Beranda | Buku/Sinopsis | Bab 1 | Bab 2 | Bab 3 | Bab 4 | Bab 5 | Daftar Referensi | Tentang Penulis | Beranda
BAB 3
KEBIJAKAN AS TERHADAP PENYATUAN TIMOR TIMUR
DENGAN INDONESIA
3.1. Kepentingan AS dalam U.S. Security Assistance terhadap Indonesia
Deklarasi
kemerdekaan Amerika yang ditulis oleh Thomas Jefferson antara lain
mengadopsi teori kontrak pemerintahan John Locke, yang selanjutnya
dirumuskan oleh Jefferson dalam suatu kalimat yang menggambarkan sebuah
keinginan luhur bangsa Amerika pada masa itu, dan sekaligus dijadikan
landasan falsafah kenegaraan oleh bangsa Amerika dari generasi ke
generasi. ...that governments derived
“their just Powers from the consent of the people,” who were entitled to
“alter or abolish” those which denied their “unalienable right” to
“life, Liberty, and the pursuit of Happiness.”...[1] Dengan rumusan teks deklarasi kemerdekaan tersebut “the founding father” bangsa
Amerika menyadari benar bahwa pembentukan sebuah negara didasarkan pada
kekuasaan yang diberikan oleh rakyatnya, dan sebaliknya kekuasaan yang
diperoleh harus menjamin hak-hak setiap warga negaranya untuk memperoleh
penghidupan yang layak, kebebasan menjalankan aktivitasnya serta dalam
mencapai kebahagiaan.
Dengan
demikian pemerintah Amerika memberikan keleluasaan bagi setiap warga
negaranya untuk menjalankan bisnis yang secara berjenjang akan berdampak
bagi penciptaan peluang kerja dan kemudian berkembang menjadi
korporasi, menggerakkan ekonomi masyarakat dan pada gilirannya akan
menopang perekonomian negara. Untuk menggerakkan dan meningkatkan
perekonomian nasional, pemerintah Amerika menerbitkan berbagai regulasi
yang memungkinkan terciptanya ekspansi ekonomi yang secara bersamaan
dimanfaatkan untuk menyebarkan demokrasi dan kapitalisme ke seluruh
penjuru dunia. Asia Pasifik dan khususnya Asia Tenggara termasuk
Indonesia tidak luput dari sasaran Amerika dalam hal ekspansi ekonomi.
Indonesia
sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki potensi besar dalam
hal sumber daya alam dan sumber daya manusia yang relatif murah
merupakan prospek yang belum dieksploitasi oleh para pengusaha Amerika
untuk menanamkan investasinya. Investasi awal pada dasarnya telah
dilakukan oleh bangsa Amerika bahkan sejak Indonesia masih berada dalam
penjajahan Belanda. Pada tahun 1910 – pada saat karet menjadi salah satu
primadona komoditi perdagangan internasional dengan semakin maraknya
berbagai industri manufaktur dan industri otomotif – para pengusaha
Amerika telah berhasil memasuki industri karet Indonesia sebagai mitra
para pengusaha Belanda yang usaha bisnisnya didaftarkan di Belanda.
Kemitraan ini adalah Perusahaan Perkebunan Belanda-Amerika, yang mana
perusahaan-perusahaan karet Amerika mempunyai saham terbesar dan bahkan
menjadi perkebunan karet terbesar di dunia. Hal ini antara lain
disebabkan oleh upaya seorang botanis Amerika, Dr. Carl La Rue dalam
pengembangan teknik pencakokkan pucuk yang membawa perubahan besar dalam
industri karet.[2]
Selanjutnya pada tahun 1920 perusahaan minyak Amerika, Standard Vacuum
berhasil masuk ke Hindia Belanda, setelah pemerintah Amerika melakukan
tekanan kepada Belanda, karena sebelumnya pemerintah Belanda sangat
membatasi masuknya investor minyak asing. Pada tahun 1935 sebuah
perusahaan minyak lainnya, Standard Vacuum of California (Socal),
diijinkan beroperasi di Hindia Belanda dengan syarat-syarat yang sangat
ketat. Richard Hooper, seorang geolog yang berkarir di Indonesia selama
lima belas tahun pernah menulis:
Socal, now known as Chevron, obtain permission to send six geologists, headed by Emerson M. Butterworth, to the Netherlands East Indies in 1924 to survey oil prospects. By 1930, they had pinpointed two areas worth prospecting, in southeast Borneo and in northwest New Guinea but only in partnership with Shell and Standard Vacuum. In lieu of the Borneo site, it offered Central Sumatra, with the prominent Dutch geologist. L.T.C. van Es had found to have no prospects for oil. Socal’s headquarters in San Francisco
said “go to hell with it” but finally gave in to Butterworth pleas to
accept the offer and continue prospecting. In 1939, the year of my
arrival, we discovered a small field northwest Minas in central Sumatra. I recommended Minas as an area of considerable promise. After the war, Minas was discovered to be the largest field in Southeast Asia. An American company was able to develop it because the Dutch had been certain it did not exist.[3]
Karet
dan minyak bumi akan bisnis yang sangat prospektif pada saat itu. Untuk
karet pada saat itu benar-benar merupakan produk yang belum tersaingi
oleh produk karet sintetis, yang menjadi bahan baku yang sangat
dibutuhkan untuk berbagai produk permesinan yang digunakan sebagai bahan
penyekat (seal) pada bagian-bagian utama peralatan permesinan
yang berputar dengan bantuan pelumasan. Di samping itu, karet juga
merupakan bahan dasar ban-ban mobil serta berbagai komponen penting
untuk peralatan persenjataan/militer. Sementara untuk tambang-tambang
minyak bumi, dari dahulu hingga saat ini masih menjadi bahan dasar
berbagai produk bahan bakar, terutama pada saat itu, yang mana Amerika
yang telah menjadi raksasa industri tidak dapat melepaskan
ketergantungan dari kontinuitas suplai bahan bakar. Terlebih dengan
potensi kandungan minyak terbesar di kawasan Asia Tenggara, menjadikan
bisnis minyak Amerika di Hindia Belanda sebagai salah satu andalan
kelangsungan pasokan energi bagi industri Amerika. Sehingga tidak heran
dalam era perebutan pengaruh antara Amerika dan demokrasi serta
kapitalismenya dengan Soviet dan komunismenya yang semakin memuncak
dengan terjadinya Perang Dingin, Amerika memiliki kepentingan ekonomi
yang tidak kecil di Hindia Belanda. Dan kepentingan tersebut tetap
dipertahankan manakala Indonesia telah mendapatkan kemerdekaannya.
Kepentingan
ekonomi yang sangat vital tersebut membuat Amerika berada dalam
kebimbangan ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, sementara
Belanda masih berupaya mempertahankan bekas koloninya yang berjuang
dengan keras mempertahankan kemerdekaannya. Kebimbangan tersebut
mendorong Amerika tidak gegabah untuk langsung memberikan pengakuannya
terhadap kemerdekaan Indonesia. Hal ini disebabkan Amerika masih ada
ikatan moral dengan Belanda sebagai salah satu negara Eropa yang menjadi
sekutunya pada saat berperang. Lebih dari itu, Amerika juga memberikan
bantuan ekonomi kepada Belanda yang mana bantuan tersebut antara lain
digunakan untuk membiayai operasinya di Indonesia.
Amerika
mulai gamang manakala pengaruh komunis mulai menguat di Indonesia di
satu sisi, dan di sisi lain melihat sepak terjang Belanda yang tidak mau
menerima permintaan Amerika untuk memberikan kesempatan bagi Indonesia
menghirup udara kemerdekaan. Berbagai langkah mediasi yang dilakukan
Amerika untuk menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda pasca kemerdekaan
Indonesia, baik melalui persetujuan Linggarjati (11 November 1946)
maupun mediasi di Kapal U.S.S. Renville (17 Februari 1948) yang berlabuh di Tanjung Priok tidak ditanggapi dengan serius oleh Belanda.
Ketika
suasana konflik Indonesia-Belanda memanas, demi melindungi
kepentingannya, Deplu AS secara bersamaan mengirimkan pesan secara
terpisah, baik kepada Indonesia maupun Belanda agar memberikan jaminan
bahwa warganegara dan aset mereka di lapangan minyak Sumatra bagian
Selatan akan dilindungi sekiranya terjadi bentrokan bersenjata di antara
keduanya.[4] Konflikpun
pecah, pada 20 Juli 1947 Belanda melakukan aksi polisionil (agresi) nya
yang pertama dan pasukan Belanda sempat menguasai Sumatra dan sebagian
Jawa, kecuali Jawa Tengah dan Jogyakarta yang dijadikan pusat
pemerintahan sementara dan dikawal TNI dengan sangat ketat. Aksi Belanda
ini justru telah menjatuhkan citranya sendiri di dunia internasional.
Pada
19 Desember 1948 Belanda kembali melakukan aksi polisionil kedua
terhadap Jogyakarta. Aksi tersebut dilakukan setelah bangsa Indonesia
baru saja berhasil menumpas pemberontakan PKI Muso di Madiun yang
dilancarkan pada 18 September 1948. Merespon agresi tersebut TNI
melakukan perlawanan melalui perang gerilya selama 7 bulan di bawah
pimpinan Jenderal Soedirman yang sedang sakit.[5]
Pada 19 Desember 1948, AS dan Australia mendesak diadakan sidang Dewan
Keamanan PBB. Dewan Keamanan PBB mengeluarkan usulan Konferesi Meja
Bundar untuk mengakhiri konflik RI-Belanda. Belanda tidak menggubris,
hingga Menlu AS yang baru Dean Acheson memberikan pernyataan keras
kepada Belanda yang antara lain berisi ancaman bila Belanda tidak
bersedia menyelesaikan konflik dengan Indonesia maka AS akan
menghentikan dana bantuan militer bagi Belanda. Bahkan kemudian Acheson
menekankan bahwa pemulihan pemerintahan Republik Indonesia di Jogyakarta
merupakan inti persoalan dan bahwa pasukan-pasukan Belanda harus
ditarik mundur dari Jogyakarta dan wilayah sekitarnya.[6]
Campur
tangan Acheson memberikan perubahan yang signifikan bagi kebijakan
Belanda yang akhirnya menyetujui diselenggarakannya Konferensi Meja
Bundar di Den Haag Belanda. Konferensi ini berlangsung cukup sengit dan
berlangsung dari tanggal 23 Agustus 1949 dan baru berakhir pada tanggal 2
November 1949. Itupun masih menyisakan bom waktu tentang status Irian
Barat. Setelah berakhirnya Konferensi Meja Bundar, AS secara resmi
memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan Republik Indonesia melalui
surat yang disampaikan oleh Presiden Truman yang dibawa langsung oleh
Merle Cochran yang ditunjuk sebagai Dubes AS pertama di Indonesia.
Tepatnya pada tanggal 28 Desember 1949. Bantuan ekonomi dan militer
mulai diberikan kepada Indonesia.
Kepentingan
global AS pada era Perang Dingin di Indonesia tidak berhenti sampai
pada pengakuan kemerdekaan RI, di mana kepentingan ekonomi AS berada
didalamnya. Ancaman global bagi kepentingan Amerika pada saat itu
terutama bagaimana Amerika berupaya membendung penyebaran komunisme di
seluruh dunia. Kebijakan pembendungan komunis Truman yang
diimplementasikan melalui kebijakan luar negerinya juga tidak terlepas
dari upaya membendung penyebaran komunisme di Asia Pasifik dan Asia
Tenggara termasuk Indonesia.
Kakhawatiran
Amerika terhadap pemerintah Republik Indonesia datang dari kebijakan
luar negeri pemerintah Indonesia yang mencanangkan “politik bebas aktif”
di satu sisi, dan adanya kebijakan Presiden Soekarno yang akomodatif di
sisi lain, termasuk memberi keleluasaan bagi berkembangnya PKI,
meskipun partai ini telah mengkhianati bangsa Indonesia melalui
pemberontakan Madiun. Kebijakan ini ternyata pada saatnya telah mampu
memberikan bargaining position bagi pemerintah Indonesia pada
saat perebutan Irian Barat yang tidak didukung oleh AS. Sementara dengan
kebijakan politik bebas aktif serta tetap diakomodasikannya partai
komunis memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi Indonesia meminta
dukungan Soviet.
Sebelum
sampai pada perebutan Irian Barat (1962), pemerintah AS melalui
Dubesnya di Indonesia berupaya mempengaruhi pemerintah Indonesia dengan
cara memancing Indonesia memasuki persekutuan keamanan bersama di
kawasan dalam upaya membendung komunis. Deplu AS meminta Dubes Cochran
untuk membujuk Hatta menandatangani bantuan militer dengan syarat
Indonesia ikut aktif mendukung blok Barat dalam membendung penyebaran
komunis di Asia Tenggara. Pada saat tersebut bangsa Indonesia yang baru
merdeka memang tidak dapat menghindari bantuan Amerika baik bantuan
ekonomi maupun militer. Pada saat Indonesia mengajukan bantuan militer
itulah Deplu AS melalui Dubesnya berupaya memanfaatkan kesempatan untuk
memasukkan persyaratan bagi kesediaan Indonesia memasuki persekutuan
keamanan bersama AS dalam membendung komunis di Asia Tenggara. Dubes
Cochran telah mengenal para tokoh kunci bangsa Indonesia dan menyadari
benar tentang prinsip kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas aktif,
melalui negosiasi yang cukup ketat akhirnya Cochran dan Hatta melakukan
penandatangan dokumen perjanjian rahasia yang telah dimodifikasi dari
draft sebelumnya tentang dukungan U.S. Security Assistance pada tanggal 15 Agustus 1950, yang utamanya ditekankan pada bantuan kepolisian.[7]
Dalam Nota Diplomatik yang ditandatangi oleh Dubes AS, H. Merle Cochran ini antara lain dinyatakan bahwa:
The
United States of America and the Republic of the United States of
Indonesia mutually undertake that such assistance as may be furnished by
the United Stated of America to the Republic of the United States of
Indonesia agree this program shall be utilized solely for the
maintenance of an effective constabulary and for the carrying out of the
purpose of such constabulary. [8]
Sementara
Nota Diplomatik yang ditandatangani Hatta yang pada saat itu bertindak
sebagai Perdana Menteri dan sekaligus merangkap sebagai Menlu Indonesia
antara lain dinyatakan bahwa:
The
Government of the Republic of the United States of Indonesia undertake
not to transfer, without the prior consent of the Government of the
United States of America, tide to or possession of any equipment,
material, or service which are received pursuant of paragraph 2 above,
or which are substitutable for, or similar in category to the equipment,
material, or services so received.[9]
Paragraf
2 yang dimaksud adalah pernyataan yang sama dengan yang tertera pada
nota diplomatik yang ditandatangani oleh Dubes AS tersebut di atas.
Dari isi exchange of notes tersebut di atas dapat disimak bahwa
yang dimaksud bantuan militer tersebut di atas pada dasarnya ditujukan
untuk memperkuat kepolisian RI, dan Indonesia tidak diijinkan untuk
memindahtangankan kepemilikan bantuan tersebut kepada pihak ketiga tanpa
memperoleh persetujuan pemerintah AS.
Ketika
proses bantuan tersebut sedang berlangsung terjadi perubahan kabinet.
Pada dasarnya kabinet baru yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sukiman
dan Menlu Subarjo secara personal mendukung bantuan militer yang telah
disepakati sebelumnya secara rahasia oleh Hatta-Cochran. Ketika
kabinet baru ini – yang tidak didukung sepenuhnya oleh anggota kabinet
dalam menyikapi perjanjian rahasia ini – membuka bantuan ini ke Sidang
Perlemen dalam rangka memperoleh ratifikasi, justru yang terjadi adalah
ditolaknya perjanjian bantuan militer tersebut. Tidak disetujuinya
bantuan ini oleh Parlemen tentu saja membuat Amerika merasa dipermalukan
dan kejadian ini oleh Ida Anak Agung Gde Agung – yang menjabat sebagai
Menlu RI pada tahun 1955-1956 – disebut sebagai Cochran Affair.[10]
Menyikapi
bantuan tersebut, dalam perkembangan politik di Indonesia yang mulai
marak menentang kehadiran Amerika khususnya oleh partai komunis, telah
memaksa Menlu RI memerintahkan Dubes Indonesia di Washington DC untuk
menerbitkan surat kepada Dubes AS di Jakarta. Pada tanggal 5 Januari
1953 surat dimaksud ditulis, yang antara lain dinyatakan bahwa bantuan
militer yang diperuntukkan bagi kepolisian RI berdasarkan perjanjian
rahasia Cochran-Hatta apabila tidak lagi diperlukan, pemerintah
Indonesia akan menawarkan untuk mengembalikan bantuan tersebut kepada
pemerintah Amerika. Kutipan surat dimaksud antara lain berbunyi:
…, has the honor to propose that the undelivered balance of constabulary equipment authorized under the agreement of August 15, 1950
be converted from a grant to an aid on a reimbursable basis. Equipment
and material which have been provided on a grant basis under the
Constabulary Agreement of August 15, 1950 will be retained by the
Government of the Republic of Indonesia on the term and conditions
contained in that agreement so long as required for the purpose for
which originally made available and, if no longer required for this
purpose, they will be offered for return to the Government of the United
Stated.[11]
Menanggapi
surat tersebut di atas Dubes AS memberikan jawaban dan menyetujui usul
yang disampaikan oleh Dubes RI di Washington DC melalui surat tertanggal
12 Januari 1953 yang dialamatkan kepada Menlu RI yang pada saat itu
dijabat oleh Mukarto Notowidagdo. Dalam suratnya tersebut Dubes AS
antara lain menulis:
…
to inform you that the Government of the United States of America
accepts the above proposal and agrees that the Indonesian Ambassador’s
note of January 5, 1953 and this note of acceptance constitute an
agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the
United States of America effective on the date of this note.[12]
Nota
diplomatik tersebut di atas pada dasarnya merupakan amandemen terhadap
perjanjian tanggal 15 Agustus 1950. Dengan adanya nota diplomatik antara
kedua pemerintahan ini, pemerintah AS menjadi lebih khawatir, terlebih
dengan adanya penguatan pengaruh komunis terhadap pemerintah Indonesia
dan ditambah dengan penolakan Indonesia dalam pembentukan pakta
pertahanan di Asia Tenggara (SEATO) pada 6 September 1954 sebagaimana
yang telah dibentuk di Eropa (NATO). Pembentukan SEATO dimaksudkan untuk
membendung penyebaran komunisme di Asia Tenggara yang menjadi ancaman
global AS pada saat berlangsungnya Perang Dingin.
Pasca
Pemilihan Umum di Indonesia 1955, pengaruh PKI semakin menguat ditambah
dengan kebijakan Presiden Soekarno yang mendukung langkah pimpinan PKI
untuk mengambil aset-aset Belanda di Indonesia, sementara tindakan ini
ditentang oleh Hatta, Jenderal Nasution selaku Kepala Staf TNI Angkatan
Darat (KASAD) serta beberapa pemimpin Indonesia lainnya. Situasi ini
memaksa AS melancarkan operasi rahasia melalui CIA yang mendukung
gerakan anti Komunis PRRI/Permesta di Sumatera dan Manado yang berupaya
menjatuhkan Presiden Soekarno yang dianggap pro-Komunis. Dalam gerakan
ini Menlu Dulles sempat membujuk KASAD Jenderal Nasution untuk mendukung
PRRI/Permesta. Jenderal Nasution menolak dan tetap mendukung
pemerintahan yang sah di bawah kepemimpinan Soekarno. Dubes AS di
Jakarta yang pada saat itu dijabat oleh Allison menyatakan pengunduran
dirinya karena tidak mendukung kebijakan yang diambil oleh Menlu Dulles
yang ingin menjatuhkan pemerintahan Presiden Soekarno.[13]
Pemberontakan PRRI/Permesta meletus pada 8 Februari 1958 dengan
dukungan Amerika melalui CIA, dapat ditumpas oleh TNI dengan cepat.
Sungguh,
Amerika memiliki kepentingan yang besar baik dari aspek ekonomi maupun
aspek keamanan global dari ancaman komunis yang mempengaruhi pemerintah
Indonesia. Pada awal kemerdekaan Indonesia, Amerika berada pada suatu
persimpangan jalan yang sulit menghadapi perkembangan politik di
Indonesia. Bahkan kekhawatiran yang berlebihan telah membuat Amerika
berusaha melakukan aksi regime change terhadap pemerintahan
Soekarno yang mendukung komunisme, melalui operasi CIA yang mendukung
gerakan anti komunis PRRI/Permesta. Dalam situasi yang tidak menentu di
Indonesia tersebut, bantuan ekonomi tetap diberikan, disertai dengan
bantuan militer/kepolisian yang merupakan bagian dari skema umum dalam
penerapan kebijakan pembendungan melalui U.S. Security Assistance.
3.2. Arti pentingnya U.S. Security Assistance bagi Indonesia
Beberapa
ahli hubungan internasional mendefinisikan bahwa kepentingan nasional
suatu bangsa akan terkait erat dengan masalah internal dan masalah
eksternal. Hans J. Morgenthau menyampaikan pandangan bahwa konsep
kepentingan nasional pada dasarnya terdiri dari dua elemen, yang pertama
didasarkan pada pemenuhan kebutuhan sendiri, dan yang kedua
mempertimbangkan berbagai kondisi lingkungan strategis disekitarnya.
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan sendiri, dapat di peroleh dengan cara
melindungi kelangsungan hidup bangsa dalam mempertahankan kedaulatan
integritas wilayah nasional, sistem politik, dan identitas budaya dari
ancaman bangsa lain. Adapun pertimbangan adanya berbagai kondisi
lingkungan strategis adalah dengan menjalankan kebijakan politik luar
negeri melalui upaya diplomasi demi terciptanya perdamaian dunia.[14]
Sementara
Charles W. Kegley dan Eugene R. Wittkopf menyatakan bahwa kepentingan
nasional dari sebuah negara hendaknya tidak hanya didasarkan pada
peningkatan kesejahteraan internal bagi setiap warganegaranya,
menyediakan pertahanan terhadap agresi dari luar, dan melindungi
nilai-nilai negara dan falsafah hidup (way of life), namun juga harus dikaitkan dengan upaya kerjasama dengan banyak bangsa untuk menciptakan kesejahteraan dan keamanan global.[15]
Para
pendiri bangsa Indonesia dalam menyusun UUD 45, juga memperhatikan
kaidah-kaidah universal dalam merumuskan kepentingan nasional
sebagaimana yang dirumuskan oleh para ahli hubungan internasional.
Pembukaan yang mengantar pasal-pasal didalam UUD 45 yang merumuskan
kepentingan nasional tersebut juga tidak terlepas dari kaidah-kaidah
universal dimaksud. Hal ini nampak dengan jelas pada Pembukaan UUD 45
pada alinea 4 yang berbunyi: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, (2) dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Pasca
kemerdekaan, bangsa Indonesia menghadapi berbagai situasi yang tidak
kondusif, antara lain adanya upaya-upaya gangguan keamanan yang
dilakukan oleh PKI, pemberontakan PRRI/Permesta yang merupakan gerakan
anti-komunis dukungan CIA, persoalan Belanda yang masih berupaya untuk
meruntuhkan Republik Indonesia dengan aksi polisionil (agresi militer) I
dan II, operasi Trikora dalam rangka penyatuan Irian Barat, dan operasi
Komodo/Seroja guna menyatukan Timor-Timor ke wilayah NKRI.
Sebagai
negara yang baru merdeka, Indonesia dituntut adanya peran aktif dalam
percaturan internasional, menjamin kesejahteraan dan keamanan bagi
seluruh bangsa, serta tekad untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Indonesia menyadari betul bahwa dalam percaturan internasional tidak
mungkin bangsa Indonesia menjadi pasif. Oleh karena itu, pada saat Hatta
menjadi Perdana Menteri dengan bekal pemahaman yang luas dibidang
percaturan internasional, ia tidak menghendaki Indonesia ikut serta
memasuki salah satu diantara dua blok yang saat itu terlibat dalam
konflik global Perang Dingin. Hatta memutuskan keikutsertaan Indonesia
dalam percaturan di kancah internasional dengan menerapkan kebijakan
“politik bebas aktif”.
Keputusan ini tidaklah mudah. Dua super power
dunia saling berupaya menarik Indonesia untuk menjadi sekutu dalam
pertempuran mereka, antara demokrasi dan kapitalisme Barat dengan
komunisme. Tarik menarik pengaruh ini tidak urung sempat mewarnai proses
kebijakan luar negeri Indonesia. Dan sejarah telah mencatat bahwa
Presiden Soekarno sempat berupaya membelokkan arah kebijakan tersebut ke
arah blok komunis. Kebijakan pembelokan ini berpuncak pada tahun 1965
pada saat Soekarno menyampaikan pidato dalam rangka perayaan HUT
Kemerdekaan dengan mengumumkan “kebijakan Poros Jakarta – Phnom Penh –
Hanoi – Peking – Pyongyang.”[16]
Namun sejak awal para pemimpin bangsa Indonesia yang lain berusaha
tetap bertahan dengan kebijakan luar negeri bebas aktif, khususnya dari
kelompok TNI AD yang mencoba mengimbangi dengan tetap melakukan
persahabatan dengan pihak AS, antara lain dengan tetap menerima
program-program U.S. Security Assistance dalam bentuk International Military Education Training (IMET) dan Military Assistance Program (MAP). Dengan
kebijakan bebas aktif ini pada saat Indonesia menghadapi
situasi-situasi yang mempertaruhkan kepentingan nasional, para pemimpin
bangsa Indonesia mampu memilah dan memilih kebijakan yang paling tepat
demi mempertahankan dan memperjuangkan kepentingan nasional.
U.S. Security Assistance termasuk
yang mewarnai kehidupan bangsa Indonesia, dalam mana bantuan ekonomi
dan militer dari Amerika secara riil dan intensif diberikan segera
setelah Amerika memberikan pengakuan terhadap eksistensi bangsa
Indonesia pada awal tahun 1950 seusai Konferensi Meja Bundar, yang
memupuskan usaha-usaha Belanda untuk kembali menguasai wilayah bekas
koloninya yang kaya akan sumber daya alam. Meskipun secara de jure
Amerika memberikan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia pasca
Konferensi Meja Bundar, sejarah juga mencatat peran Amerika terhadap
upaya Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan
Belanda. Konflik RI-Belanda rasanya tidak akan terselesaikan dalam waktu
singkat tanpa campur tangan dan mediasi Amerika. Bahkan Belanda mulai
melunakkan kebijakan atas agresinya (aksi polisionil) yang ke II kepada
Indonesia, berkat intervensi Menlu AS, Dean Acheson.
Namun
walau bagaimana pun, bangsa Indonesia adalah bangsa yang berdaulat
semenjak proklamasi dicanangkan. Seberapa pun besarnya jasa Amerika
terhadap bangsa Indonesia, maka tidaklah ada keharusan moral bagi bangsa
Indonesia untuk selalu menggantungkan nasibnya pada bangsa Amerika.
Atau dengan kata lain, tidak seharusnya dengan mudah Indonesia mengikuti
semua kemauan politik Amerika. Sejauh ajakan tersebut tidak
bertentangan dengan kepentingan bangsa Indonesia, maka tidak ada
salahnya ajakan tersebut diikuti. Namun sebaliknya, apabila ajakan
tersebut justru akan membawa bangsa Indonesia terseret dalam arus yang
tidak menentu dan ada kepentingan nasional yang dipertaruhkan, maka
tidak ada salahnya bagi Indonesia menolak atau setidak-tidaknya menunda
mengikuti ajakan tersebut.
Untuk
mempertahankan kepentingan nasional tersebut, antara lain pada tahun
1948 setelah meletusnya pemberontakan komunis di Madiun, Indonesia
berunding dengan Amerika untuk dapatnya memperoleh bantuan kepolisian
berupa senjata dan perlengkapan bagi 10.000 personil.[17]
Dan permintaan bantuan tersebut baru direalisasikan pada tanggal 15
Agustus 1950 melalui pertukaran nota diplomatik yang dilakukan secara
rahasia. Terlepas persoalan ini kemudian menjadikan suatu preseden buruk
bagi kedua belah pihak dengan tidak lolosnya proses ratifikasi oleh
parlemen Indonesia pada waktu itu, hingga memunculkan Cochran Affair, namun bantuan tersebut tetap berlangsung, meskipun agreement nya kemudian diamandemen pada tanggal 12 Januari 1953.[18]
Permintaan
bantuan militer selanjutnya diajukan kepada Amerika pada Mei 1957 untuk
keperluan meningkatkan kemampuan TNI dalam menjaga keamanan dalam
negeri (self-defence) dari berbagai kemungkinan aksi komunis.[19]
Permintaan bantuan inipun segera direalisasikan, antara lain adanya
peningkatan jumlah program bantuan militer yang pada tahun fiskal 1958
bernilai $7,3 juta menjadi $22 juta pada tahun fiskal 1959 dan 1960.
Dalam waktu 6 bulan, 21 batalyon TNI dengan jumlah prajurit sekitar
16.000 orang, telah diperlengkapi dengan senjata-senjata Amerika.[20]
Penerimaan bantuan yang diberikan pada tahun 1958 sebagian diantaranya berupa kredit Foreign Military Sales (FMS). Untuk
merealisasikan pembelian ini pada tanggal 13 Agustus 1958, kedua belah
pihak (Indonesia dan AS) telah menandatangi sebuah dokumen Sale of Military Equipment, Materials and Services. Dalam dokumen ini antara lain disebutkan:
(A)
Any weapons or other military equipment of services purchased by the
Government of Indonesia from the Government of the United States shall
be used by the Government of Indonesia solely for legitimate national
self-defense, and it is self-evident that the Government of Indonesia,
as a member of the United Organization, interprets the term legitimate
national self-defense within the scope of the United Nation Charter as
excluding an act of aggression against any other state.
(B) Any weapons or other military equipment or services purchased by the Government of Indonesia from the Government of the United States shall not be sold or otherwise disposed of to third parties.[21]
Menjelang
berakhirnya tahun 1960 terjadi pergantian presiden Amerika dari
Eisenhower (Republik) ke John F. Kennedy (Demokrat). Perubahan ini
berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia,
khususnya dalam menyikapi konflik Irian Barat.[22]
Pada sekitar awal tahun 1961 ketika Indonesia mengajukan bantuan
militer untuk merebut Irian Barat – yang tetap di bawah penguasaan
Belanda seusai Konperensi Meja Bundar – permintaan tersebut ditolak oleh
Presiden Kennedy. Penolakan ini dipengaruhi oleh adanya perubahan
kebijakan tersebut di atas. Akhirnya demi kepentingan nasional,
Indonesia meminta bantuan kepada Soviet. Soviet nampaknya memanfaatkan
momentum permintaan bantuan Indonesia ini dengan sangat baik. Soviet di
bawah kepemimpinan Khurschev bersedia memberikan bantuan berupa kontrak
pengadaan perlengkapan militer senilai US$600 juta.[23]
Disinilah
letak fleksibilitas kebijakan politik luar negeri bebas aktif yang
dianut oleh Indonesia dimanfaatkan secara optimal oleh Presiden
Soekarno, yang nampaknya juga mengikuti paham pragmatisme Amerika.
Dengan tetap mengakomodasi PKI ia dengan sangat leluasa melakukan
kontak, baik dengan Cina maupun Soviet, sehingga pada saat kritikal di
mana Indonesia akan melancarkan operasi Trikora dengan menyatukan Irian
Barat ke wilayah NKRI, dengan sangat mudah Indonesia memperoleh bantuan
militer dari Soviet, manakala Amerika dengan kepemimpinan Kennedy tidak
bersedia memberikan bantuan militer.
Meskipun
Kennedy menolak untuk memberikan bantuan militer, namun sepertinya
tidak bermaksud menghentikan langkah Indonesia menyatukan Irian Barat ke
dalam wilayah NKRI. Bahkan ketika Belanda meminta dukungan Amerika
tentang konfliknya dengan Indonesia, Amerika tidak juga menanggapinya.
Dalam kasus ini Amerika nampaknya ingin bersikap netral dan kembali
berupaya menjadi mediator bagi penyelesaian krisis Irian Barat. Namun
mediasi Amerika tidak membuahkan hasil. Pada tahun 1962 operasi Trikora
di bawah Komando Mandala Mayjen TNI Soeharto digelar dan akhirnya
berhasil membebaskan Irian Barat dari pendudukan Belanda. Konflik
RI-Belanda tentang Irian Barat berakhir dengan ditandatanganinya
perjanjian Irian Jaya oleh pihak RI dan Belanda di PBB pada tanggal 15
Agustus 1962. Setelah krisis Irian Jaya berakhir, Amerika kembali
memberikan bantuan ekonomi kepada Indonesia dalam rangka mempersempit
pengaruh Soviet yang telah memberikan bantuan yang jumlahnya sangat
signifikan. Bantuan militer Soviet kepada Indonesia di akhir tahun 1962
diperkirakan sebesar US$1,3 milyar. Sementara bantuan militer yang
diberikan Amerika kepada Indonesia hanya bernilai kurang dari seperempat
belas atau senilai kurang dari US$93 juta.[24]
Tragedi
30 September 1965, merupakan sejarah kelabu bagi Indonesia di mana PKI
berusaha melakukan pemberontakan untuk menghancurkan falsafah dasar bagi
bangsa Indonesia yakni Pancasila dan menggantikannya dengan komunisme.
Peristiwa berdarah telah membawa korban para petinggi TNI, termasuk
Kasad Jenderal TNI A.Yani yang selama ini membaktikan darmanya bagi
tetap tegaknya negara kesatuan RI di bawah azas Pancasila. Langkah
komunis ini akhirnya gagal total setelah Panglima Kostrad, Letjen TNI
Soeharto mengambil alih pimpinan TNI AD dan melakukan tindakan-tindakan
yang diperlukan guna mengendalikan situasi keamanan. Peristiwa
pemberontakan G 30 S/PKI ini luput dari pengamatan
AS, sehingga AS sempat kehilangan momentum pada saat itu. Bahkan
kemunculan Soeharto di saat-saat kritis melumpuhkan aksi G 30 S/PKI
benar-benar diluar perhitungan AS, sebab selama ini tokoh-tokoh TNI yang
sering berkomunikasi dengan AS adalah Jenderal Nasution serta beberapa
jenderal TNI AD yang sejak awal menentang komunis dukungan presiden
Soekarno.
Perkembangan
situasi yang terjadi begitu cepat membuat Amerika terperangah untuk
beberapa saat, dan bantuan keamanan untuk sementara terhenti, meskipun
untuk beberapa waktu kemudian bantuan ekonomi mulai diberikan guna
membenahi perekonomian Indonesia yang sempat ambruk. Pada tahun 1969
bantuan militer kembali diberikan seiring dengan bantuan ekonomi, dengan
demikian U.S. Security Assistance kembali diberikan. Momentum ini terjadi seusai Presiden Richard M. Nixon kembali dari suatu perjalanan ke Asia dalam pesawat Air Force One pada Juni 1969. Kebijakan Nixon ini disampaikan secara langsung kepada Dubes AS di Jakarta Marshall Green.[25] Sejak saat itu hubungan bilateral Amerika – Indonesia mulai membaik.
Pada
tahun 1975 pemerintah Indonesia mulai resah dengan masalah Timor Timur
dan memutuskan untuk mendukung kelompok pro-integrasi yang menentang
kemerdekaan Timor Timur yang digagas oleh Partai Komunis Fretilin. Pada
saat persiapan serangan ke Timor Timur Indonesia meminta dukungan AS,
Presiden Ford yang didampingi Menlu Kissinger yang datang ke Indonesia
memberikan dukungan dengan pesan yang disampaikan oleh Menlu Kissinger
agar Indonesia tidak menggunakan senjata Amerika dalam penyerangan
tersebut. Kissinger feared at the time that possible use of U.S.-made arms in this East Timor operation might cause problems in Congress.[26] Alasan mengapa AS mendukung kebijakan Indonesia mengintegrasikan Timor Timur, hal ini akan dibahas lebih lanjut pada sub-bab selanjutnya.
3.3. Keselarasan kepentingan AS dengan kepentingan nasional Indonesia dalam U.S. Security Assistance
U.S. Security Assistance yang
diberikan kepada negara-negara berkembang dalam rangka penerapan
kebijakan pembendungan, dalam mekanismenya dilakukan melalui prosedur
dalam mana bantuan dimaksud diusulkan oleh Pemerintah – yang dalam hal
ini oleh U.S. Department of Defense – kepada komisi hubungan luar
negeri Kongres AS. Salah satu persyaratan pokok yang ditetapkan oleh
Kongres adalah bahwa bantuan keamanan tersebut benar-benar digunakan
dalam rangka membantu negara berkembang yang berjuang melawan komunisme.
Persyaratan pokok lainnya adalah U.S. Security Assistance tidak akan diberikan kepada negara-negara yang diindikasikan terlibat pelanggaran HAM.
Dalam
kaitan bantuan keamanan Amerika yang diberikan kepada Indonesia, tidak
terlepas dari hal-hal tersebut di atas. Bila diperhatikan secara kilas
balik, bantuan militer yang diberikan kepada Indonesia melalui
perjanjian Hatta-Cochran yang ditandatangani secara rahasia pada 15
Agustus 1950 yang kemudian memunculkan Cochran Affair, merupakan
implementasi dari permintaan bantuan kepolisian RI kepada Amerika pada
saat meletusnya pemberontakan PKI Madiun 1948. Deplu AS semula ingin
memanfaatkan permintaan bantuan ini dengan perjanjian yang lebih
mengikat, khususnya dalam hal kerjasama keamanan untuk membendung
pengaruh komunis baik di Indonesia maupun Asia Tenggara. Dengan adanya
politik bebas aktif yang dianut Indonesia maka kemudian Dubes Cochran
memodifikasi rumusan yang dibuat oleh Deplu AS menjadi rumusan yang
lebih lunak sebagaimana perjanjian Hatta-Cochran yang telah ditandatangi
tersebut. Dari sisi ini terlihat adanya upaya bargaining antara kedua belah pihak dalam mendapatkan win-win solution
bagi kepentingan bersama tanpa mengesampingkan kepentingan-kepentingan
yang lebih besar. Kepentingan bersama yang membawa pada suatu
kesepakatan bersama pada saat itu adalah dalam rangka membendung
pengaruh/ancaman komunis global bagi AS di satu sisi, dan upaya Hatta
untuk membendung pengaruh/ancaman komunis dalam pemerintahan Soekarno di
sisi lain. Hatta dan Cochran melakukan kesepakatan rahasia karena tidak
ingin kesepakatan ini diketahui oleh para pimpinan PKI yang telah
berhasil mempengaruhi pemikiran dan kebijakan Soekarno.
Bantuan
selanjutnya yang diminta oleh Indonesia kepada Amerika adalah pada
tahun 1957 yang akan digunakan untuk memperkuat TNI dengan adanya
kekhawatiran semakin meluasnya pengaruh PKI pasca pemilihan umum 1955,
yang mana PKI menempati posisi ketiga terbesar setelah PNI dan Masyumi.
Perolehan suara PKI mencapai 16,4%, sementara PNI dan Masyumi
masing-masing 22,3% dan 20,9%. Perolehan suara PKI ini menyebabkan
komposisi di Parlemen meningkat lebih dari 2 kali lipat.[27] Dengan demikian dukungan komunis terhadap Soekarno semakin meningkat.
Untuk
mengantisipasi aksi komunis lebih lanjut dengan semakin menguatnya
komunis di legislatif, yang dikhawatirkan akan semakin berani melakukan
aksi-aksinya, Indonesia – dalam hal ini TNI – merasa perlu meminta
dukungan Amerika untuk memperkuat posisinya. Pada tahun 1958 bantuan
militer untuk Indonesia didukung US$7,3 juta dan pada tahun fiskal 1959
dan 1960 terjadi peningkatan dukungan bantuan militer sebesar
masing-masing US$22 juta.[28]
Bantuan
militer yang diberikan kepada Indonesia ini tidak terlepas dari adanya
kekhawatiran yang juga semakin meningkat dari pihak AS. Kekhawatiran
yang berlebihan ini bahkan membuat Amerika melakukan tindakan yang tidak
terpuji, pada tahun 1958 AS mengerahkan operasi rahasia yang dilakukan
oleh CIA dalam rangka mendukung aksi anti-komunis yang dilakukan oleh
Perdana Menteri PRRI Syaifrudin Prawira Negara yang berusaha menjatuhkan
pemerintahan Soekarno yang dinilai pro-komunis.
Dari skenario tersebut di atas nampaknya Amerika tidak sabar untuk segera menerapkan strategi regime change terhadap
Soekarno. Sementara doktrin TNI AD yang ditanamkan oleh Jenderal
Soedirman untuk membela pemerintahan sipil yang sah, benar-benar
dipegang teguh oleh Jenderal Nasution, yang tidak bergeming manakala
Amerika membujuknya untuk mendukung tindakan makar ini. Bahkan kemudian
Jenderal Nasution menjalankan kewenangan komandonya untuk memadamkan
pemerontakan PRRI di Sumatra dan pemberontakan Permesta di Manado yang
juga ditunggangi oleh agen-agen CIA.
Dari
situasi ini juga nampak bahwa bantuan militer Amerika yang diberikan
kepada TNI pada tahun 1958 dalam rangka mengantisipasi aksi komunis
telah diberikan oleh Amerika karena adanya kekhawatiran yang sama atas
akibat buruk yang mungkin ditimbulkan oleh komunis Indonesia. Hanya
saja, sayangnya Amerika mengambil langkah yang sangat gegabah meskipun
secara strategi, penerapan usaha melalui regime change tidak menyalahi kebijakan politik luar negerinya, yang menggambarkan doktrin maksimalis yang ingin diterapkan.
3.4. Peran U.S. Security Assistance dalam mendukung upaya Indonesia mengintegrasikan Timor Timor ke dalam NKRI
Strategi regime change merupakan
salah satu implementasi dari kebijakan politik luar negeri yang secara
universal telah diberlakukan oleh negara-negara besar terhadap
negara-negara yang lebih kecil yang berada di bawah pengaruhnya.
Strategi ini tidak saja diterapkan oleh Amerika, namun juga dilakukan
oleh Soviet pada saat menjatuhkan pemerintahan nasional China di bawah
Chiang Kai-shek. Kasus perebutan pengaruh di Cina merupakan kisah
pertarungan Amerika yang mendukung Chiang dengan pemerintahan
nasionalnya, dengan Soviet yang mendukung Mao Tse-tung dengan
komunisnya. Kisah pertarungan dua raksasa yang berebut pengaruh ini
akhirnya dimenangkan Soviet yang mampu menjatuhkan pemerintahan
nasionalis Chiang untuk digantikan oleh rezim komunis Mao.
Strategi regime change ini
nampaknya juga digunakan oleh Indonesia pada saat mengintegrasikan
Timor Timur meskipun dalam skala yang lebih kecil, dan konteks yang agak
berbeda. Pada tahun 1975, “Carnation Revolution” di Portugal
telah mempengaruhi pergolakan politik di Timor Timur. Muncul tiga
kekuatan partai politik yang berpengaruh yaitu (1) The Frente Revolucionária de Timor Leste Independente/Fretilin,
sebuah partai berhaluan komunis yang menuntut kemerdekaan Timor Timur
dengan segera. Fretilin didukung oleh para pegawai negeri sipil terutama
dari kaum mudanya, guru, pekerja pendatang, dan mahasiswa. (2) The União Democrática de Timor/UDT
menginginkan otonomi seluas-luasnya namun masih di bawah kekuasaan
Portugal. UDT didukung oleh pegawai negeri yang menduduki
jabatan-jabatan tinggi, para pemuka masyarakat setempat, penduduk
pedesaan yang mengakui pemerintahan Portugal, beberapa pengusaha Cina
dan komunitas Portugal. (3) The Associação Popular Democrática de Timor/Apodeti,
menginginkan otonomi yang terintegrasi dengan RI sesuai dengan hukum
internasional. Apodeti didukung secara luas oleh kelompok-kelompok etnis
dan hubungan sejarah.[29]
Dalam
perkembangan selanjutnya Fretilin berhasil menggandeng UDT bersama
dengan tokoh-tokoh elit lokal dan menjadi kekuatan aliansi yang sangat
besar mengkampanyekan kemerdekaan dari Portugal. Sementara salah satu
partai yang menginginkan integrasi dengan Indonesia (Apodeti), kurang
mendapatkan dukungan massa. Aliansi Fretilin dan UDT tidak bertahan
lama, dan disusul oleh adanya kudeta yang dilakukan oleh UDT pada 11
Agustus 1975 yang dengan cepat menguasai instalasi-instalasi yang
menentukan di Dili seperti stasiun radio, bandara, gedung-gedung
pemerintahan serta menuntut kemerdekaan segera bagi Timor Timur dan
dipenjarakannya anggota-anggota Fretillin. Situasi makin panas. Kekuatan
komunis Fretillin nampaknya sangat kuat, sehingga akhirnya pada Oktober
1975 UDT bergabung dengan Apodeti serta partai-partai kecil yang lain
seperti Kota dan Trabalhista. Di bawah perwalian Indonesia mereka
membentuk sebuah koalisi dengan nama Movimento Anti Comunista (MAC, Gerakan Anti Komunis).
Situasi
semakin kacau, nampaknya kekuatan komunis Fretillin tidak dapat
diremehkan, yang kemudian mampu memegang kendali dan pada tanggal 28
November 1975 secara sepihak Fretilin menyatakan kemerdekaan Timor
Timur, dan memproklamasikan sebagai Republik Demokratik Timor Timur (“Democratic Republic of East Timor”).
Sembilan hari kemudian pada tanggal 7 Desember 1975 Indonesia melakukan
serangan militer ke Timor Timur, dan akhirnya Timor Timur terintegrasi
ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada saat itu tindakan
Indonesia mendapat dukungan penuh baik dukungan politis maupun peralatan
militer (security assistance) dari AS.
Sebagaimana
telah disinggung di bagian akhir sub-bab sebelumnya (3.2), Menlu
Kissinger dalam lawatannya ke Indonesia mendampingi presiden Gerald
Ford, menyatakan bahwa pada prinsipnya Amerika tidak keberatan terhadap
operasi militer Indonesia ke Timor Timor, meskipun ia meminta agar
operasi dimaksud dapat dengan cepat dilaksanakan tanpa menggunakan
senjata-senjata buatan Amerika. Apakah sebenarnya hasil pembicaraan
resmi antara presiden Soeharto dengan presiden Gerald Ford? Pada saat
itu memang tidak diketahui adanya catatan resmi tentang hasil
pembicaraan dimaksud.
Dari
apa yang disampaikan oleh Menlu Kissinger dapat dipastikan bahwa
pemerintah AS memberikan dukungan politik terhadap serangan tersebut,
karena pada saat itu Amerika masih dalam fase Perang Dingin dengan
komunis Soviet. Dunia internasional juga telah mengetahui bahwa ketika
terjadi carnival revolution di Portugal, telah memaksa Portugal
melepaskan koloninya mengingat biaya yang harus dikeluarkan untuk
operasional di Timor Portugis sangat tidak sebanding dengan apa yang
diperoleh dari sana. Portugis sudah tentu mengikuti perkembangan dari
waktu ke waktu tentang pergolakan di negeri koloninya tersebut, yang
mana terdapat beberapa partai yang memiliki landasan dan tujuan politik
yang saling bertentangan. Fretilin yang berhaluan komunis dan ingin
membentuk pemerintahan sendiri, dan Apodeti yang berorientasi nasionalis
dan menginginkan berintegrasi dengan bangsa Indonesia.
Dalam
situasi yang tidak menentu ini, nampaknya Portugal sudah tidak bersedia
menanggung resiko politis atas persoalan bekas koloninya ini. Namun
sepertinya Portugal tidak merelakan manakala Timor Timur berintegrasi
dengan Indonesia. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Wakil Asisten Menlu
AS, Kenneth M. Quinn yang memandang kembali situasi tujuh belas tahun
kemudian ketika ia memberikan kesaksian di depan Kongres:
…
Portugal’s leftist government abruptly withdrew in August 1975, handing
over to Fretilin weapons which were then used to gain the upper hand. …
When the world turned its attention to East Timor in the mid-1970s,
self-determination was not a realistic option. The choice was Marxist
rule by Fertilin or action by Indonesia. ...[30]
Dengan
dukungan persenjataan yang ditinggalkan oleh kelompok kiri (komunis)
pemerintah Portugal, Fretilin memiliki kepercayaan diri yang besar untuk
membentuk pemerintahan komunis secara sepihak dengan memproklamasikan
Timor Timur sebagai Republik Demokratik Timor Timur (“Democratic Republic of East Timor”).
Indonesia tidak mungkin membiarkan situasi seperti ini. Indonesia
memiliki trauma kebangsaan yang begitu hebat pada saat terjadinya
peristiwa G 30 S/PKI. Oleh karena itulah Presiden Soeharto sebagai
Panglima Tertinggi memerintahkan agar TNI mengatur strategi untuk
melakukan penyerangan ke Timor Timur.
Dalam
melakukan serangan ini, Indonesia tidak ingin melakukannya secara
gegabah. Presiden Soeharto yang berpengalaman sebagai Panglima Mandala
pembebasan Irian Jaya tentunya memahami betul konsekuensi yang akan
timbul apabila aksi ini dilakukan sendirian. Pada saat tersebut Amerika
yang memiliki kepentingan yang sama dalam pembendungan komunis menjadi
suatu pilihan utama untuk diajak berkonsultasi dan meminta dukungan baik
secara politis maupun bantuan militer.
Upaya
Indonesia melakukan pendekatan kepada AS ditanggapi secara positif
dengan kunjungan singkat Presiden Gerald Ford yang disertai oleh Menlu
Henry Kissinger. Setelah Amerika memberikan dukungannya maka dengan
tidak ada keraguan lagi, Indonesia melakukan serangan atas Timor Timur,
guna menjatuhkan regime komunis yang dideklarasikan secara sepihak oleh
Fretilin. Serangan Indonesia dilakukan pada 7 Desember 1975 hanya selang
sembilan hari setelah pernyataan kemerdekaan Timor Timur. Meskipun
Kissinger menyatakan agar Indonesia tidak menggunakan persenjataan
Amerika, nampaknya Amerika tidak mencegah ketika senjata-senjata
buatannya digunakan oleh pasukan Indonesia. Pernyataan Kissinger ini
nampaknya hanya sebuah pernyataan diplomatis agar pemerintah AS tidak
disalahkan oleh Kongres. Bahkan tampaknya Kongres AS pada saat itu juga
tidak begitu keberatan atas dukungan politik dan bantuan militer
pemerintahnya yang diberikan kepada Indonesia. Hal ini dapat disimak
dari adanya suatu pernyataan:
When
reports were received that some U.S.arms might have been used, military
assistance deliveries were quitetly withheld for several months. At
least one key senator was informed of third fact, but the matter did not
become a public issue either in Congres or in bilateral relationship.[31]
Penulis
lain memaknai penundaan pengiriman bantuan militer yang disebutkan
diatas sebagai embargo. Dalam tulisannya lebih lanjut penulis tersebut
menyatakan bahwa serangan Indonesia terhadap Timor Timur ini memperoleh dukungan penuh dari AS baik secara politik maupun dukungan persenjataan.
Indonesia
invaded the territory [East Timor] in December 1975, relying on US
diplomatic support and arms, used illegally, but with secret
authorization from Washington; there were even new arms shipments sent
under the cover of an official “embargo.”…[32]
Setelah Indonesia
berhasil mengintegrasikan Timor Timur kedalam wilayah NKRI, dukungan
Amerika dalam bentuk bantuan militer memang sempat menjadi teka-teki
publik. Hal ini disebabkan oleh munculnya berbagai pemberitaan yang
simpang-siur sebelumnya, sebagaimana terdapat tulisan yang menyatakan
bahwa invasi Indonesia ke Timor Timur dilaksanakan 12 jam setelah
kunjungan 2 hari presiden Ford ke Indonesia, Gedung Putih mengabarkan
bahwa presiden Soeharto tidak memberitahu Ford tentang rencana serangan
ke Timor Timur, tetapi tidak disangkal bahwa pasukan penyerbu sebagian
diperlengkapi dengan persenjataan Amerika, adapun usulan tentang bantuan
militer yang lebih besar kepada Indonesia telah ditangguhkan oleh
Kongres. Dan dari pihak Indonesia melalui siaran radio dinyatakan bahwa Menlu Henry Kissinger memberikan jaminan kepada Indonesia bahwa pemerintah AS tidak akan memberikan pengakuan terhadap proklamasi kemerdekaan Timor Timur oleh Fretilin.[33]
Dalam
kaitan ini sepertinya Amerika memang berada pada posisi sulit. Di satu
sisi dukungan politis yang disampaikan melalui Ford tidak bertentangan
dengan kebijakan pembendungan, sebab Amerika juga baru saja mengakhiri
Perang Vietnam.
Sementara di sisi lain Amerika juga tidak mau mengambil resiko politik
yang datangnya justru dari warganegaranya sendiri yang disuarakan oleh
Kongres. Sementara akhir Perang Vietnam
juga masih membawa luka traumatis bagi sebagian keluarga Amerika yang
anggota keluarganya menjadi korban dari perang tersebut. Oleh karena itu
bisa dimengerti bahwa keterlibatan Amerika dalam bentuk bantuan militer
dikaburkan, dengan demikian diharapkan tidak akan menjadi perdebatan
publik. Nampaknya upaya tersebut cukup berhasil, setidak-tidaknya pada
saat itu.
Kenyataan
tentang pelibatan Amerika secara aktif, tidak saja dukungan politis,
namun juga bantuan militer akhirnya tidak terbantahkan setelah dalam
otobiografinya Ford mencatat, dalam kunjungannya ke Indonesia, pada saat
itu Indonesia merasa khawatir apabila Amerika tidak memberikan
dukungan. Namun setelah Ford memberikan jaminan untuk membantu baik
bantuan ekonomi maupun bantuan militer, para pemimpin Indonesia menjadi
lebih lega dalam meneruskan rencana serangan kepihak komunis Timor
Timur.
President Ford’s visit to Indonesia
in late 1975 was in part designed to counter such fear. Ford notes in
his autobiography that Indonesian leaders seemed reassured by his
statements regarding bilateral economic and military aid and the U.S. regional commitment.[34]
Dukungan AS terhadap proses integrasi Timor Timur juga dapat dibuktikan dengan adanya laporan bahwa pada tanggal 3 Maret 1976, the U.S. House of Representative menyetujui
rancangan UU otorisasi bantuan luar negeri senilai US$4,8 milyar
meskipun terdapat amandemen yang mengakibatkan bantuan militer dalam
bentuk hibah yang dialokasikan kepada Indonesia sebesar US$19,4 juta
dihapus dengan alasan karena adanya pengambilan Timor Timur dan adanya
indikasi pelanggaran HAM. Namun untuk bantuan dalam bentuk kredit Foreign Military Sales (FMS) sebesar US$23,1 juta tetap diberikan, ditambah sekitar US$2 juta dalam bentuk dukungan Foreign Military Training Program atau International Military Education Training (IMET), dan US$13 juta dalam bentuk excess defense articles. Catatan lain menyatakan bahwa bantuan
militer bagi Indonesia diharapkan dapat ditingkatkan pada tahun fiskal
1976 hingga mencapai nilai sebesar US$57 juta, yang berarti melebihi
jumlah pembelanjaan aktual yang dialokasikan pada tahun fiskal 1975
sebesar US$23,8 juta.[35]
Keterlibatan
AS secara politis atas serangan Indonesia ke Timor Timor semakin
diperkuat setelah dokumen-dokumen AS terungkap bahwa dukungan Amerika
kepada Indonesia diawali oleh kunjungan Presiden Soeharto ke AS dan
mengadakan pertemuan pada tanggal 5 Juli 1975 di Camp David. Dalam
pertemuan ini dibahas berbagai situasi tentang penguatan pengaruh
komunis di Indocina dan Asia Tenggara. Dalam diskusi ini presiden
Soeharto menekankan pentingnya bagi setiap negara di kawasan memiliki
ideologi nasional yang kuat dalam membendung pengaruh komunis yang
seringkali dilakukan melalui kegiatan subversi. Untuk itu diperlukan
upaya bagi negara-negara dikawasan dalam memperkuat bidang-bidang
politik, ekonomi dan militer.
Selanjutnya
Presiden Soeharto juga menyatakan bahwa cara terbaik dalam memerangi
subversi (komunis) adalah operasi intelijen dan teritorial, sehingga
kita dapat mendeteksi secara dini terhadap kegiatan subversi yang
dilakukan oleh komunis. Indonesia sangat mengharapkan dukungan dan
bantuan AS dalam memperkuat satuan TNI AL dalam mempersiapkan sejenis
satuan reaksi cepat, khususnya bantuan kapal-kapal yang akan digunakan
untuk memerangi setiap upaya (komunis) dalam melakukan aksinya.
Menyinggung perkembangan situasi Timor Timur, Presiden Soeharto antara
lain menyatakan bahwa terdapat tiga kemungkinan yaitu: merdeka, tetap di
bawah pemerintahan Portugal atau bergabung dengan Indonesia. … Jika
mereka (rakyat Timor Timur) menginginkan berintegrasi dengan Indonesia
sebagai bangsa merdeka, adalah tidak mungkin karena Indonesia adalah
negara kesatuan, jadi hanya satu cara yang dapat ditempuh yaitu
berintegrasi kedalam NKRI.[36] Dalam diskusi lebih lanjut tentang Timor Timur Presiden Soeharto menyatakan bahwa:
…
The problem is that those who want independence are those who are
Communist-influence. This wanting Indonesian integration are being
subjected to heavy pressure by those who are almost Communist. … I want
to assert that Indonesia doesn’t want to insert itself into Timor self-determination, but the problem is how to manage the selt-determination process with a majority wanting unity with Indonesia. These are some of the problem I wanted to raise on this auspicious meeting with you.[37]
Menyikapi
situasi yang semakin tidak kondusif di Timor Timur serta
menindaklanjuti kesepakatan Camp David, pada 21 November 1975 Menlu AS
Henry Kissinger membuat memorandum bagi Presiden Ford yang akan
berkunjung ke Indonesia. Dalam memorandum tersebut, khususnya terkait
dengan U.S. Security Assistance to Indonesia diungkapkan bahwa
dalam serangkaian konsultasi pada September 1975 dengan telah
berlangsungnya kunjungan militer Indonesia ke AS terkait dengan tindak
lanjut pertemuan Camp David, Kissinger menyatakan persetujuan AS:
…
to provide a modest military packed ($30 million in grants and $12,5
million in credit for total of $42,5 million) of helicopter, ships,
communication and radar equipment to meet Indonesia’s primary threat –
the sea infiltration of arms – and to maintain more effective control of
the archipelago. Since we could not supply all their requirement, we
agreed to work with them on a longer term effort to rehabilitate their
military forces.[38]
Meskipun
Amerika tidak dapat memenuhi permintaan militer Indonesia sepenuhnya
sesuai yang telah dijanjikan sebelumnya sebagaimana tersebut di atas,
namun kemudian pada tahun 1975 Amerika menjanjikan sekitar $10 juta
bantuan militer berupa hibah dan kredit.[39]
Dalam kunjungan Presiden Ford dan Menlu Henry Kissinger, kemudian juga
terungkap adanya dukungan politis AS pada saat Indonesia menyiapkan
penyerangan ke Timor Timur. Dalam kunjungan 2 hari di Jakarta tercatat
adanya perbincangan antara Presiden Ford yang didampingi oleh Menlu
Kissinger dengan Presiden Soeharto tentang permintaan Indonesia agar AS
bersedia memahami rencana penyerangan ke Timor Timur. Presiden Ford
menyatakan, “we will understand and will not press you on the issue, we understand the problem you have and the intentions you have.” Selanjutnya diikuti oleh tanggapan yang disampaikan oleh Kissinger, “you appreciate that the use of US-made arms could create problem.”[40]
Dalam
pembicaraan selanjutnya terungkap tentang permintaan AS agar serangan
Indonesia atas Timor Timur dilakukan setelah Presiden Ford kembali ke
tanah air. Dan menjelang akhir pembicaraannya Presiden Soeharto berjanji
bahwa tindakannya akan didasarkan pada hukum yang berlaku dan menjamin
untuk tidak akan membahayakan kepentingan ekonomi Amerika. Menanggapi
hal ini Kissinger menyatakan penghargaannya dan Presiden Ford sekali
lagi menyatakan jaminannya bahwa AS memahami situasi ini, meskipun
kemudian disusul dengan pernyataan bahwa ia tidak merekomendasikan
apapun.[41]
Sebuah pernyataan diplomatis yang menunjukkan kearifannya sebagai
seorang negarawan yang berusaha bersikap netral, dalam arti ia tidak
ingin sikapnya ini mengakibatkan terjadinya polemik di dalam negeri bagi
dukungannya terhadap Presiden Soeharto.
Beranda | Buku/Sinopsis | Bab 1 | Bab 2 | Bab 3 | Bab 4 | Bab 5 | Daftar Referensi | Tentang Penulis | Beranda
[1] George Brown Tindall, op. cit., 201.
[2] Paul F. Gardner, Shared Hopes Separate Fears: Fifty Years of U.S.-Indonesian Relation (Boulder, Colorado: Westview Press, 1997), 10.
[3] Ibid.
[4] Ibid., 34 – 35.
[5] M. Fahlevi, Soedirman & Sudirman (Jakarta: Pusat Sejarah TNI, 2004), 15.
[6] Paul F. Gardner., op.cit., 88.
[7] Ibid., 100.
[8] U.S. Embassy & Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Serikat, op. cit., 1619.
[9] Ibid., 1621.
[10] Timo Kivimaki, US-Indonesian Hegemonic Bargaining Strength of Weakness: US Foreign Policy and Conflict in the Islamic World (London: Ashgate, 2003), 107 – 108.
[11]
Embassy of Indonesia Washington DC, “Proposal Amendment U.S. Security
Assistance 15 August 1950,” 5 January 1953, TIAS no. 2768, in Amending
Agreement of August 15, 1950, U.S. Treaties and Other International Agreements, 114.
[12] American Embassy, “Indonesia Military Assistance,” January 12,1953, TIAS no. 2768 in Amending Agreement of August 15, 1959, U.S. Treaties and Other International Agreements, 115.
[13] Timo Kivimaki, op. cit., 114 – 115.
[14] Hans J. Morgenthau., op. cit., 147 – 149.
[15] Charles J. Kegley and Eugene R. Wittkopf., op. cit., 653 – 54.
[16] Paul F. Gardner., op. cit., 210
[17] Ibid.,78 – 79.
[18] Sample data berbagai jenis peralatan kepolisian dan militer dalam bentuk Military Assistance Program (MAP) Inventory List, sebagaimana pada lampiran 1.
[19] Timo Kivimaki., op.cit., 111 – 112.
[20] Paul G. Gardner., op.cit., 163.
[21] American
Embassy & Deplu RI, “Exchange of Notes: Sale of Military
Equipment, Materials, and Sevices,” August 13, 1958, TIAS no. 4095, U.S. Treaties and Other International Agreements, 1150.
[22] Paul G. Gardner., op.cit., 172 – 173.
[23] Paul G. Gardner., op.cit., 178.
[24] Ibid., 178 – 179.
[25] Ibid., 265.
[26] Ibid., 286.
[27] Ibid., 246.
[28] Ibid., 163.
[29] Robert Lawless, “The Indonesian Takeover of East Timor,” University of California: Asian Survey, vol. 16, no. 10 (October 1976): 950., 2 December 2009 <http://www.jstor.org/stable/ 2643535>.
[30] Paul F. Gardner., op. cit., 285.
[31] Ibid., 286
[32] Noam Chomsky, “East Timor Retrospective,” Le Monde diplomatique (October 1999)., 20 January 2009 <http://www.chomsky.info/articles/199910--,htm>.
[33] Robert Lawless, op. cit., 963.
[34] Paul F. Gardner, op. cit., 266.
[35] Robert Lawless, op. cit., 963.
[36]
William Burr and Michael L, Evans, ed., “Memorandum of Conversation
President Ford with President Soeharto in Laurel Cabin, Camp David,
Maryland, July 5, 1975,” in East Timor Revisited: Ford and Kissinger Gave Green Light to Indonesia’s Invasion of East Timor, 1975, 3–6 [National Security Archieve Electronic Briefing Book, no.62]., 21 March 2009 <http://www.gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB62/…>.
[37] Ibid., 6
[38] William Burr and Michael L. Evans, ed., “Memorandum for the President,” in East Timor Revisited: Ford and Kissinger Gave Green Light to Indonesia’s Invasion of East Timor, 1975, 9 [National Security Archieve Electronic Briefing Book, no.62]., 21 March 2009 <http://www. gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB62/…>.
[39] Ibid.
[40] William Burr and Michael L. Evans, ed., “Telegram US Embassy Jakarta to Secretary of State,” in East Timor Revisited: Ford and Kissinger Gave Green Light to Indonesia’s Invasion of East Timor, 1975, paragraf 42 – 43 [National Security Archieve Electronic Briefing Book, no.62]., 21 March 2009 <http://www.gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB62/…>.
[41] Ibid., paragraf 59.
Beranda | Buku/Sinopsis | Bab 1 | Bab 2 | Bab 3 | Bab 4 | Bab 5 | Daftar Referensi | Tentang Penulis | Beranda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar