Total Tayangan Halaman

Selasa, 22 Mei 2012

BAB 3


BAB 3
KEBIJAKAN AS TERHADAP PENYATUAN TIMOR TIMUR
DENGAN INDONESIA
3.1. Kepentingan AS dalam U.S. Security Assistance terhadap Indonesia
Deklarasi kemerdekaan Amerika yang ditulis oleh Thomas Jefferson antara lain mengadopsi teori kontrak pemerintahan John Locke, yang selanjutnya dirumuskan oleh Jefferson dalam suatu kalimat yang menggambarkan sebuah keinginan luhur bangsa Amerika pada masa itu, dan sekaligus dijadikan landasan falsafah kenegaraan oleh bangsa Amerika dari generasi ke generasi. ...that governments derived “their just Powers from the consent of the people,” who were entitled to “alter or abolish” those which denied their “unalienable right” to “life, Liberty, and the pursuit of Happiness.”...[1] Dengan rumusan teks deklarasi kemerdekaan tersebut “the founding father” bangsa Amerika menyadari benar bahwa pembentukan sebuah negara didasarkan pada kekuasaan yang diberikan oleh rakyatnya, dan sebaliknya kekuasaan yang diperoleh harus menjamin hak-hak setiap warga negaranya untuk memperoleh penghidupan yang layak, kebebasan menjalankan aktivitasnya serta dalam mencapai kebahagiaan.
Dengan demikian pemerintah Amerika memberikan keleluasaan bagi setiap warga negaranya untuk menjalankan bisnis yang secara berjenjang akan berdampak bagi penciptaan peluang kerja dan kemudian berkembang menjadi korporasi, menggerakkan ekonomi masyarakat dan pada gilirannya akan menopang perekonomian negara. Untuk menggerakkan dan meningkatkan perekonomian nasional, pemerintah Amerika menerbitkan berbagai regulasi yang memungkinkan terciptanya ekspansi ekonomi yang secara bersamaan dimanfaatkan untuk menyebarkan demokrasi dan kapitalisme ke seluruh penjuru dunia. Asia Pasifik dan khususnya Asia Tenggara termasuk Indonesia tidak luput dari sasaran Amerika dalam hal ekspansi ekonomi.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki potensi besar dalam hal sumber daya alam dan sumber daya manusia yang relatif murah merupakan prospek yang belum dieksploitasi oleh para pengusaha Amerika untuk menanamkan investasinya. Investasi awal pada dasarnya telah dilakukan oleh bangsa Amerika bahkan sejak Indonesia masih berada dalam penjajahan Belanda. Pada tahun 1910 – pada saat karet menjadi salah satu primadona komoditi perdagangan internasional dengan semakin maraknya berbagai industri manufaktur dan industri otomotif – para pengusaha Amerika telah berhasil memasuki industri karet Indonesia sebagai mitra para pengusaha Belanda yang usaha bisnisnya didaftarkan di Belanda. Kemitraan ini adalah Perusahaan Perkebunan Belanda-Amerika, yang mana perusahaan-perusahaan karet Amerika mempunyai saham terbesar dan bahkan menjadi perkebunan karet terbesar di dunia. Hal ini antara lain disebabkan oleh upaya seorang botanis Amerika, Dr. Carl La Rue dalam pengembangan teknik pencakokkan pucuk yang membawa perubahan besar dalam industri karet.[2]
Selanjutnya pada tahun 1920 perusahaan minyak Amerika, Standard Vacuum berhasil masuk ke Hindia Belanda, setelah pemerintah Amerika melakukan tekanan kepada Belanda, karena sebelumnya pemerintah Belanda sangat membatasi masuknya investor minyak asing. Pada tahun 1935 sebuah perusahaan minyak lainnya, Standard Vacuum of California (Socal), diijinkan beroperasi di Hindia Belanda dengan syarat-syarat yang sangat ketat. Richard Hooper, seorang geolog yang berkarir di Indonesia selama lima belas tahun pernah menulis:
Socal, now known as Chevron, obtain permission to send six geologists, headed by Emerson M. Butterworth, to the Netherlands East Indies in 1924 to survey oil prospects. By 1930, they had pinpointed two areas worth prospecting, in southeast Borneo and in northwest New Guinea but only in partnership with Shell and Standard Vacuum. In lieu of the Borneo site, it offered Central Sumatra, with the prominent Dutch geologist. L.T.C. van Es had found to have no prospects for oil. Socal’s headquarters in San Francisco said “go to hell with it” but finally gave in to Butterworth pleas to accept the offer and continue prospecting. In 1939, the year of my arrival, we discovered a small field northwest Minas in central Sumatra. I recommended Minas as an area of considerable promise. After the war, Minas was discovered to be the largest field in Southeast Asia. An American company was able to develop it because the Dutch had been certain it did not exist.[3]
Karet dan minyak bumi akan bisnis yang sangat prospektif pada saat itu. Untuk karet pada saat itu benar-benar merupakan produk yang belum tersaingi oleh produk karet sintetis, yang menjadi bahan baku yang sangat dibutuhkan untuk berbagai produk permesinan yang digunakan sebagai bahan penyekat (seal) pada bagian-bagian utama peralatan permesinan yang berputar dengan bantuan pelumasan. Di samping itu, karet juga merupakan bahan dasar ban-ban mobil serta berbagai komponen penting untuk peralatan persenjataan/militer. Sementara untuk tambang-tambang minyak bumi, dari dahulu hingga saat ini masih menjadi bahan dasar berbagai produk bahan bakar, terutama pada saat itu, yang mana Amerika yang telah menjadi raksasa industri tidak dapat melepaskan ketergantungan dari kontinuitas suplai bahan bakar. Terlebih dengan potensi kandungan minyak terbesar di kawasan Asia Tenggara, menjadikan bisnis minyak Amerika di Hindia Belanda sebagai salah satu andalan kelangsungan pasokan energi bagi industri Amerika. Sehingga tidak heran dalam era perebutan pengaruh antara Amerika dan demokrasi serta kapitalismenya dengan Soviet dan komunismenya yang semakin memuncak dengan terjadinya Perang Dingin, Amerika memiliki kepentingan ekonomi yang tidak kecil di Hindia Belanda. Dan kepentingan tersebut tetap dipertahankan manakala Indonesia telah mendapatkan kemerdekaannya.
Kepentingan ekonomi yang sangat vital tersebut membuat Amerika berada dalam kebimbangan ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, sementara Belanda masih berupaya mempertahankan bekas koloninya yang berjuang dengan keras mempertahankan kemerdekaannya. Kebimbangan tersebut mendorong Amerika tidak gegabah untuk langsung memberikan pengakuannya terhadap kemerdekaan Indonesia. Hal ini disebabkan Amerika masih ada ikatan moral dengan Belanda sebagai salah satu negara Eropa yang menjadi sekutunya pada saat berperang. Lebih dari itu, Amerika juga memberikan bantuan ekonomi kepada Belanda yang mana bantuan tersebut antara lain digunakan untuk membiayai operasinya di Indonesia.
Amerika mulai gamang manakala pengaruh komunis mulai menguat di Indonesia di satu sisi, dan di sisi lain melihat sepak terjang Belanda yang tidak mau menerima permintaan Amerika untuk memberikan kesempatan bagi Indonesia menghirup udara kemerdekaan. Berbagai langkah mediasi yang dilakukan Amerika untuk menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda pasca kemerdekaan Indonesia, baik melalui persetujuan Linggarjati (11 November 1946) maupun mediasi di Kapal U.S.S. Renville (17 Februari 1948) yang berlabuh di Tanjung Priok tidak ditanggapi dengan serius oleh Belanda.
Ketika suasana konflik Indonesia-Belanda memanas, demi melindungi kepentingannya, Deplu AS secara bersamaan mengirimkan pesan secara terpisah, baik kepada Indonesia maupun Belanda agar memberikan jaminan bahwa warganegara dan aset mereka di lapangan minyak Sumatra bagian Selatan akan dilindungi sekiranya terjadi bentrokan bersenjata di antara keduanya.[4] Konflikpun pecah, pada 20 Juli 1947 Belanda melakukan aksi polisionil (agresi) nya yang pertama dan pasukan Belanda sempat menguasai Sumatra dan sebagian Jawa, kecuali Jawa Tengah dan Jogyakarta yang dijadikan pusat pemerintahan sementara dan dikawal TNI dengan sangat ketat. Aksi Belanda ini justru telah menjatuhkan citranya sendiri di dunia internasional.
Pada 19 Desember 1948 Belanda kembali melakukan aksi polisionil kedua terhadap Jogyakarta. Aksi tersebut dilakukan setelah bangsa Indonesia baru saja berhasil menumpas pemberontakan PKI Muso di Madiun yang dilancarkan pada 18 September 1948. Merespon agresi tersebut TNI melakukan perlawanan melalui perang gerilya selama 7 bulan di bawah pimpinan Jenderal Soedirman yang sedang sakit.[5] Pada 19 Desember 1948, AS dan Australia mendesak diadakan sidang Dewan Keamanan PBB. Dewan Keamanan PBB mengeluarkan usulan Konferesi Meja Bundar untuk mengakhiri konflik RI-Belanda. Belanda tidak menggubris, hingga Menlu AS yang baru Dean Acheson memberikan pernyataan keras kepada Belanda yang antara lain berisi ancaman bila Belanda tidak bersedia menyelesaikan konflik dengan Indonesia maka AS akan menghentikan dana bantuan militer bagi Belanda. Bahkan kemudian Acheson menekankan bahwa pemulihan pemerintahan Republik Indonesia di Jogyakarta merupakan inti persoalan dan bahwa pasukan-pasukan Belanda harus ditarik mundur dari Jogyakarta dan wilayah sekitarnya.[6]
Campur tangan Acheson memberikan perubahan yang signifikan bagi kebijakan Belanda yang akhirnya menyetujui diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda. Konferensi ini berlangsung cukup sengit dan berlangsung dari tanggal 23 Agustus 1949 dan baru berakhir pada tanggal 2 November 1949. Itupun masih menyisakan bom waktu tentang status Irian Barat. Setelah berakhirnya Konferensi Meja Bundar, AS secara resmi memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan Republik Indonesia melalui surat yang disampaikan oleh Presiden Truman yang dibawa langsung oleh Merle Cochran yang ditunjuk sebagai Dubes AS pertama di Indonesia. Tepatnya pada tanggal 28 Desember 1949. Bantuan ekonomi dan militer mulai diberikan kepada Indonesia.
Kepentingan global AS pada era Perang Dingin di Indonesia tidak berhenti sampai pada pengakuan kemerdekaan RI, di mana kepentingan ekonomi AS berada didalamnya. Ancaman global bagi kepentingan Amerika pada saat itu terutama bagaimana Amerika berupaya membendung penyebaran komunisme di seluruh dunia. Kebijakan pembendungan komunis Truman yang diimplementasikan melalui kebijakan luar negerinya juga tidak terlepas dari upaya membendung penyebaran komunisme di Asia Pasifik dan Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Kakhawatiran Amerika terhadap pemerintah Republik Indonesia datang dari kebijakan luar negeri pemerintah Indonesia yang mencanangkan “politik bebas aktif” di satu sisi, dan adanya kebijakan Presiden Soekarno yang akomodatif di sisi lain, termasuk memberi keleluasaan bagi berkembangnya PKI, meskipun partai ini telah mengkhianati bangsa Indonesia melalui pemberontakan Madiun. Kebijakan ini ternyata pada saatnya telah mampu memberikan bargaining position bagi pemerintah Indonesia pada saat perebutan Irian Barat yang tidak didukung oleh AS. Sementara dengan kebijakan politik bebas aktif serta tetap diakomodasikannya partai komunis memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi Indonesia meminta dukungan Soviet.
Sebelum sampai pada perebutan Irian Barat (1962), pemerintah AS melalui Dubesnya di Indonesia berupaya mempengaruhi pemerintah Indonesia dengan cara memancing Indonesia memasuki persekutuan keamanan bersama di kawasan dalam upaya membendung komunis. Deplu AS meminta Dubes Cochran untuk membujuk Hatta menandatangani bantuan militer dengan syarat Indonesia ikut aktif mendukung blok Barat dalam membendung penyebaran komunis di Asia Tenggara. Pada saat tersebut bangsa Indonesia yang baru merdeka memang tidak dapat menghindari bantuan Amerika baik bantuan ekonomi maupun militer. Pada saat Indonesia mengajukan bantuan militer itulah Deplu AS melalui Dubesnya berupaya memanfaatkan kesempatan untuk memasukkan persyaratan bagi kesediaan Indonesia memasuki persekutuan keamanan bersama AS dalam membendung komunis di Asia Tenggara. Dubes Cochran telah mengenal para tokoh kunci bangsa Indonesia dan menyadari benar tentang prinsip kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas aktif, melalui negosiasi yang cukup ketat akhirnya Cochran dan Hatta melakukan penandatangan dokumen perjanjian rahasia yang telah dimodifikasi dari draft sebelumnya tentang dukungan U.S. Security Assistance pada tanggal 15 Agustus 1950, yang utamanya ditekankan pada bantuan kepolisian.[7]
Dalam Nota Diplomatik yang ditandatangi oleh Dubes AS, H. Merle Cochran ini antara lain dinyatakan bahwa:
The United States of America and the Republic of the United States of Indonesia mutually undertake that such assistance as may be furnished by the United Stated of America to the Republic of the United States of Indonesia agree this program shall be utilized solely for the maintenance of an effective constabulary and for the carrying out of the purpose of such constabulary. [8]
Sementara Nota Diplomatik yang ditandatangani Hatta yang pada saat itu bertindak sebagai Perdana Menteri dan sekaligus merangkap sebagai Menlu Indonesia antara lain dinyatakan bahwa:
The Government of the Republic of the United States of Indonesia undertake not to transfer, without the prior consent of the Government of the United States of America, tide to or possession of any equipment, material, or service which are received pursuant of paragraph 2 above, or which are substitutable for, or similar in category to the equipment, material, or services so received.[9]
Paragraf 2 yang dimaksud adalah pernyataan yang sama dengan yang tertera pada nota diplomatik yang ditandatangani oleh Dubes AS tersebut di atas. Dari isi exchange of notes tersebut di atas dapat disimak bahwa yang dimaksud bantuan militer tersebut di atas pada dasarnya ditujukan untuk memperkuat kepolisian RI, dan Indonesia tidak diijinkan untuk memindahtangankan kepemilikan bantuan tersebut kepada pihak ketiga tanpa memperoleh persetujuan pemerintah AS.
Ketika proses bantuan tersebut sedang berlangsung terjadi perubahan kabinet. Pada dasarnya kabinet baru yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sukiman dan Menlu Subarjo secara personal mendukung bantuan militer yang telah disepakati sebelumnya secara rahasia oleh Hatta-Cochran. Ketika kabinet baru ini – yang tidak didukung sepenuhnya oleh anggota kabinet dalam menyikapi perjanjian rahasia ini – membuka bantuan ini ke Sidang Perlemen dalam rangka memperoleh ratifikasi, justru yang terjadi adalah ditolaknya perjanjian bantuan militer tersebut. Tidak disetujuinya bantuan ini oleh Parlemen tentu saja membuat Amerika merasa dipermalukan dan kejadian ini oleh Ida Anak Agung Gde Agung – yang menjabat sebagai Menlu RI pada tahun 1955-1956 – disebut sebagai Cochran Affair.[10]
Menyikapi bantuan tersebut, dalam perkembangan politik di Indonesia yang mulai marak menentang kehadiran Amerika khususnya oleh partai komunis, telah memaksa Menlu RI memerintahkan Dubes Indonesia di Washington DC untuk menerbitkan surat kepada Dubes AS di Jakarta. Pada tanggal 5 Januari 1953 surat dimaksud ditulis, yang antara lain dinyatakan bahwa bantuan militer yang diperuntukkan bagi kepolisian RI berdasarkan perjanjian rahasia Cochran-Hatta apabila tidak lagi diperlukan, pemerintah Indonesia akan menawarkan untuk mengembalikan bantuan tersebut kepada pemerintah Amerika. Kutipan surat dimaksud antara lain berbunyi:
…, has the honor to propose that the undelivered balance of constabulary equipment authorized under the agreement of August 15, 1950 be converted from a grant to an aid on a reimbursable basis. Equipment and material which have been provided on a grant basis under the Constabulary Agreement of August 15, 1950 will be retained by the Government of the Republic of Indonesia on the term and conditions contained in that agreement so long as required for the purpose for which originally made available and, if no longer required for this purpose, they will be offered for return to the Government of the United Stated.[11]
Menanggapi surat tersebut di atas Dubes AS memberikan jawaban dan menyetujui usul yang disampaikan oleh Dubes RI di Washington DC melalui surat tertanggal 12 Januari 1953 yang dialamatkan kepada Menlu RI yang pada saat itu dijabat oleh Mukarto Notowidagdo. Dalam suratnya tersebut Dubes AS antara lain menulis:
… to inform you that the Government of the United States of America accepts the above proposal and agrees that the Indonesian Ambassador’s note of January 5, 1953 and this note of acceptance constitute an agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the United States of America effective on the date of this note.[12]
Nota diplomatik tersebut di atas pada dasarnya merupakan amandemen terhadap perjanjian tanggal 15 Agustus 1950. Dengan adanya nota diplomatik antara kedua pemerintahan ini, pemerintah AS menjadi lebih khawatir, terlebih dengan adanya penguatan pengaruh komunis terhadap pemerintah Indonesia dan ditambah dengan penolakan Indonesia dalam pembentukan pakta pertahanan di Asia Tenggara (SEATO) pada 6 September 1954 sebagaimana yang telah dibentuk di Eropa (NATO). Pembentukan SEATO dimaksudkan untuk membendung penyebaran komunisme di Asia Tenggara yang menjadi ancaman global AS pada saat berlangsungnya Perang Dingin.
Pasca Pemilihan Umum di Indonesia 1955, pengaruh PKI semakin menguat ditambah dengan kebijakan Presiden Soekarno yang mendukung langkah pimpinan PKI untuk mengambil aset-aset Belanda di Indonesia, sementara tindakan ini ditentang oleh Hatta, Jenderal Nasution selaku Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) serta beberapa pemimpin Indonesia lainnya. Situasi ini memaksa AS melancarkan operasi rahasia melalui CIA yang mendukung gerakan anti Komunis PRRI/Permesta di Sumatera dan Manado yang berupaya menjatuhkan Presiden Soekarno yang dianggap pro-Komunis. Dalam gerakan ini Menlu Dulles sempat membujuk KASAD Jenderal Nasution untuk mendukung PRRI/Permesta. Jenderal Nasution menolak dan tetap mendukung pemerintahan yang sah di bawah kepemimpinan Soekarno. Dubes AS di Jakarta yang pada saat itu dijabat oleh Allison menyatakan pengunduran dirinya karena tidak mendukung kebijakan yang diambil oleh Menlu Dulles yang ingin menjatuhkan pemerintahan Presiden Soekarno.[13] Pemberontakan PRRI/Permesta meletus pada 8 Februari 1958 dengan dukungan Amerika melalui CIA, dapat ditumpas oleh TNI dengan cepat.
Sungguh, Amerika memiliki kepentingan yang besar baik dari aspek ekonomi maupun aspek keamanan global dari ancaman komunis yang mempengaruhi pemerintah Indonesia. Pada awal kemerdekaan Indonesia, Amerika berada pada suatu persimpangan jalan yang sulit menghadapi perkembangan politik di Indonesia. Bahkan kekhawatiran yang berlebihan telah membuat Amerika berusaha melakukan aksi regime change terhadap pemerintahan Soekarno yang mendukung komunisme, melalui operasi CIA yang mendukung gerakan anti komunis PRRI/Permesta. Dalam situasi yang tidak menentu di Indonesia tersebut, bantuan ekonomi tetap diberikan, disertai dengan bantuan militer/kepolisian yang merupakan bagian dari skema umum dalam penerapan kebijakan pembendungan melalui U.S. Security Assistance.
3.2. Arti pentingnya U.S. Security Assistance bagi Indonesia
Beberapa ahli hubungan internasional mendefinisikan bahwa kepentingan nasional suatu bangsa akan terkait erat dengan masalah internal dan masalah eksternal. Hans J. Morgenthau menyampaikan pandangan bahwa konsep kepentingan nasional pada dasarnya terdiri dari dua elemen, yang pertama didasarkan pada pemenuhan kebutuhan sendiri, dan yang kedua mempertimbangkan berbagai kondisi lingkungan strategis disekitarnya. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan sendiri, dapat di peroleh dengan cara melindungi kelangsungan hidup bangsa dalam mempertahankan kedaulatan integritas wilayah nasional, sistem politik, dan identitas budaya dari ancaman bangsa lain. Adapun pertimbangan adanya berbagai kondisi lingkungan strategis adalah dengan menjalankan kebijakan politik luar negeri melalui upaya diplomasi demi terciptanya perdamaian dunia.[14]
Sementara Charles W. Kegley dan Eugene R. Wittkopf menyatakan bahwa kepentingan nasional dari sebuah negara hendaknya tidak hanya didasarkan pada peningkatan kesejahteraan internal bagi setiap warganegaranya, menyediakan pertahanan terhadap agresi dari luar, dan melindungi nilai-nilai negara dan falsafah hidup (way of life), namun juga harus dikaitkan dengan upaya kerjasama dengan banyak bangsa untuk menciptakan kesejahteraan dan keamanan global.[15]
Para pendiri bangsa Indonesia dalam menyusun UUD 45, juga memperhatikan kaidah-kaidah universal dalam merumuskan kepentingan nasional sebagaimana yang dirumuskan oleh para ahli hubungan internasional. Pembukaan yang mengantar pasal-pasal didalam UUD 45 yang merumuskan kepentingan nasional tersebut juga tidak terlepas dari kaidah-kaidah universal dimaksud. Hal ini nampak dengan jelas pada Pembukaan UUD 45 pada alinea 4 yang berbunyi: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) dan untuk memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pasca kemerdekaan, bangsa Indonesia menghadapi berbagai situasi yang tidak kondusif, antara lain adanya upaya-upaya gangguan keamanan yang dilakukan oleh PKI, pemberontakan PRRI/Permesta yang merupakan gerakan anti-komunis dukungan CIA, persoalan Belanda yang masih berupaya untuk meruntuhkan Republik Indonesia dengan aksi polisionil (agresi militer) I dan II, operasi Trikora dalam rangka penyatuan Irian Barat, dan operasi Komodo/Seroja guna menyatukan Timor-Timor ke wilayah NKRI.
Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia dituntut adanya peran aktif dalam percaturan internasional, menjamin kesejahteraan dan keamanan bagi seluruh bangsa, serta tekad untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Indonesia menyadari betul bahwa dalam percaturan internasional tidak mungkin bangsa Indonesia menjadi pasif. Oleh karena itu, pada saat Hatta menjadi Perdana Menteri dengan bekal pemahaman yang luas dibidang percaturan internasional, ia tidak menghendaki Indonesia ikut serta memasuki salah satu diantara dua blok yang saat itu terlibat dalam konflik global Perang Dingin. Hatta memutuskan keikutsertaan Indonesia dalam percaturan di kancah internasional dengan menerapkan kebijakan “politik bebas aktif”.
Keputusan ini tidaklah mudah. Dua super power dunia saling berupaya menarik Indonesia untuk menjadi sekutu dalam pertempuran mereka, antara demokrasi dan kapitalisme Barat dengan komunisme. Tarik menarik pengaruh ini tidak urung sempat mewarnai proses kebijakan luar negeri Indonesia. Dan sejarah telah mencatat bahwa Presiden Soekarno sempat berupaya membelokkan arah kebijakan tersebut ke arah blok komunis. Kebijakan pembelokan ini berpuncak pada tahun 1965 pada saat Soekarno menyampaikan pidato dalam rangka perayaan HUT Kemerdekaan dengan mengumumkan “kebijakan Poros Jakarta – Phnom Penh – Hanoi – Peking – Pyongyang.”[16] Namun sejak awal para pemimpin bangsa Indonesia yang lain berusaha tetap bertahan dengan kebijakan luar negeri bebas aktif, khususnya dari kelompok TNI AD yang mencoba mengimbangi dengan tetap melakukan persahabatan dengan pihak AS, antara lain dengan tetap menerima program-program U.S. Security Assistance dalam bentuk International Military Education Training (IMET) dan Military Assistance Program (MAP). Dengan kebijakan bebas aktif ini pada saat Indonesia menghadapi situasi-situasi yang mempertaruhkan kepentingan nasional, para pemimpin bangsa Indonesia mampu memilah dan memilih kebijakan yang paling tepat demi mempertahankan dan memperjuangkan kepentingan nasional.
U.S. Security Assistance termasuk yang mewarnai kehidupan bangsa Indonesia, dalam mana bantuan ekonomi dan militer dari Amerika secara riil dan intensif diberikan segera setelah Amerika memberikan pengakuan terhadap eksistensi bangsa Indonesia pada awal tahun 1950 seusai Konferensi Meja Bundar, yang memupuskan usaha-usaha Belanda untuk kembali menguasai wilayah bekas koloninya yang kaya akan sumber daya alam. Meskipun secara de jure Amerika memberikan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia pasca Konferensi Meja Bundar, sejarah juga mencatat peran Amerika terhadap upaya Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan Belanda. Konflik RI-Belanda rasanya tidak akan terselesaikan dalam waktu singkat tanpa campur tangan dan mediasi Amerika. Bahkan Belanda mulai melunakkan kebijakan atas agresinya (aksi polisionil) yang ke II kepada Indonesia, berkat intervensi Menlu AS, Dean Acheson.
Namun walau bagaimana pun, bangsa Indonesia adalah bangsa yang berdaulat semenjak proklamasi dicanangkan. Seberapa pun besarnya jasa Amerika terhadap bangsa Indonesia, maka tidaklah ada keharusan moral bagi bangsa Indonesia untuk selalu menggantungkan nasibnya pada bangsa Amerika. Atau dengan kata lain, tidak seharusnya dengan mudah Indonesia mengikuti semua kemauan politik Amerika. Sejauh ajakan tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan bangsa Indonesia, maka tidak ada salahnya ajakan tersebut diikuti. Namun sebaliknya, apabila ajakan tersebut justru akan membawa bangsa Indonesia terseret dalam arus yang tidak menentu dan ada kepentingan nasional yang dipertaruhkan, maka tidak ada salahnya bagi Indonesia menolak atau setidak-tidaknya menunda mengikuti ajakan tersebut.
Untuk mempertahankan kepentingan nasional tersebut, antara lain pada tahun 1948 setelah meletusnya pemberontakan komunis di Madiun, Indonesia berunding dengan Amerika untuk dapatnya memperoleh bantuan kepolisian berupa senjata dan perlengkapan bagi 10.000 personil.[17] Dan permintaan bantuan tersebut baru direalisasikan pada tanggal 15 Agustus 1950 melalui pertukaran nota diplomatik yang dilakukan secara rahasia. Terlepas persoalan ini kemudian menjadikan suatu preseden buruk bagi kedua belah pihak dengan tidak lolosnya proses ratifikasi oleh parlemen Indonesia pada waktu itu, hingga memunculkan Cochran Affair, namun bantuan tersebut tetap berlangsung, meskipun agreement nya kemudian diamandemen pada tanggal 12 Januari 1953.[18]
Permintaan bantuan militer selanjutnya diajukan kepada Amerika pada Mei 1957 untuk keperluan meningkatkan kemampuan TNI dalam menjaga keamanan dalam negeri (self-defence) dari berbagai kemungkinan aksi komunis.[19] Permintaan bantuan inipun segera direalisasikan, antara lain adanya peningkatan jumlah program bantuan militer yang pada tahun fiskal 1958 bernilai $7,3 juta menjadi $22 juta pada tahun fiskal 1959 dan 1960. Dalam waktu 6 bulan, 21 batalyon TNI dengan jumlah prajurit sekitar 16.000 orang, telah diperlengkapi dengan senjata-senjata Amerika.[20]
Penerimaan bantuan yang diberikan pada tahun 1958 sebagian diantaranya berupa kredit Foreign Military Sales (FMS). Untuk merealisasikan pembelian ini pada tanggal 13 Agustus 1958, kedua belah pihak (Indonesia dan AS) telah menandatangi sebuah dokumen Sale of Military Equipment, Materials and Services. Dalam dokumen ini antara lain disebutkan:
(A) Any weapons or other military equipment of services purchased by the Government of Indonesia from the Government of the United States shall be used by the Government of Indonesia solely for legitimate national self-defense, and it is self-evident that the Government of Indonesia, as a member of the United Organization, interprets the term legitimate national self-defense within the scope of the United Nation Charter as excluding an act of aggression against any other state.
(B) Any weapons or other military equipment or services purchased by the Government of Indonesia from the Government of the United States shall not be sold or otherwise disposed of to third parties.[21]
Menjelang berakhirnya tahun 1960 terjadi pergantian presiden Amerika dari Eisenhower (Republik) ke John F. Kennedy (Demokrat). Perubahan ini berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia, khususnya dalam menyikapi konflik Irian Barat.[22] Pada sekitar awal tahun 1961 ketika Indonesia mengajukan bantuan militer untuk merebut Irian Barat – yang tetap di bawah penguasaan Belanda seusai Konperensi Meja Bundar – permintaan tersebut ditolak oleh Presiden Kennedy. Penolakan ini dipengaruhi oleh adanya perubahan kebijakan tersebut di atas. Akhirnya demi kepentingan nasional, Indonesia meminta bantuan kepada Soviet. Soviet nampaknya memanfaatkan momentum permintaan bantuan Indonesia ini dengan sangat baik. Soviet di bawah kepemimpinan Khurschev bersedia memberikan bantuan berupa kontrak pengadaan perlengkapan militer senilai US$600 juta.[23]
Disinilah letak fleksibilitas kebijakan politik luar negeri bebas aktif yang dianut oleh Indonesia dimanfaatkan secara optimal oleh Presiden Soekarno, yang nampaknya juga mengikuti paham pragmatisme Amerika. Dengan tetap mengakomodasi PKI ia dengan sangat leluasa melakukan kontak, baik dengan Cina maupun Soviet, sehingga pada saat kritikal di mana Indonesia akan melancarkan operasi Trikora dengan menyatukan Irian Barat ke wilayah NKRI, dengan sangat mudah Indonesia memperoleh bantuan militer dari Soviet, manakala Amerika dengan kepemimpinan Kennedy tidak bersedia memberikan bantuan militer.
Meskipun Kennedy menolak untuk memberikan bantuan militer, namun sepertinya tidak bermaksud menghentikan langkah Indonesia menyatukan Irian Barat ke dalam wilayah NKRI. Bahkan ketika Belanda meminta dukungan Amerika tentang konfliknya dengan Indonesia, Amerika tidak juga menanggapinya. Dalam kasus ini Amerika nampaknya ingin bersikap netral dan kembali berupaya menjadi mediator bagi penyelesaian krisis Irian Barat. Namun mediasi Amerika tidak membuahkan hasil. Pada tahun 1962 operasi Trikora di bawah Komando Mandala Mayjen TNI Soeharto digelar dan akhirnya berhasil membebaskan Irian Barat dari pendudukan Belanda. Konflik RI-Belanda tentang Irian Barat berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian Irian Jaya oleh pihak RI dan Belanda di PBB pada tanggal 15 Agustus 1962. Setelah krisis Irian Jaya berakhir, Amerika kembali memberikan bantuan ekonomi kepada Indonesia dalam rangka mempersempit pengaruh Soviet yang telah memberikan bantuan yang jumlahnya sangat signifikan. Bantuan militer Soviet kepada Indonesia di akhir tahun 1962 diperkirakan sebesar US$1,3 milyar. Sementara bantuan militer yang diberikan Amerika kepada Indonesia hanya bernilai kurang dari seperempat belas atau senilai kurang dari US$93 juta.[24]
Tragedi 30 September 1965, merupakan sejarah kelabu bagi Indonesia di mana PKI berusaha melakukan pemberontakan untuk menghancurkan falsafah dasar bagi bangsa Indonesia yakni Pancasila dan menggantikannya dengan komunisme. Peristiwa berdarah telah membawa korban para petinggi TNI, termasuk Kasad Jenderal TNI A.Yani yang selama ini membaktikan darmanya bagi tetap tegaknya negara kesatuan RI di bawah azas Pancasila. Langkah komunis ini akhirnya gagal total setelah Panglima Kostrad, Letjen TNI Soeharto mengambil alih pimpinan TNI AD dan melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan guna mengendalikan situasi keamanan. Peristiwa pemberontakan G 30 S/PKI ini luput dari pengamatan AS, sehingga AS sempat kehilangan momentum pada saat itu. Bahkan kemunculan Soeharto di saat-saat kritis melumpuhkan aksi G 30 S/PKI benar-benar diluar perhitungan AS, sebab selama ini tokoh-tokoh TNI yang sering berkomunikasi dengan AS adalah Jenderal Nasution serta beberapa jenderal TNI AD yang sejak awal menentang komunis dukungan presiden Soekarno.
Perkembangan situasi yang terjadi begitu cepat membuat Amerika terperangah untuk beberapa saat, dan bantuan keamanan untuk sementara terhenti, meskipun untuk beberapa waktu kemudian bantuan ekonomi mulai diberikan guna membenahi perekonomian Indonesia yang sempat ambruk. Pada tahun 1969 bantuan militer kembali diberikan seiring dengan bantuan ekonomi, dengan demikian U.S. Security Assistance kembali diberikan. Momentum ini terjadi seusai Presiden Richard M. Nixon kembali dari suatu perjalanan ke Asia dalam pesawat Air Force One pada Juni 1969. Kebijakan Nixon ini disampaikan secara langsung kepada Dubes AS di Jakarta Marshall Green.[25] Sejak saat itu hubungan bilateral Amerika – Indonesia mulai membaik.
Pada tahun 1975 pemerintah Indonesia mulai resah dengan masalah Timor Timur dan memutuskan untuk mendukung kelompok pro-integrasi yang menentang kemerdekaan Timor Timur yang digagas oleh Partai Komunis Fretilin. Pada saat persiapan serangan ke Timor Timur Indonesia meminta dukungan AS, Presiden Ford yang didampingi Menlu Kissinger yang datang ke Indonesia memberikan dukungan dengan pesan yang disampaikan oleh Menlu Kissinger agar Indonesia tidak menggunakan senjata Amerika dalam penyerangan tersebut. Kissinger feared at the time that possible use of U.S.-made arms in this East Timor operation might cause problems in Congress.[26] Alasan mengapa AS mendukung kebijakan Indonesia mengintegrasikan Timor Timur, hal ini akan dibahas lebih lanjut pada sub-bab selanjutnya.
3.3. Keselarasan kepentingan AS dengan kepentingan nasional Indonesia dalam U.S. Security Assistance
U.S. Security Assistance yang diberikan kepada negara-negara berkembang dalam rangka penerapan kebijakan pembendungan, dalam mekanismenya dilakukan melalui prosedur dalam mana bantuan dimaksud diusulkan oleh Pemerintah – yang dalam hal ini oleh U.S. Department of Defense – kepada komisi hubungan luar negeri Kongres AS. Salah satu persyaratan pokok yang ditetapkan oleh Kongres adalah bahwa bantuan keamanan tersebut benar-benar digunakan dalam rangka membantu negara berkembang yang berjuang melawan komunisme. Persyaratan pokok lainnya adalah U.S. Security Assistance tidak akan diberikan kepada negara-negara yang diindikasikan terlibat pelanggaran HAM.
Dalam kaitan bantuan keamanan Amerika yang diberikan kepada Indonesia, tidak terlepas dari hal-hal tersebut di atas. Bila diperhatikan secara kilas balik, bantuan militer yang diberikan kepada Indonesia melalui perjanjian Hatta-Cochran yang ditandatangani secara rahasia pada 15 Agustus 1950 yang kemudian memunculkan Cochran Affair, merupakan implementasi dari permintaan bantuan kepolisian RI kepada Amerika pada saat meletusnya pemberontakan PKI Madiun 1948. Deplu AS semula ingin memanfaatkan permintaan bantuan ini dengan perjanjian yang lebih mengikat, khususnya dalam hal kerjasama keamanan untuk membendung pengaruh komunis baik di Indonesia maupun Asia Tenggara. Dengan adanya politik bebas aktif yang dianut Indonesia maka kemudian Dubes Cochran memodifikasi rumusan yang dibuat oleh Deplu AS menjadi rumusan yang lebih lunak sebagaimana perjanjian Hatta-Cochran yang telah ditandatangi tersebut. Dari sisi ini terlihat adanya upaya bargaining antara kedua belah pihak dalam mendapatkan win-win solution bagi kepentingan bersama tanpa mengesampingkan kepentingan-kepentingan yang lebih besar. Kepentingan bersama yang membawa pada suatu kesepakatan bersama pada saat itu adalah dalam rangka membendung pengaruh/ancaman komunis global bagi AS di satu sisi, dan upaya Hatta untuk membendung pengaruh/ancaman komunis dalam pemerintahan Soekarno di sisi lain. Hatta dan Cochran melakukan kesepakatan rahasia karena tidak ingin kesepakatan ini diketahui oleh para pimpinan PKI yang telah berhasil mempengaruhi pemikiran dan kebijakan Soekarno.
Bantuan selanjutnya yang diminta oleh Indonesia kepada Amerika adalah pada tahun 1957 yang akan digunakan untuk memperkuat TNI dengan adanya kekhawatiran semakin meluasnya pengaruh PKI pasca pemilihan umum 1955, yang mana PKI menempati posisi ketiga terbesar setelah PNI dan Masyumi. Perolehan suara PKI mencapai 16,4%, sementara PNI dan Masyumi masing-masing 22,3% dan 20,9%. Perolehan suara PKI ini menyebabkan komposisi di Parlemen meningkat lebih dari 2 kali lipat.[27] Dengan demikian dukungan komunis terhadap Soekarno semakin meningkat.
Untuk mengantisipasi aksi komunis lebih lanjut dengan semakin menguatnya komunis di legislatif, yang dikhawatirkan akan semakin berani melakukan aksi-aksinya, Indonesia – dalam hal ini TNI – merasa perlu meminta dukungan Amerika untuk memperkuat posisinya. Pada tahun 1958 bantuan militer untuk Indonesia didukung US$7,3 juta dan pada tahun fiskal 1959 dan 1960 terjadi peningkatan dukungan bantuan militer sebesar masing-masing US$22 juta.[28]
Bantuan militer yang diberikan kepada Indonesia ini tidak terlepas dari adanya kekhawatiran yang juga semakin meningkat dari pihak AS. Kekhawatiran yang berlebihan ini bahkan membuat Amerika melakukan tindakan yang tidak terpuji, pada tahun 1958 AS mengerahkan operasi rahasia yang dilakukan oleh CIA dalam rangka mendukung aksi anti-komunis yang dilakukan oleh Perdana Menteri PRRI Syaifrudin Prawira Negara yang berusaha menjatuhkan pemerintahan Soekarno yang dinilai pro-komunis.
Dari skenario tersebut di atas nampaknya Amerika tidak sabar untuk segera menerapkan strategi regime change terhadap Soekarno. Sementara doktrin TNI AD yang ditanamkan oleh Jenderal Soedirman untuk membela pemerintahan sipil yang sah, benar-benar dipegang teguh oleh Jenderal Nasution, yang tidak bergeming manakala Amerika membujuknya untuk mendukung tindakan makar ini. Bahkan kemudian Jenderal Nasution menjalankan kewenangan komandonya untuk memadamkan pemerontakan PRRI di Sumatra dan pemberontakan Permesta di Manado yang juga ditunggangi oleh agen-agen CIA.
Dari situasi ini juga nampak bahwa bantuan militer Amerika yang diberikan kepada TNI pada tahun 1958 dalam rangka mengantisipasi aksi komunis telah diberikan oleh Amerika karena adanya kekhawatiran yang sama atas akibat buruk yang mungkin ditimbulkan oleh komunis Indonesia. Hanya saja, sayangnya Amerika mengambil langkah yang sangat gegabah meskipun secara strategi, penerapan usaha melalui regime change tidak menyalahi kebijakan politik luar negerinya, yang menggambarkan doktrin maksimalis yang ingin diterapkan.
3.4. Peran U.S. Security Assistance dalam mendukung upaya Indonesia mengintegrasikan Timor Timor ke dalam NKRI
Strategi regime change merupakan salah satu implementasi dari kebijakan politik luar negeri yang secara universal telah diberlakukan oleh negara-negara besar terhadap negara-negara yang lebih kecil yang berada di bawah pengaruhnya. Strategi ini tidak saja diterapkan oleh Amerika, namun juga dilakukan oleh Soviet pada saat menjatuhkan pemerintahan nasional China di bawah Chiang Kai-shek. Kasus perebutan pengaruh di Cina merupakan kisah pertarungan Amerika yang mendukung Chiang dengan pemerintahan nasionalnya, dengan Soviet yang mendukung Mao Tse-tung dengan komunisnya. Kisah pertarungan dua raksasa yang berebut pengaruh ini akhirnya dimenangkan Soviet yang mampu menjatuhkan pemerintahan nasionalis Chiang untuk digantikan oleh rezim komunis Mao.
Strategi regime change ini nampaknya juga digunakan oleh Indonesia pada saat mengintegrasikan Timor Timur meskipun dalam skala yang lebih kecil, dan konteks yang agak berbeda. Pada tahun 1975, “Carnation Revolution” di Portugal telah mempengaruhi pergolakan politik di Timor Timur. Muncul tiga kekuatan partai politik yang berpengaruh yaitu (1) The Frente Revolucionária de Timor Leste Independente/Fretilin, sebuah partai berhaluan komunis yang menuntut kemerdekaan Timor Timur dengan segera. Fretilin didukung oleh para pegawai negeri sipil terutama dari kaum mudanya, guru, pekerja pendatang, dan mahasiswa. (2) The União Democrática de Timor/UDT menginginkan otonomi seluas-luasnya namun masih di bawah kekuasaan Portugal. UDT didukung oleh pegawai negeri yang menduduki jabatan-jabatan tinggi, para pemuka masyarakat setempat, penduduk pedesaan yang mengakui pemerintahan Portugal, beberapa pengusaha Cina dan komunitas Portugal. (3) The Associação Popular Democrática de Timor/Apodeti, menginginkan otonomi yang terintegrasi dengan RI sesuai dengan hukum internasional. Apodeti didukung secara luas oleh kelompok-kelompok etnis dan hubungan sejarah.[29]
Dalam perkembangan selanjutnya Fretilin berhasil menggandeng UDT bersama dengan tokoh-tokoh elit lokal dan menjadi kekuatan aliansi yang sangat besar mengkampanyekan kemerdekaan dari Portugal. Sementara salah satu partai yang menginginkan integrasi dengan Indonesia (Apodeti), kurang mendapatkan dukungan massa. Aliansi Fretilin dan UDT tidak bertahan lama, dan disusul oleh adanya kudeta yang dilakukan oleh UDT pada 11 Agustus 1975 yang dengan cepat menguasai instalasi-instalasi yang menentukan di Dili seperti stasiun radio, bandara, gedung-gedung pemerintahan serta menuntut kemerdekaan segera bagi Timor Timur dan dipenjarakannya anggota-anggota Fretillin. Situasi makin panas. Kekuatan komunis Fretillin nampaknya sangat kuat, sehingga akhirnya pada Oktober 1975 UDT bergabung dengan Apodeti serta partai-partai kecil yang lain seperti Kota dan Trabalhista. Di bawah perwalian Indonesia mereka membentuk sebuah koalisi dengan nama Movimento Anti Comunista (MAC, Gerakan Anti Komunis).
Situasi semakin kacau, nampaknya kekuatan komunis Fretillin tidak dapat diremehkan, yang kemudian mampu memegang kendali dan pada tanggal 28 November 1975 secara sepihak Fretilin menyatakan kemerdekaan Timor Timur, dan memproklamasikan sebagai Republik Demokratik Timor Timur (“Democratic Republic of East Timor”). Sembilan hari kemudian pada tanggal 7 Desember 1975 Indonesia melakukan serangan militer ke Timor Timur, dan akhirnya Timor Timur terintegrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada saat itu tindakan Indonesia mendapat dukungan penuh baik dukungan politis maupun peralatan militer (security assistance) dari AS.
Sebagaimana telah disinggung di bagian akhir sub-bab sebelumnya (3.2), Menlu Kissinger dalam lawatannya ke Indonesia mendampingi presiden Gerald Ford, menyatakan bahwa pada prinsipnya Amerika tidak keberatan terhadap operasi militer Indonesia ke Timor Timor, meskipun ia meminta agar operasi dimaksud dapat dengan cepat dilaksanakan tanpa menggunakan senjata-senjata buatan Amerika. Apakah sebenarnya hasil pembicaraan resmi antara presiden Soeharto dengan presiden Gerald Ford? Pada saat itu memang tidak diketahui adanya catatan resmi tentang hasil pembicaraan dimaksud.
Dari apa yang disampaikan oleh Menlu Kissinger dapat dipastikan bahwa pemerintah AS memberikan dukungan politik terhadap serangan tersebut, karena pada saat itu Amerika masih dalam fase Perang Dingin dengan komunis Soviet. Dunia internasional juga telah mengetahui bahwa ketika terjadi carnival revolution di Portugal, telah memaksa Portugal melepaskan koloninya mengingat biaya yang harus dikeluarkan untuk operasional di Timor Portugis sangat tidak sebanding dengan apa yang diperoleh dari sana. Portugis sudah tentu mengikuti perkembangan dari waktu ke waktu tentang pergolakan di negeri koloninya tersebut, yang mana terdapat beberapa partai yang memiliki landasan dan tujuan politik yang saling bertentangan. Fretilin yang berhaluan komunis dan ingin membentuk pemerintahan sendiri, dan Apodeti yang berorientasi nasionalis dan menginginkan berintegrasi dengan bangsa Indonesia.
Dalam situasi yang tidak menentu ini, nampaknya Portugal sudah tidak bersedia menanggung resiko politis atas persoalan bekas koloninya ini. Namun sepertinya Portugal tidak merelakan manakala Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Wakil Asisten Menlu AS, Kenneth M. Quinn yang memandang kembali situasi tujuh belas tahun kemudian ketika ia memberikan kesaksian di depan Kongres:
… Portugal’s leftist government abruptly withdrew in August 1975, handing over to Fretilin weapons which were then used to gain the upper hand. … When the world turned its attention to East Timor in the mid-1970s, self-determination was not a realistic option. The choice was Marxist rule by Fertilin or action by Indonesia. ...[30]
Dengan dukungan persenjataan yang ditinggalkan oleh kelompok kiri (komunis) pemerintah Portugal, Fretilin memiliki kepercayaan diri yang besar untuk membentuk pemerintahan komunis secara sepihak dengan memproklamasikan Timor Timur sebagai Republik Demokratik Timor Timur (“Democratic Republic of East Timor”). Indonesia tidak mungkin membiarkan situasi seperti ini. Indonesia memiliki trauma kebangsaan yang begitu hebat pada saat terjadinya peristiwa G 30 S/PKI. Oleh karena itulah Presiden Soeharto sebagai Panglima Tertinggi memerintahkan agar TNI mengatur strategi untuk melakukan penyerangan ke Timor Timur.
Dalam melakukan serangan ini, Indonesia tidak ingin melakukannya secara gegabah. Presiden Soeharto yang berpengalaman sebagai Panglima Mandala pembebasan Irian Jaya tentunya memahami betul konsekuensi yang akan timbul apabila aksi ini dilakukan sendirian. Pada saat tersebut Amerika yang memiliki kepentingan yang sama dalam pembendungan komunis menjadi suatu pilihan utama untuk diajak berkonsultasi dan meminta dukungan baik secara politis maupun bantuan militer.
Upaya Indonesia melakukan pendekatan kepada AS ditanggapi secara positif dengan kunjungan singkat Presiden Gerald Ford yang disertai oleh Menlu Henry Kissinger. Setelah Amerika memberikan dukungannya maka dengan tidak ada keraguan lagi, Indonesia melakukan serangan atas Timor Timur, guna menjatuhkan regime komunis yang dideklarasikan secara sepihak oleh Fretilin. Serangan Indonesia dilakukan pada 7 Desember 1975 hanya selang sembilan hari setelah pernyataan kemerdekaan Timor Timur. Meskipun Kissinger menyatakan agar Indonesia tidak menggunakan persenjataan Amerika, nampaknya Amerika tidak mencegah ketika senjata-senjata buatannya digunakan oleh pasukan Indonesia. Pernyataan Kissinger ini nampaknya hanya sebuah pernyataan diplomatis agar pemerintah AS tidak disalahkan oleh Kongres. Bahkan tampaknya Kongres AS pada saat itu juga tidak begitu keberatan atas dukungan politik dan bantuan militer pemerintahnya yang diberikan kepada Indonesia. Hal ini dapat disimak dari adanya suatu pernyataan:
When reports were received that some U.S.arms might have been used, military assistance deliveries were quitetly withheld for several months. At least one key senator was informed of third fact, but the matter did not become a public issue either in Congres or in bilateral relationship.[31]
Penulis lain memaknai penundaan pengiriman bantuan militer yang disebutkan diatas sebagai embargo. Dalam tulisannya lebih lanjut penulis tersebut menyatakan bahwa serangan Indonesia terhadap Timor Timur ini memperoleh dukungan penuh dari AS baik secara politik maupun dukungan persenjataan.
Indonesia invaded the territory [East Timor] in December 1975, relying on US diplomatic support and arms, used illegally, but with secret authorization from Washington; there were even new arms shipments sent under the cover of an official “embargo.”…[32]
Setelah Indonesia berhasil mengintegrasikan Timor Timur kedalam wilayah NKRI, dukungan Amerika dalam bentuk bantuan militer memang sempat menjadi teka-teki publik. Hal ini disebabkan oleh munculnya berbagai pemberitaan yang simpang-siur sebelumnya, sebagaimana terdapat tulisan yang menyatakan bahwa invasi Indonesia ke Timor Timur dilaksanakan 12 jam setelah kunjungan 2 hari presiden Ford ke Indonesia, Gedung Putih mengabarkan bahwa presiden Soeharto tidak memberitahu Ford tentang rencana serangan ke Timor Timur, tetapi tidak disangkal bahwa pasukan penyerbu sebagian diperlengkapi dengan persenjataan Amerika, adapun usulan tentang bantuan militer yang lebih besar kepada Indonesia telah ditangguhkan oleh Kongres. Dan dari pihak Indonesia melalui siaran radio dinyatakan bahwa Menlu Henry Kissinger memberikan jaminan kepada Indonesia bahwa pemerintah AS tidak akan memberikan pengakuan terhadap proklamasi kemerdekaan Timor Timur oleh Fretilin.[33]
Dalam kaitan ini sepertinya Amerika memang berada pada posisi sulit. Di satu sisi dukungan politis yang disampaikan melalui Ford tidak bertentangan dengan kebijakan pembendungan, sebab Amerika juga baru saja mengakhiri Perang Vietnam. Sementara di sisi lain Amerika juga tidak mau mengambil resiko politik yang datangnya justru dari warganegaranya sendiri yang disuarakan oleh Kongres. Sementara akhir Perang Vietnam juga masih membawa luka traumatis bagi sebagian keluarga Amerika yang anggota keluarganya menjadi korban dari perang tersebut. Oleh karena itu bisa dimengerti bahwa keterlibatan Amerika dalam bentuk bantuan militer dikaburkan, dengan demikian diharapkan tidak akan menjadi perdebatan publik. Nampaknya upaya tersebut cukup berhasil, setidak-tidaknya pada saat itu.
Kenyataan tentang pelibatan Amerika secara aktif, tidak saja dukungan politis, namun juga bantuan militer akhirnya tidak terbantahkan setelah dalam otobiografinya Ford mencatat, dalam kunjungannya ke Indonesia, pada saat itu Indonesia merasa khawatir apabila Amerika tidak memberikan dukungan. Namun setelah Ford memberikan jaminan untuk membantu baik bantuan ekonomi maupun bantuan militer, para pemimpin Indonesia menjadi lebih lega dalam meneruskan rencana serangan kepihak komunis Timor Timur.
President Ford’s visit to Indonesia in late 1975 was in part designed to counter such fear. Ford notes in his autobiography that Indonesian leaders seemed reassured by his statements regarding bilateral economic and military aid and the U.S. regional commitment.[34]
Dukungan AS terhadap proses integrasi Timor Timur juga dapat dibuktikan dengan adanya laporan bahwa pada tanggal 3 Maret 1976, the U.S. House of Representative menyetujui rancangan UU otorisasi bantuan luar negeri senilai US$4,8 milyar meskipun terdapat amandemen yang mengakibatkan bantuan militer dalam bentuk hibah yang dialokasikan kepada Indonesia sebesar US$19,4 juta dihapus dengan alasan karena adanya pengambilan Timor Timur dan adanya indikasi pelanggaran HAM. Namun untuk bantuan dalam bentuk kredit Foreign Military Sales (FMS) sebesar US$23,1 juta tetap diberikan, ditambah sekitar US$2 juta dalam bentuk dukungan Foreign Military Training Program atau International Military Education Training (IMET), dan US$13 juta dalam bentuk excess defense articles. Catatan lain menyatakan bahwa bantuan militer bagi Indonesia diharapkan dapat ditingkatkan pada tahun fiskal 1976 hingga mencapai nilai sebesar US$57 juta, yang berarti melebihi jumlah pembelanjaan aktual yang dialokasikan pada tahun fiskal 1975 sebesar US$23,8 juta.[35]
Keterlibatan AS secara politis atas serangan Indonesia ke Timor Timor semakin diperkuat setelah dokumen-dokumen AS terungkap bahwa dukungan Amerika kepada Indonesia diawali oleh kunjungan Presiden Soeharto ke AS dan mengadakan pertemuan pada tanggal 5 Juli 1975 di Camp David. Dalam pertemuan ini dibahas berbagai situasi tentang penguatan pengaruh komunis di Indocina dan Asia Tenggara. Dalam diskusi ini presiden Soeharto menekankan pentingnya bagi setiap negara di kawasan memiliki ideologi nasional yang kuat dalam membendung pengaruh komunis yang seringkali dilakukan melalui kegiatan subversi. Untuk itu diperlukan upaya bagi negara-negara dikawasan dalam memperkuat bidang-bidang politik, ekonomi dan militer.
Selanjutnya Presiden Soeharto juga menyatakan bahwa cara terbaik dalam memerangi subversi (komunis) adalah operasi intelijen dan teritorial, sehingga kita dapat mendeteksi secara dini terhadap kegiatan subversi yang dilakukan oleh komunis. Indonesia sangat mengharapkan dukungan dan bantuan AS dalam memperkuat satuan TNI AL dalam mempersiapkan sejenis satuan reaksi cepat, khususnya bantuan kapal-kapal yang akan digunakan untuk memerangi setiap upaya (komunis) dalam melakukan aksinya. Menyinggung perkembangan situasi Timor Timur, Presiden Soeharto antara lain menyatakan bahwa terdapat tiga kemungkinan yaitu: merdeka, tetap di bawah pemerintahan Portugal atau bergabung dengan Indonesia. … Jika mereka (rakyat Timor Timur) menginginkan berintegrasi dengan Indonesia sebagai bangsa merdeka, adalah tidak mungkin karena Indonesia adalah negara kesatuan, jadi hanya satu cara yang dapat ditempuh yaitu berintegrasi kedalam NKRI.[36] Dalam diskusi lebih lanjut tentang Timor Timur Presiden Soeharto menyatakan bahwa:
… The problem is that those who want independence are those who are Communist-influence. This wanting Indonesian integration are being subjected to heavy pressure by those who are almost Communist. … I want to assert that Indonesia doesn’t want to insert itself into Timor self-determination, but the problem is how to manage the selt-determination process with a majority wanting unity with Indonesia. These are some of the problem I wanted to raise on this auspicious meeting with you.[37]
Menyikapi situasi yang semakin tidak kondusif di Timor Timur serta menindaklanjuti kesepakatan Camp David, pada 21 November 1975 Menlu AS Henry Kissinger membuat memorandum bagi Presiden Ford yang akan berkunjung ke Indonesia. Dalam memorandum tersebut, khususnya terkait dengan U.S. Security Assistance to Indonesia diungkapkan bahwa dalam serangkaian konsultasi pada September 1975 dengan telah berlangsungnya kunjungan militer Indonesia ke AS terkait dengan tindak lanjut pertemuan Camp David, Kissinger menyatakan persetujuan AS:
… to provide a modest military packed ($30 million in grants and $12,5 million in credit for total of $42,5 million) of helicopter, ships, communication and radar equipment to meet Indonesia’s primary threat – the sea infiltration of arms – and to maintain more effective control of the archipelago. Since we could not supply all their requirement, we agreed to work with them on a longer term effort to rehabilitate their military forces.[38]
Meskipun Amerika tidak dapat memenuhi permintaan militer Indonesia sepenuhnya sesuai yang telah dijanjikan sebelumnya sebagaimana tersebut di atas, namun kemudian pada tahun 1975 Amerika menjanjikan sekitar $10 juta bantuan militer berupa hibah dan kredit.[39] Dalam kunjungan Presiden Ford dan Menlu Henry Kissinger, kemudian juga terungkap adanya dukungan politis AS pada saat Indonesia menyiapkan penyerangan ke Timor Timur. Dalam kunjungan 2 hari di Jakarta tercatat adanya perbincangan antara Presiden Ford yang didampingi oleh Menlu Kissinger dengan Presiden Soeharto tentang permintaan Indonesia agar AS bersedia memahami rencana penyerangan ke Timor Timur. Presiden Ford menyatakan, “we will understand and will not press you on the issue, we understand the problem you have and the intentions you have.” Selanjutnya diikuti oleh tanggapan yang disampaikan oleh Kissinger, “you appreciate that the use of US-made arms could create problem.”[40]
Dalam pembicaraan selanjutnya terungkap tentang permintaan AS agar serangan Indonesia atas Timor Timur dilakukan setelah Presiden Ford kembali ke tanah air. Dan menjelang akhir pembicaraannya Presiden Soeharto berjanji bahwa tindakannya akan didasarkan pada hukum yang berlaku dan menjamin untuk tidak akan membahayakan kepentingan ekonomi Amerika. Menanggapi hal ini Kissinger menyatakan penghargaannya dan Presiden Ford sekali lagi menyatakan jaminannya bahwa AS memahami situasi ini, meskipun kemudian disusul dengan pernyataan bahwa ia tidak merekomendasikan apapun.[41] Sebuah pernyataan diplomatis yang menunjukkan kearifannya sebagai seorang negarawan yang berusaha bersikap netral, dalam arti ia tidak ingin sikapnya ini mengakibatkan terjadinya polemik di dalam negeri bagi dukungannya terhadap Presiden Soeharto.


[1] George Brown Tindall, op. cit., 201.
[2] Paul F. Gardner, Shared Hopes Separate Fears: Fifty Years of U.S.-Indonesian Relation (Boulder, Colorado: Westview Press, 1997), 10.
[3] Ibid.
[4] Ibid., 34 – 35.
[5] M. Fahlevi, Soedirman & Sudirman (Jakarta: Pusat Sejarah TNI, 2004), 15.
[6] Paul F. Gardner., op.cit., 88.
[7] Ibid., 100.
[8] U.S. Embassy & Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Serikat, op. cit., 1619.
[9] Ibid., 1621.
[10] Timo Kivimaki, US-Indonesian Hegemonic Bargaining Strength of Weakness: US Foreign Policy and Conflict in the Islamic World (London: Ashgate, 2003), 107 – 108.
[11] Embassy of Indonesia Washington DC, “Proposal Amendment U.S. Security Assistance 15 August 1950,” 5 January 1953, TIAS no. 2768, in Amending Agreement of August 15, 1950, U.S. Treaties and Other International Agreements, 114.
[12] American Embassy, “Indonesia Military Assistance,” January 12,1953, TIAS no. 2768 in Amending Agreement of August 15, 1959, U.S. Treaties and Other International Agreements, 115.
[13] Timo Kivimaki, op. cit., 114 – 115.
[14] Hans J. Morgenthau., op. cit., 147 – 149.
[15] Charles J. Kegley and Eugene R. Wittkopf., op. cit., 653 – 54.
[16] Paul F. Gardner., op. cit., 210
[17] Ibid.,78 – 79.
[18] Sample data berbagai jenis peralatan kepolisian dan militer dalam bentuk Military Assistance Program (MAP) Inventory List, sebagaimana pada lampiran 1.
[19] Timo Kivimaki., op.cit., 111 – 112.
[20] Paul G. Gardner., op.cit., 163.
[21] American Embassy & Deplu RI, “Exchange of Notes: Sale of Military Equipment, Materials, and Sevices,” August 13, 1958, TIAS no. 4095, U.S. Treaties and Other International Agreements, 1150.
[22] Paul G. Gardner., op.cit., 172 – 173.
[23] Paul G. Gardner., op.cit., 178.
[24] Ibid., 178 – 179.
[25] Ibid., 265.
[26] Ibid., 286.
[27] Ibid., 246.
[28] Ibid., 163.
[29] Robert Lawless, “The Indonesian Takeover of East Timor,” University of California: Asian Survey, vol. 16, no. 10 (October 1976): 950., 2 December 2009 <http://www.jstor.org/stable/ 2643535>.
[30] Paul F. Gardner., op. cit., 285.
[31] Ibid., 286
[32] Noam Chomsky, “East Timor Retrospective,” Le Monde diplomatique (October 1999)., 20 January 2009 <http://www.chomsky.info/articles/199910--,htm>.
[33] Robert Lawless, op. cit., 963.
[34] Paul F. Gardner, op. cit., 266.
[35] Robert Lawless, op. cit., 963.
[36] William Burr and Michael L, Evans, ed., “Memorandum of Conversation President Ford with President Soeharto in Laurel Cabin, Camp David, Maryland, July 5, 1975,” in East Timor Revisited: Ford and Kissinger Gave Green Light to Indonesia’s Invasion of East Timor, 1975, 3–6 [National Security Archieve Electronic Briefing Book, no.62]., 21 March 2009 <http://www.gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB62/…>.
[37] Ibid., 6
[38] William Burr and Michael L. Evans, ed., “Memorandum for the President,” in East Timor Revisited: Ford and Kissinger Gave Green Light to Indonesia’s Invasion of East Timor, 1975, 9 [National Security Archieve Electronic Briefing Book, no.62]., 21 March 2009 <http://www. gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB62/…>.
[39] Ibid.
[40] William Burr and Michael L. Evans, ed., “Telegram US Embassy Jakarta to Secretary of State,” in East Timor Revisited: Ford and Kissinger Gave Green Light to Indonesia’s Invasion of East Timor, 1975, paragraf 42 – 43 [National Security Archieve Electronic Briefing Book, no.62]., 21 March 2009 <http://www.gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB62/…>.
[41] Ibid., paragraf 59.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar