB 2

KEBIJAKAN KAWASAN POLITIK LUAR NEGERI AS DALAM POLITIK PEMBENDUNGAN

2.1. Kebijakan Politik Pembendungan di Kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara
Doktrin maksimalisme merupakan dasar bagi kebijakan politik luar negeri AS dalam upaya penyebaran demokrasi AS, khususnya ketika berhadapan dengan upaya komunisme yang menentang kapitalisme barat. AS berusaha menyebarkan kapitalisme – yang didasarkan pada liberalisme – ke seluruh penjuru dunia atas nama demokrasi guna menjamin kepentingan ekonomi global sekaligus kepentingan politik. Kondisi ini dapat dilihat terutama pada saat pemerintahan Presiden Harry Truman, yang mewarisi persoalan serius yang ditinggalkan oleh Franklin D. Roosevelt, yang telah menyerahkan kontrol atas Eropa Timur kepada Soviet.
Situasi yang tidak kondusif ini memaksa Truman mengeluarkan doktrin containment mengingat Soviet semakin agresif dalam menanamkan pengaruhnya di Eropa Timur yang dikhawatirkan akan diperluas dengan melakukan penetrasi kewilayah perbatasan Eropa Barat. Kekhawatiran AS semakin nyata ketika Soviet berhasil menjatuhkan pemerintahan Cekoslovakia (Februari 1948), disusul secara berturut-turut dengan tindakan Soviet melakukan blokade terhadap Berlin (Juni 1948), keberhasilan Soviet dalam uji coba ledakan bom atom (September 1949), kejatuhan pemerintahan nasionalisme Chiang Kai-shek oleh rezim komunis Mao Tse-tung (Oktober 1949), yang disusul dengan invasi Komunis Korea Utara atas Korea Selatan (Juni 1950) yang disinyalir ditunggangi oleh Soviet.
Menyikapi situasi tersebut, AS tidak bisa tinggal diam, segala daya dan upaya ditempuh. Sidang darurat pun digelar oleh Truman (Desember 1949), begitu Soviet melakukan blokade atas Berlin dan atas jatuhnya pemerintahan nasionalisme Chiang. Sidang lanjutan dilaksanakan pada April 1950 yang membahas Memorandum Badan Keamanan Nasional 68 (National Security Council’s Memorandum 68/NSC-68), yang diharapkan mampu mengambil langkah-langkah strategis untuk merespon setiap ancaman Soviet di mana pun di dunia, melalui pembangunan kemampuan senjata konvensional. Dari sinilah berawal terjadinya perlombaan senjata antara dua kekuatan super power pada waktu itu, yang mana kedua belah pihak menerapkan doktrin yang sama yaitu maksimalisme.
Pasca PD II, Soviet yang merupakan sekutu Amerika dalam menaklukkan fasisme Jerman merasa dikhianati oleh AS terutama dalam hal pengembangan teknologi bom atom, yang digunakan oleh AS dalam mengakhiri PD II. Stalin berusaha menerobos AS dengan perluasan paham komunisme di Eropa. Sebagai langkah awal Soviet menuntut dominasi atas Eropa Timur sesuai perjanjian Yalta (Februari 1945). Di samping itu Stalin juga berkeinginan untuk melebarkan sayapnya ke Jerman yang merupakan musuh.
Stalin’s primary goal at Yalta seems to have been the guarantee of Soviet security through the establishment of friendly regimes receptive to Soviet troops in strategic areas of Eastern Europe, … No doubt he wanted Communist regimes in Western Europe, or at least weak nation in that area. …[11]
Sikap menentang yang ditunjukkan oleh Soviet mulai nampak ketika AS menghendaki agar negara-negara Eropa Timur diberikan hak pemerintahan sendiri melalui pemilihan umum – sebagai ciri demokrasi AS – tetapi ditolak Soviet. Pertarungan demokrasi Barat melawan komunisme meruncing pada masa pemerintahan Presiden Harry Truman, dengan upaya Stalin merealisasikan rencana lima tahunan yang bertujuan untuk pembangunan industri militer Soviet secara cepat. Hal ini semakin menunjukkan ambisi Soviet untuk memperkuat posisinya dalam upaya meningkatkan pengaruhnya atas kontrol Eropa Timur. AS tidak dapat membiarkan situasi ini. George Kenan – seorang diplomat AS yang bertugas di Moskow – mengirim peringatan tentang ambisi Soviet ini ke Washington yang antara lain mengatakan bahwa hanya AS yang mampu mengubah atau menghentikan ambisi Soviet. Peringatan Kenan inilah yang selanjutnya dikembangkan dan memuncak sebagai doktrin pembendungan Truman, yang kemudian dikenal sebagai doktrin Truman atau Containment.
Istilah doktrin ini lahir berawal dari sebuah artikel yang dimuat pada jurnal Foreign Affair yang berjudul “The Sources of Soviet Conduct.” Penulisnya hanya membubuhkan “tanda X,”[12] yang kemudian diketahui adalah George Kenan yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur Perencanaan Kebijakan Deplu AS.
Doktrin Truman atau Containment ini dipadukan dengan Marshall Plan kemudian diimplementasikan sebagai kebijakan luar negeri AS yang dikenal sebagai kebijakan pembendungan (policy of containment). Perpaduan kebijakan ini menjadi pola kebijakan AS yang pada awalnya lebih ditekankan pada unsur-unsur politik dan ekonomi daripada militer, dan terutama ditujukan untuk membangun kembali kekuatan industri di Eropa.[13] Kebijakan ini pertama kali diterapkan pada saat Turki dan Yunani dalam posisi terjepit antara ultimatum Soviet atas kontrol Dardanelless di satu sisi dan terhentinya bantuan Inggris di sisi lain. AS memandang pentingnya keamanan di wilayah Timur Mediterania, oleh karena itulah kebijakan pembendungan diimplementasikan. Pada tanggal 12 Maret 1947 AS menyatakan untuk memberikan bantuan kepada Turki dan Yunani senilai US$400 juta dan mengirimkan tenaga ahli dan militer untuk memberikan supervisi atas bantuan yang diberikan.[14] Para sejarahwan menyatakan bahwa peristiwa ini menandai dimulainya Perang Dingin. Sebelumnya, pada Februari 1947 Menlu Dean Acheson melakukan konsultasi dengan Menhan dan memberikan paparan tentang pentingnya menjaga agar Yunani dan Turki tidak sampai jatuh ke rezim komunis, ia memprediksi apabila Yunani sampai jatuh ke rezim komunis, maka tidak mustahil akan diikuti oleh kejatuhan Turki yang akan memberikan keleluasaan bagi Soviet untuk mengontrol Dardanelles yang merupakan akses lalu lintas utama bagi pelayaran Rusia ke Mediterania melalui Laut Hitam. Apabila hal ini terjadi maka kejatuhan negara-negara Italia, Jerman dan Perancis hanya tinggal menunggu waktu. Teori yang dikemukaan Acheson ini dikemudian hari dikenal sebagai teori domino.
Pada saat itu kondisi perekonomian Eropa semakin memburuk, termasuk Inggris. AS menerapkan kebijakan pemberian bantuan ekonomi dalam rangka membantu pemulihan ekonomi Eropa Barat melalui Marshall Plan. Rancangan bantuan ini diolah relatif hampir bersamaan dengan proses penggodokan doktrin pembendungan. Sehingga kemudian secara bersamaan kedua doktrin ini lahir dan terimplementasikan sebagai kebijakan pembendungan komunis (policy of containment). Kebijakan ini ibarat tombak bermata dua, negara-negara yang menerima implementasi kebijakan ini secara bersamaan memperoleh bantuan ekonomi dan sekaligus bantuan militer.
Kondisi perekonomian Eropa Timur pada saat itu tidak lebih baik atau bahkan cenderung lebih buruk dibandingkan Eropa Barat. Menanggapi Marshall Plan yang diluncurkan oleh AS bagi Eropa Barat, Soviet pada 25 Januari 1949 meluncurkan program tandingan untuk membantu pemulihan ekonomi Eropa Timur, yaitu Council for Mutual Economic Assistance (COMECON).
Marshall Plan merupakan bagian integral dari policy of containment melalui pendekatan ekonomi. Untuk mengoptimalkan pencapaian kebijakan tersebut melalui pendekatan security yang merupakan perwujudan dari doktrin maksimalis Amerika – AS menginisiasi pembentukan Pakta Pertahanan North Atlantic Treaty Organization (NATO) pada 4 April 1949 yang beranggotakan 12 negara Eropa Barat (AS, Canada, Turki, Yunani, Perancis, Belgia, Belanda, Luxembourg, Italia, Inggris, Jerman, Spanyol). Pembentukan Pakta ini dipicu oleh tindakan Soviet yang mendirikan Republik Demokrat Jerman sebagai tandingan atas prakarsa AS mendirikan Republik Federasi Jerman. Enam tahun kemudian tepatnya pada 14 Mei 1955 Soviet kembali membuat Pakta tandingan yaitu Pakta Warsawa yang beranggotakan 6 negara-negara Eropa Timur (Bulgaria, Rumania, Jerman Timur, Hungaria, Polandia, Cekoslovakia) yang berada di bawah pengaruh kuat komunis Soviet.
Kebijakan pembendungan ini semakin tegas ketika Soviet semakin meningkatkan pembangunan kemampuan persenjataan militernya, termasuk dalam hal pengembangan senjata bom atom. Truman melakukan pertemuan khusus membahas Memorandum Keamanan Nasional 68 (National Security Council’s Memorandum 68/NSC- 68) yang diharapkan mampu merespon setiap ancaman Soviet di mana pun didunia.
Ancaman komunis Soviet telah membuat kekhawatiran AS meningkat semenjak jatuhnya Cekoslovakia dan kekhawatiran ini semakin bertambah ketika Soviet berhasil mengembangkan bom atom. Soviet mengumumkan keberhasilan atas uji coba ledakan bom atom pada 23 September 1949, disusul dengan jatuhnya China ke rezim komunis dengan diproklamasikan the People’s Republic of China oleh Mao Tse-tung pada 1 Oktober 1949. Hal ini membuat situasi global semakin memanas, yang kemudian memicu terjadinya perlombaan senjata dan membuat Truman menetapkan kebijakan anggaran pertahanan menjadi sekitar $15 milyar.
Pada awal Maret 1950 Menlu Acheson dalam suatu forum diskusi menyatakan bahwa: …The US, must fight the cold war with “total diplomacy,” comparable in sacrifice by the American people to total war.[15] Lebih lanjut Acheson menyatakan untuk mengimplementasikan “total diplomacy” dalam membendung komunis, diperlukan perubahan kebijakan yang drastis dibidang politik, sosial dan ekonomi dengan memperlonggar masuknya dollar dari Eropa Barat, dan membenahi kemunduran industri domestik. Sementara kebijakan luar negeri AS diarahkan mencari aliansi untuk menghadapi perang melawan komunis dan melindungi kemerdekaan mereka dari agresi komunis. Dari pernyataan ini AS menyadari benar bahwa pertempuran melawan komunis akan sangat sulit bila AS hanya bertindak secara unilateral.
Pada 14 April 1950, dalam sidang khusus membahas lanjutan NSC-68, antara lain disimpulkan bahwa:
The foregoing analysis indicates that the probable fission bomb capability of Soviet Union have greatly intensified the Soviet threat to the security of United States. This threat is of the same character as described in NSC 20/4 (approved by the President on November 24, 1948) but is more immediate than had previously been estimated. …within the next four or five years the Soviet Union will possess the military capability of delivering a surprise atomic attack of such weight that the United States must have substantially increase general air, ground, and sea strength, atomic capability, and air and civilian defenses to deter war and to provide reasonable assurance, in the event of war, that it could survive the initial blow and go on the eventual attainment of its objectives. In turn, this contingency requires the intensification of our effort in the field of intelligence and research and development…[16]
Untuk mewujudkan rekomendasi NSC-68 dalam membangun kemampuan militer AS, diperkirakan akan menelan biaya sebesar $30 milyar hingga $50 milyar, hal ini berarti memerlukan anggaran 2 hingga 3 kali lipat dari anggaran pertahanan yang diajukan Truman sebelumnya. Dari sinilah awal mula AS mempersiapkan secara serius strategi persiapan menghadapi perang melawan komunisme Soviet, yang pada masa pemerintahan Nixon strategi ini dikembangkan menjadi strategi flexible respons dalam memerangi komunisme global. Hal ini semakin menguatkan bahwa doktrin maksimalis Amerika benar-benar diterapkan dengan sangat tegas untuk membendung penyebaran komunisme.
Penerapan containment policy selanjutnya adalah ketika Amerika melakukan pembebasan Korea Selatan dari invasi Komunis Korea Utara. Perang Korea ini merupakan bagian dari warisan konflik PD II yang tidak diselesaikan pada saat itu. Sekutu tidak memperlakukan Korea Selatan sebagai sesuatu yang penting selama berlangsungnya PD II. Mereka tidak membuat pengaturan untuk pendudukan Korsel hingga kemudian Uni Soviet memasuki perang Pasifik, sehari sebelum Jepang menyerah. Soviet dan Amerika secara tergesa-gesa menyetujui bahwa Rusia secara temporer akan menduduki Korea Utara, sementara Amerika menduduki Korea Selatan. Amerika berasumsi bahwa Korea akan segera disatukan dan membentuk pemerintahan sendiri, setelah itu kedua kekuasaan (AS dan Rusia) yang menduduki Korea segera menarik pasukan mereka.
Namun dalam perkembangannya Soviet membentuk pemerintahan Korea Utara dari Partai Komunis Korea buangan. Uni Soviet memberlakukan aturan yang sangat ketat bagi hubungan Korea Utara dengan dunia luar. Rusia juga membangun tentara Korea Utara yang kuat untuk membantu pasukan merah dalam memelihara kontrol, serta meluncurkan program land reform untuk membantu memenangkan dukungan lokal, meskipun menekan pemerintahan baru. Kemudian Amerika mengajak Soviet segera membentuk pemerintahan sendiri bagi penyatuan kedua Korea melalui pemilihan umum, namun kedua belah pihak mengalami kesulitan dalam membuat format yang tepat karena keduanya tidak pernah sepaham. Akhirnya rencana pemilihan umum yang digagas oleh kedua belah pihak mengalami kegagalan. Selanjutnya Amerika mengusulkan kepada Soviet agar pemilihan umum dilakukan dengan pelibatan PBB, namun hal ini ditolak Soviet. Dalam hal ini kembali dipertontonkan pertarungan ideologi demokrasi AS dengan ideologi komunis Soviet yang tidak dapat dikompromikan untuk menyelesaikan konflik Korea secara damai dan bermartabat.
PBB mengadakan pemilihan umum di Korsel. Pemilihan umum pada tahun 1948 menghasilkan formasi Republik Korea (Republic of Korea) dengan Syngman Rhee sebagai pemimpin. Menjelang pertengahan tahun 1949, AS menarik sisa pasukannya yang berjumlah 7.500 dari Korsel. Rhee segera membangun kekuatan tentaranya dan mengirimkan tentaranya kedaerah perbatasan. Dalam perkembangan selanjutnya Korea Utara melakukan invasi ke Korsel (Juni 1950). AS mencurigai bahwa invasi ini ditunggangi oleh Soviet. Amerika semakin gerah, ia tidak mau kejadian di Cina terulang, dimana Chiang Kai-shek (Pemimpin Kelompok Nasionalis Cina) ditaklukkan oleh Mao Tse-tung yang membentuk pemerintahan Komunis. Disini kredibilitas Truman dengan doktrin containment nya benar-benar dipertaruhkan.
Dalam konteks itu, Truman menugaskan Jenderal McArthur memimpin pasukan Amerika dengan Armada Ketujuhnya yang digerakkan dari Piliphina ke Selat Taiwan, dengan pesan agar Jenderal McArthur berupaya menghindari terjadinya perluasan peperangan dengan Rusia ataupun Cina. Pergeseran pasukan ini dimaksudkan sekaligus untuk menghalangi Mao yang berusaha merebut Taiwan. Ketika Jenderal McArthur menemui Chiang Kai-shek dan mengisyaratkan permintaan terhadap komitmen permanen Amerika dalam mendukung pemerintahan nasionalis Taiwan, Truman mengirim Averell Harriman untuk mengingatkan McArthur agar menghindari membuat janji yang menyanggupi permintaan Chiang. Kemudian McArthur mengumumkan bahwa Armada Ketujuh akan ditarik dari Selat Taiwan setelah Perang Korea.
Pasukan Jenderal McArthur melakukan serangan amphibi di garis pertahanan pasukan Korea Utara di pantai Incheon, dan terus bergerak maju hingga akhirnya mampu menghancurkan pasukan regime komunis Korut melampaui garis perbatasan 38 derajat lintang Utara. Dalam operasi pembebasan Korsel ini McArthur mengingatkan agar Cina tidak campur tangan, sebab kalau sampai Cina melakukannya, Jenderal McArthur tidak akan segan/ragu untuk menaklukkannya.
Serangan McArthur dihentikan setelah melintasi garis perbatasan 38 lintang Utara dan dilanjutkan dengan negosiasi damai. Secara efektif pertempuran berakhir hanya dalam waktu 3 bulan dengan menelan biaya dan korban jiwa yang relatif kecil. Dalam pertempuran ini korban jiwa yang dialami Amerika berjumlah sebanyak 30.000 prajurit, dan dari Korsel menelan korban jiwa yang lebih banyak. Dalam perang Korea ini rekomendasi NSC-68 sepenuhnya terimplementasikan. Belanja pertahanan Amerika mengalami pelipatan hingga 3 kali, dari semula $15 milyar sebelum perang Korea, menjadi $44 milyar ditahun 1952 dan menjadi $50 milyar ditahun 1953. Shock yang dialami oleh Amerika secara berturut-turut yaitu jatuhnya Cekoslovakia, blokade Berlin, keberhasilan uji coba ledakan bom atom Soviet, jatuhnya Cina ke rezim komunis Mao, dan terakhir Perang Korea telah membawa Perang Dingin ke puncak yang membahayakan yang akan berlanjut bagi generasi berikutnya.[17]
Perang Korea ini, memberikan pelajaran bagi AS bagaimana komunis menggarap negara-negara miskin dan negara berkembang untuk menanamkan pengaruhnya. Pada saat yang bersamaan dengan pecahnya perang Korea, pengaruh komunis mulai berkembang di beberapa negara di kawasan Asia Tenggara seperti di Vietnam, Laos, Kamboja dan Indonesia. Amerika tidak mau mengambil resiko atas meluasnya komunis di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Oleh sebab itu untuk membendung pengaruh komunis, AS meluncurkan program bantuan yang memadukan bantuan ekonomi dan militer sebagai perwujudan perpaduan Marshall Plan dan doktrin Containment. Salah satu dari aplikasi kebijakan ini adalah U.S. Security Assistance.
Dalam memaksimalkan pencapaian kebijakan pembendungan, AS tidak hanya sampai pada pemberian Security Assistance. Memperhatikan pengaruh komunis yang cenderung semakin menguat di kawasan Asia Pasifik khususnya Asia Tenggara, timbul kekhawatiran AS terhadap kejatuhan negara-negara di kawasan ke dalam rezim komunis, sebagaimana teori (domino) yang pernah dikemukaan oleh Acheson ketika menjaga kejatuhan negara-negara Eropa Barat ke rezim komunisme.
Kekhawatiran AS semakin beralasan ketika perang Korea berakhir di tahun 1953, justru pengaruh komunis di Indochina semakin menguat. Bahkan ketika pasukan Perancis menghadapi kesulitan dalam pertempuran melawan komunis di Indochina dan memperoleh bantuan berbagai peralatan militer dari AS, Perancis tetap tidak mampu menghadapi perlawanan komunis Indochina. Untuk mengantisipasi kondisi yang semakin tidak menentu Menlu Dulles pada 6 September 1954 mengadakan konferensi di Manila dengan perwakilan dari negara-negara Inggris, Perancis, Australia, New Zealand, Philipina, Thailand dan Pakistan. Negara-negara di kawasan yang diundang, namun tidak hadir adalah India, Burma, Srilanka (Ceylon) dan Indonesia. Dalam konferensi tersebut akhirnya disepakati pembentukan Pakta Pertahanan sejenis NATO di kawasan Asia Tenggara yaitu Southeast Asia Treaty Organization (SEATO), yang dimaksudkan untuk membendung penyebaran komunis di Asia Tenggara.
2.2. U.S. Security Assistance dan Kepentingan AS
U.S. Security Assistance adalah salah satu program yang terkait erat dengan politik luar negeri AS dibidang kerjasama militer dan pertahanan dengan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Bantuan diberikan dalam beberapa bentuk program seperti: International Military Education Training (IMET), Military Assistance Program (MAP), Foreign Military Sales (FMS).
Dalam menjalankan politik luar negeri melalui penyebaran demokrasi, AS meluncurkan program-program bantuan kepada negara-negara berkembang, termasuk bantuan keamanan. U.S. Security Assistance merupakan salah satu program bantuan keamanan dimaksud. Melalui penyebaran demokrasi ke seluruh penjuru dunia yang dilandasi oleh semangat manifest destiny, maka persoalan kepentingan nasional AS adalah identik dengan kepentingan globalnya. Salah satu tantangan global AS dalam penyebaran demokrasi pada kurun waktu tertentu adalah adanya pengaruh/ancaman penyebaran ajaran komunis, yang secara ideologis paham tersebut sangat berseberangan dengan demokrasi dan kapitalisme. Pada tahun 1947 Presiden Harry Truman mencanangkan doktrin containment, yang merupakan pernyataan perang globalnya untuk membendung penyebaran paham komunis. Perang Dingin telah dimulai.
Sebagai negara demokrasi yang berazaskan kebebasan termasuk kapitalisme, Amerika mendorong para pengusahanya untuk melebarkan sayapnya dalam melakukan bisnis di mana pun. Salah satu sasaran para pebisnis Amerika dalam mengembangkan bisnisnya adalah negara-negara berkembang yang kaya akan sumber daya alamnya, sekaligus memanfaatkan negara-negara berkembang tersebut dalam rangka memperluas pangsa pasar bagi produk-produk manufacture dan memperkenalkan sistem mekanisme pasar bebas (kapitalisme), tanpa campur tangan pemerintah.
AS yang juga sebagai negara industri tentunya memerlukan ketersediaan energi yang sangat besar untuk menggerakkan roda perekonomian yang menjadi nafas berbagai bidang kehidupan lainnya. Keberhasilan ekonomi tentunya harus diproteksi dengan kontrol keamanan domestik yang ketat, untuk itu diperlukan kehadiran militer yang kuat sebagai deterrence factor untuk mengamankan seluruh aset dan kekayaan yang dimiliki. Kembali pada kebutuhan akan energi sebagai penggerak roda perekomian yang sangat vital bagi AS, AS memerlukan pasokan energi yang sangat besar, yang dalam hal ini tidak mungkin dipenuhi hanya dari produksi bahan bakar (energi) domestik. Oleh karena itu, AS dalam melakukan ekspansi bisnis di seluruh belahan dunia, salah satu tujuannya adalah untuk mencari peluang bisnis melalui investasi dibidang eksplorasi energi. Salah satu sumber pasokan energi AS pada awalnya diperoleh di negara-negara berkembang seperti kawasan Timur Tengah, dan Asia Pasifik khususnya Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Salah satu ketegangan yang pernah terjadi di Timur Tengah pasca PD II antara lain juga disebabkan oleh perebutan penguasaan sumber energi. Rusia berusaha hadir ke Iran memasuki arena eksplorasi minyak di sana menyusul masuknya Jerman, di mana Inggris telah terlebih dahulu melakukan eksplorasi sejak tahun 1920. Kemudian antara Inggris dan Rusia menjadi sekutu untuk mencegah masuknya Jerman. Persoalan ini tidak terlepas dari persoalan tahta kekaisaran Iran. Selanjutnya AS juga masuk yang diawali dengan pembangunan infrastruktur perkerataapian. Dalam perkembangan selanjutnya AS mulai mengkhawatirkan terhadap kehadiran Inggris dan Rusia beserta pasukan militer mereka secara permanen di Iran. Kehadiran pasukan kedua negara ini merupakan sisa-sisa pendudukan semasa berlangsungnya PD II. Oleh karena itu AS mengupayakan sebuah treaty dan pada tahun 1942 treaty tersebut disepakati oleh semua kekuatan yang menduduki Iran untuk menarik pasukan mereka dalam waktu 6 bulan setelah berakhirnya perang. Dengan treaty tersebut, Inggris dan AS menarik pasukan mereka sebelum batas akhir yang ditetapkan pada 2 Maret 1944 kecuali untuk beberapa orang penasehat AS yang memang dikehendaki oleh pemerintah Iran. Sementara itu, Soviet ingin tetap mempertahankan kehadiran pasukannya di Iran.[18] Hal inilah yang juga menjadi salah satu pemicu ketegangan hubungan antara AS dan Rusia.
Perburuan ladang-ladang minyak terus dilakukan oleh AS, termasuk di kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian AS memiliki kepentingan-kepentingan di setiap kawasan, dalam mana dia menanamkan investasinya. Kepentingan ekonomi sebuah negara merupakan kepentingan vital yang tidak akan lepas dari upaya untuk melindunginya. Untuk kepentingan itulah maka AS mengerahkan militernya dan membangun basis-basis militer di setiap kawasan. Terkait dengan perburuan ladang-ladang minyak oleh AS di kawasan Asia antara lain disebutkan bahwa:
In 1948, the United States became a net importer of oil. Seven major companies, “Big Oil,” spearheated the world industry. Of these companies five were American – Chevron, Exxon, Gulf, Mobil and Texaco – … The developing countries that owned the vast supply of discovered oil reserves were scattered across the earth: Indonesia, Iran, Iraq, Kuwait, Saudi Arabia and Venezuela… The companies procceded to construct legal and business systems for extracting the oil and controlling supply.[19]
AS menyadari bahwa tidak mungkin untuk melindungi kepentingan-kepentingan ekonominya secara langsung di negara-negara berkembang. Oleh karena itulah seiring dengan penerapan doktrin pembendungan, AS juga memberikan bantuan-bantuan terutama dalam bentuk security assistance. Sebab manakala terjadi pergolakan politik di sebuah negara berkembang, dalam mana kepentingan ekonomi AS ada di negara tersebut, maka kepentingan tersebut akan ikut terancam dengan pola perjuangan komunis, yang akan menghancurkan kapitalisme AS, melalui nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing secara sepihak. U.S. Security Assistance kepada negara-negara berkembang dalam mana kepentingan nasional AS ada didalamnya adalah terutama untuk memberikan peningkatan capacity building dibidang keamanan negara tersebut. Dengan kondisi yang aman dinegara tersebut, maka kepentingan AS juga akan ikut terjamin.
2.3. Persyaratan-persyaratan yang ditetapkan bagi negara penerima U.S. Security Assistance
Kebijakan yang mendasari pelaksanaan program U.S. Security Assistance terdapat 3 ketentuan yaitu:
2.3.1. Kewenangan Kongres dalam memberikan persetujuan terhadap bantuan luar negeri (Congressional Authorization and Appropriations) [20]
Program bantuan ini biasanya diinisiasi oleh pemerintah AS, dalam hal ini U.S. Department of Defense, atau berdasarkan kebutuhan negara penerima bantuan. Adapun program-program yang termasuk di dalamnya adalah baik yang akan sepenuhnya didanai oleh Pemerintah Amerika maupun yang didanai oleh pemerintah negara penerima bantuan.
Untuk program yang diluncurkan namun harus menggunakan dana dari pemerintah negara penerima bantuan adalah Foreign Military Sales (FMS), yaitu program-program yang digunakan untuk pengadaan berbagai defense articles beserta suku cadang dan komponen peralatan militer produk AS. Sekalipun menggunakan dana dari Pemerintah negara penerima bantuan, pihak AS tetap memiliki kewenangan dalam melakukan kontrol terhadap pemanfaatannya. Bantuan yang diberikan dalam FMS Cases antara lain dalam bentuk softloan dengan bunga tetap serta jangka waktu pembayaran yang relatif panjang.
2.3.2. Ketentuan Perundang-undangan (Authorization Acts)
Foreign Assistance Act of 1961 (FAA), berikut amandemennya. Ketentuan ini berisi berbagai hal terkait dengan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh negara penerima U.S. Security Assistance.[21] Persyaratan-persyaratan dimaksud antara lain: (i) Pihak pemerintah negara penerima bantuan dilarang menyerahkan any defense articles yang diberikan, kepada pihak ketiga tanpa persetujuan resmi dari pemerintah AS; (ii) Seluruh defense articles beserta komponennya wajib diserahkan kembali kepada pemerintah AS, manakala pihak pemerintah negara penerima bantuan bermaksud tidak akan memanfaatkannya lagi; (iii) Apabila defense articles tersebut dihapus – atas persetujuan Amerika – dan dijual dalam bentuk scrap, maka pemerintah negara penerima bantuan harus menyerahkan hasil penjualan tersebut kepada pemerintah AS; (iv) Pihak pemerintah negara penerima bantuan bersedia memberlakukan tingkat kerahasiaan terhadap defense articles yang diberikan sesuai dengan tingkat kerahasiaan yang diberlakukan oleh AS. Apabila diperlukan pihak pemerintah negara penerima bantuan harus mengijinkan personil AS melakukan observasi terhadap defense articles tersebut.[22]
Arms Export Control Act of 1776 (AECA), yang sekaligus juga mengakomodasikan berbagai ketentuan yang telah ada yaitu International Traffic in Arms Regulation (ITAR). Ketentuan ini berisi hal-hal yang terkait dengan pengaturan tentang peralatan militer apa saja yang boleh dijual dan yang tidak boleh dijual kepada negara yang memerlukan.[23]
2.3.3. Human Rights.
Pemerintah Amerika merasa memiliki kewajiban internasional sebagaimana yang ditetapkan di dalam Ketetapan PBB dan sebagai perwujudan dari apa yang ditulis dalam warisan dan tradisi Konstitusinya. Dalam hal ini Amerika diwajibkan untuk mempromosikan dan mendorong peningkatan penghormatan pada HAM dan dasar-dasar kebebasan ke seluruh dunia tanpa membedakan ras, kelamin (gender), bahasa ataupun agama. Prinsip-prinsip inilah yang digunakan oleh Amerika dalam menerapkan kebijakan politik luar negerinya, sehingga Kongres tidak akan menyetujui pemberian bantuan ini bagi negara-negara yang diindikasikan terlibat dalam berbagai pelanggaran HAM [Section 502B, FAA].[24]


[11] Jerald A. Combs, The History of American Foreign Policy (New York: Alfred A. Knopf, 1986), 306.
[12] Stephen E. Ambrose, Rise to Globalisme: American Foreign Policy Since 1938, 4th ed (New York: Penguin Books Inc., 1985), 99.
[13] Jerald A. Combs, op.cit., 333.
[14] Alexander Deconde, A History of American Foreign Policy (New York: Charles Scripner’s Sons,1963), 669 – 670.
[15] Time in partnership with CNN, “Total Diplomacy.” (New York), 13 Maret 1950., 8 March 2009. <http://www.time.com/time/ printout/8816,812120,00,htm.>.
[16] NSC-68 Conclusions, NSC-68 of April 14, 1950., 8 March 2009. <http://history.sandiego. edu/gen/20th/ nsc68.html.>.
[17] Alexander Deconde, op.cit., 345
[18] Jerald A. Combs, op.cit., 326
[19] Joseph Coton Wright, Oil: Demand, Supply and Trends in the United States (T.k.: University of California Berkeley, T.t.), 2.
[20] The Defence Institute of Security Assistance Management, The Management of Securiy Assistance, 26th ed (Ohio: DISAM, 2006), 2-1.
[21] Ibid.
[22] Amandemen terbaru Foreign Assistance Act of 1961 (FAA) adalah Nota Diplomatik “505 Agreement” Deplu RI kepada Kedubes AS di Jakarta No. D.638/PO/IX/2006/36, Jakarta: 6 September 2006.
[23] The Defence Institute of Security Assistance Management, op.cit., 2-1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar