Total Tayangan Halaman

Selasa, 22 Mei 2012

Blank

Blank

Buku/Sinopsis

(Maaf sekedar untuk selingan, saya sajikan sebuah tulisan ilmiah dibawah ini. Tapi bila anda tidak berminat silakan tutup halaman ini)

SINOPSIS
Memasuki 61 tahun hubungan bilateral AS – RI, 1949 – 2010: Dari saat pengakuan AS terhadap RI pasca Konferensi Meja Bundar (1949) hingga penandatanganan Comprehensive Partnership Agreement (2010)
dari perspektif Amerika Serikat


KEPENTINGAN NASIONAL: SEBUAH TEORI UNIVERSAL
DAN PENERAPANNYA OLEH AMERIKA SERIKAT
DI INDONESIA
Studi Kasus: Timor Timur dan Pasca Serangan Teroris 11 September 2001

Kehadiran AS di Nusantara secara de facto dilakukan sejak 1910 dalam mana para pengusaha AS bermitra dengan pengusaha Belanda menanamkan investasi dibidang perkebunan karet. Selanjutnya diikuti dengan masuknya investasi dibidang explorasi minyak bumi tahun 1920 dengan masuknya Standar Vacuum serta pada tahun 1935 disusul oleh perusahaan minyak lainnya yaitu Standard Vacuum of California (Socal).
Secara de jure/formal hubungan bilateral AS – RI, dilakukan pada tahun 1949 dengan pengakuan AS terhadap RI pada tanggal 28 Desember 1949, setelah berakhirnya Konferensi Meja Bundar yang difasilitasi oleh AS. Sejak saat itu berbagai bantuan ekonomi dan militer diberikan. Secara khusus untuk bantuan militer yang dikemas dalam bentuk U.S. Security Assistance diberikan berupa peralatan kepolisian/militer yang dikenal sebagai US MAP (U.S. Military Assistance Program). Bantuan selanjutnya diberikan melalui program IMET (International Military Education Training) dan program pengadaan peralatan militer dan suku cadang secara G to G melalui program FMS (Foreign Military Sales) dalam bentuk soft loan credit.
Hubungan AS – RI sempat mengalami pasang surut yang pada dasarnya berkaitan dengan adanya benturan kepentingan nasional kedua belah pihak. Pada saat kepentingan nasional berjalan seirama maka hubungan kedua belah akan berjalan serasi, namun manakala kepentingan nasional kedua belah pihak saling berbenturan U.S. Security Assistance dihentikan (embargo).
Keserasian kepentingan nasional kedua belah pihak nampak nyata pada saat era Perang Dingin, dimana di satu sisi AS berusaha membendung penyebaran komunis Soviet dengan kebijakan pembendungan (policy of containment), di sisi lain Indonesia juga menghadapi penyebaran komunis yang berupaya merombak dasar negara Pancasila dengan ajaran komunisme, sehingga US Security Assistance diberikan secara intensif termasuk dukungan AS terhadap penyatuan Timor Timur ke dalam wilayah NKRI.
Benturan kepentingan nasional antara kedua belah pihak diawali dengan peristiwa Santa Cruz (1991), dimana Indonesia dipersalahkan oleh komunitas internasional melakukan pelanggaran HAM pada saat melakukan tindakan represif terhadap para demonstran. Benturan kepentingan kembali terjadi pasca jajak pendapat Timor Timur (1999). Hal ini kemudian telah mengubah kebijakan AS yang tidak lagi mendukung integrasi Timor Timur ke dalam wilayah NKRI, hingga akhirnya terlepas.
Amerika kembali mendekati Indonesia paska serangan teroris 11 September 2001, dimana AS mengeluarkan doktrin Bush yang salah satu butir diantaranya AS memandang perlu untuk menyebarkan demokrasi di dunia muslim. Indonesia yang kemudian dinilai telah berkembang sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dengan mayoritas berpenduduk muslim, dinilai tepat untuk diajak bersama-sama memerangi teroris yang dilakukan oleh kelompok Islam garis keras/radikal. US Security Assistance kembali diintensifkan yang ditandai dengan pencabutan embargo 2005.
U.S. Security Assistance yang pada dasarnya merupakan manifestasi atau derivatif dari policy of containment diberikan untuk meningkatkan capacity building dibidang security kepada Indonesia, dalam mana berbagai kepentingan ekonomi AS ada didalamnya, yaitu meliputi berbagai investasi dibidang pertambangan (energi dan mineral) serta investasi dalam berbagai bentuk lainnya. US Security Assistance yang diberikan kepada Indonesia berupa: (1) US MAP (US Military Assistance Program) yang pada saat ini diubah menjadi US FMF (US Foreign Military Financing) yaitu bantuan hibah IMSS (Integrated Maritime Surveillance System) Proyek 1206; (2) IMET (International Military Education Training); dan FMS (Foreign Military Sales).
Persoalan pelanggaran HAM berat Timor Timur paska jajak pendapat telah diakhiri dengan telah berakhirnya masa tugas The Commission of Truth and Friendship (CTF) Indonesia – Timor Leste (Maret 2008), yang rekomendasinya telah ditindak lanjuti oleh kedua belah pihak. Hasil rekomendasi kerja CTF Indonesia – Timor Leste diberi judul Per Memoriam AD Spem yang berarti “melewati kenangan (suram) menuju harapan (indah).”
Tujuan pembentukan Komisi ini adalah semata-mata untuk pembelajaran bagi kedua bangsa bahwa suatu penyelesaian pertikaian melalui perang saudara telah membawa akibat buruk bagi kedua belah pihak. Dari pembelajaran tersebut kedua bangsa bertekad untuk melakukan pembenahan hubungan bilateral secara damai dan bermartabat. Dan untuk itu ditegaskan, apapun hasil kerja komisi ini akan diterima oleh kedua belah pihak dengan lapang dada untuk dijadikan landasan dalam upaya rekonsiliasi kedua bangsa, dan bukan untuk dijadikan sebagai dasar/alat penuntutan peradilan (termasuk international tribunal).
Dalam proses normalisasi hubungan AS – Indonesia, khususnya military to military relationship (mil – to – mil), sejak tahun 2002 secara reguler telah diadakan Indonesia – US Security Dialog (IUSSD) oleh Kementerian Pertahanan kedua belah pihak, yang hingga pada saat ini (2010) telah terselenggara 8 kali. Dari kegiatan tersebut kedua belah pihak memandang perlu untuk menyusun Defence Cooperation Agreement (DCA) AS – RI yang akan dijadikan sebagai payung hukum terhadap berbagai kegiatan kerjasama yang telah terselenggara selama ini. Draft DCA pada saat ini tengah dalam proses pembahasan intensif antara sfaf Direktorat Kerjasama Internasional Ditjen Strahan Kementerian Pertahanan dan staf Kedubes AS. Pada saat buku ini diterbitkan mungkin DCA tersebut telah ditandatangani oleh Menteri Pertahanan kedua belah pihak atau yang mewakili.
Kunjungan presiden Barack Obama ke Indonesia pada medio Maret 2010 dimaksudkan untuk meningkatkan hubungan bilateral antara kedua negara. Bersama dengan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kedua kepala pemerintahan tersebut manandatangani sebuah kesepatan untuk membangun kemitraan komprehensif (Comprehensive Partnership Agreement atau Joint Declaration on Comprehensive Partnership). Penandatanganan agreement atau joint declaration ini diharapkan memulai babak baru dalam memasuki 61 tahun jalinan hubungan bilateral diantara kedua belah pihak, utamanya hubungan mil – to – mil yang selama ini masih terganjal oleh adanya US Human Right Vetting Policy.

BAB 1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Abstract
East Timor is one of the arenas for U.S. foreign policy implementation. This matter seemed when Indonesia began to integrate the territorial to Republic of Indonesia, the U.S. Government fully supported both politically and security assistance. But when Ramos Horta – who supported by East Timor Action Network (ETAN) that based in the USA – struggle for East Timor independence, the U.S. Government gave widely opportunities for the released of East Timor from Republic of Indonesia. This situation occurred due to there was a changing on U.S. foreign policy in dealing with global threat and challenging which oriented to its national security. Teroris attact on 11 September 2001 has changed U.S. Foreign Policy globally. As a result the USA tried to recover bilateral relationship with Indonesia.
Key words:
Foreign policy, security assistance, global threat and challenge, national security.
1.2 Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat: Latar Belakang dan Implementasinya
Dalam sejarahnya, AS yang pernah terlibat dalam perang saudara yang sangat menyakitkan dan juga sebagai negara pemenang perang dunia I dan II, sangat memperhatikan keamanan didalam negerinya (U.S. Homeland Security). Untuk menjaga keamanan tersebut AS menerapkan politik luar negeri ekspansionis, yang merupakan perwujudan doktrin maksimalisme:
Pada kenyataannya adalah bahwa maksimalisme bukan suatu pemikiran baru dalam sejarah politik Amerika. Pemikiran ini menekankan pada pencapaian tuntutan dilakukan baik secara langsung atau revolusioner, tanpa kompromi. Suatu kebijakan politik dipola mencapai terobosasn strategis guna mentransformasikan suatu situasi yang mampu menopang pengaruh Amerika secara berkesinambungan.[1]
Pernyataan tersebut di atas dapat ditelusuri dari sejarah Amerika, bahwa politik ekspansionis ini pada dasarnya telah diterapkan sejak dari terbentuknya cikal bakal bangsa tersebut (John Winthrop dengan the city upon a hill) hingga terbentuknya negara (declaration of independence). Dan politik ekspansionis ini nampaknya tidak akan pernah berhenti bahkan hingga detik ini dan mungkin hingga masa yang akan datang.
Semangat ekspansionis bangsa Amerika yang ditunjukkan oleh John Winthrop dengan kotbahnya yang terkenal the city upon a hill tampak ketika Winthrop sebagai tokoh Puritan ingin mengembangkan kebebasan menjalankan ibadah agama didunia baru. Dengan mengantongi “charter” dari Raja Charles, ia melakukan pelayaran dengan kapal Arbella ke Dunia Baru sebagaimana yang tertera dalam tulisan yang dikompilasi oleh Paul Lauter (editor):
… The charter, which granted the Massachusetts Bay Company the right to settle in New England, is unique in that no provision was made for a designated meeting place for the administration of the Company, thus freeing it to establish a government in New England. The Company was lucky to have been granted such a liberal charter, …[2]
Pada tahun 1629, Winthop telah membentuk pemerintahan baru, ditempat baru (New England) dengan komunitas orang-orang Puritan yang berjumlah sekitar 400 orang. Untuk memotivasi para pengikutnya Winthrop dalam pelayaran diatas kapal Arbella memberikan kotbah model ajaran Kristiani (A Model of Christian Charity) yang kemudian dikenal sebagai “the city upon a hill.” Inti dari kotbah tersebut adalah mengajak para pengikutnya untuk berlayar menuju tempat baru seperti yang difirmankan Allah kepada umat Israel. Ditempat baru tersebut Allah menjanjikan kemuliaan dan kesejahteraan bagi umatnya. Dengan kotbah tersebut Wintrop telah menanamkan sebuah motivasi atau “imagi” kepada pengikutnya untuk membangun sebuah kota diatas bukit yang berarti sebuah tantangan untuk membangun kejayaan yang akan memancar keseluruh negeri yang berada dibawah bukit dimana kota tersebut akan dibangun. Dan dengan imagi tersebut kemudian dijadikan sebagai salah satu justifikasi dalam kegiatan ekspansi yang pertama kali dilakukan oleh cikal bakal bangsa Amerika dengan semangat frontirnya yang pantang menyerah.
Sementara ajaran ekspansi yang bisa ditarik dari semangat awal kemerdekaan (declaration of independence) adalah rumusan deklarasi kemerdekaan Jefferson yang mengadopsi teori kontrak pemerintahan ajaran John Locke sebagaimana dinyatakan oleh Tindall:
…, was an eloquent restatement of John Locke’s contract theory of government, the theory in Jefferson’s words that governments derived “their just Powers from the consent of the people,” who were entitled to “alter or abolish” those which denied their “unalienable right” to “life, Liberty, and the pursuit of Happiness.”…[3]
Dengan rumusan teks deklarasi kemerdekaan tersebut “the founding father” bangsa Amerika yang secara turun temurun mewarisi “imagi” sebagaimana yang telah ditanamkan oleh Winthrop telah meletakkan dasar-dasar bagi bangsa baru Amerika dengan hak-hak “hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan.” Dengan dasar-dasar inilah para pemimpin bangsa Amerika dari generasi ke generasi mencari peluang untuk mengejar kebahagian kemanapun berada yang kemudian melahirkan suatu ajaran ekspansionisme yang hebat “manifest destiny.”[4]
Bermula dari ekspansi teritorial kemudian berlanjut dengan ekspansi ekonomi demi menyejahterakan rakyatnya. Selanjutnya untuk mengamankan apa yang telah diperoleh dari hasil-hasil ekspansi sebelumnya, maka AS berupaya untuk melakukan ekspansi demokrasi. AS meyakini manakala demokrasi dapat disebarkan dan diterapkan diseluruh dunia, maka dunia akan aman dan damai, sehingga akan berdampak bagi terjaminnya keamanan didalam negerinya.
Dalam menjalankan politik luar negeri melalui penyebaran demokrasi, AS meluncurkan program-program bantuan kepada negara-negara berkembang, termasuk bantuan keamanan. Salah satu program bantuan keamanan dimaksud adalah U.S. Security Assistance. Dengan penyebaran demokrasi keseluruh penjuru dunia yang dilandasi oleh semangat manifest destiny, maka persoalan kepentingan nasional AS adalah identik dengan kepentingan globalnya.
Dengan demikian bangsa Amerika memandang bahwa kepentingan nasional adalah terutama ditujukan untuk memberikan rasa aman bagi warganegaranya. Dan oleh karena itulah keamanan nasional merupakan bagian utama dari kepentingan nasionalnya. Keamanan nasional tersebut benar-benar dijaga. Salah satu upaya untuk menjaga keamanan nasional adalah dengan cara ekspansi atau membuka hubungan kerjasama dengan negara-negara lain dalam mengupayakan terciptanya dunia yang aman, damai, dan sejahtera.
Bila kita perhatikan, kepentingan nasional AS dijalankan sesuai dengan konsep-konsep yang dikemukakan oleh beberapa orang ahli hubungan internasional yang mendefinisikan bahwa kepentingan nasional suatu bangsa akan terkait erat dengan masalah internal dan masalah eksternal. Hans J. Morgenthau menyampaikan pandangan tentang konsep kepentingan nasional sebagai berikut: The concept of the national interest, then, contains two elements, one that is logically required and in that sense necessary, and one that is variable and determined by circumstances.[5]
Dengan demikian konsep kepentingan nasional menurut Morgenthau pada dasarnya terdiri dari dua elemen, yang pertama didasarkan pada pemenuhan kebutuhan sendiri, dan yang kedua mempertimbangkan berbagai kondisi lingkungan strategis disekitarnya. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan sendiri, dapat di peroleh dengan cara melindungi kelangsungan hidup bangsa dalam mempertahankan kedaulatan integritas wilayah nasional, sistem politik, dan identitas budaya dari ancaman bangsa lain. Adapun pertimbangan adanya berbagai kondisi lingkungan strategis adalah dengan menjalankan kebijakan politik luar negeri melalui upaya diplomasi demi terciptanya perdamaian dunia. Sementara Charles W. Kegley dan Eugene R. Wittkopf menyatakan bahwa tujuan dari sebuah negara dalam rangka mencapai kepentingan nasional adalah:
The State should promote the internal welfare of its citizens, provide for defense against external aggression, and preserve the state’s values and way of life.No country can long afford to pursue its own welfare in ways that reduce the security and welfare of its competitor. [6]
Charles W. Kegley dan Eugene R. Wittkopf menyatakan bahwa kepentingan nasional dari sebuah negara hendaknya tidak hanya didasarkan pada upaya meningkatkan kesejahteraan internal bagi setiap warganegaranya, menyediakan pertahanan terhadap agresi dari luar, dan melindungi nilai-nilai negara dan falsafah hidup. Lebih jauh mereka juga menyatakan bahwa tidak mungkin sebuah negara dapat mencapai kepentingan nasionalnya dengan mengurangi keamanan dan kesejahteraannya terhadap kompetitornya. Dan untuk mencapai tujuan nasional seperti yang diharapkan maka setiap negara harus mengkaitkan kepentingan nasionalnya melalui upaya kerjasama dengan banyak bangsa dalam rangka menciptakan kesejahteraan dan keamanan global.
Terkait hal tersebut di atas setiap negara selalu berupaya melakukan kerjasama dengan negara lain, baik dalam bentuk kerjasama bilateral maupun multilateral. Untuk merealisasikan kerjasama tersebut diperlukan kebijakan luar negeri yang dimaksudkan sebagai alat diplomasi dalam rangka menjamin dan mengembangkan kepentingan nasionalnya. Dengan demikian terdapat kaitan yang sangat erat antara kepentingan nasional dengan kebijakan luar negeri suatu negara.
Dalam konteks ini dua orang peneliti kebijakan luar negeri menarik korelasi yang begitu erat dengan kepentingan nasional, antara lain dinyatakan bahwa kebijakan luar negeri suatu negara sudah seharusnya didasarkan pada beberapa sumber yang mengacu pada berbagai bentuk kepentingan nasionalnya. Dalam tulisan mereka disebutkan bahwa kebijakan luar negeri suatu negara yang paling pokok adalah didasarkan pada kepentingan nasional yang dianggap fundamental (mutlak). Jenis kepentingan nasional yang dianggap mutlak tersebut adalah kelangsungan hidup (survival) bangsa tersebut dan integritas wilayah nasionalnya. The most fundamental of source foreign policy objectives is perhaps the universally shared desire to insure the survival and territorial integrity of the community and state.[7] Atau dengan kata lain, keamanan nasional ditempatkan pada skala prioritas yang paling tinggi.
Selanjutnya kebijakan luar negeri harus didasarkan pula pada sumber kepentingan nasional lainnya yang dianggap sangat penting (vital). Kepentingan nasional yang termasuk dalam kelompok ini adalah kepentingan nasional terkait dengan kepentingan ekonomi bangsa tersebut dan dalam upaya penerapan sistem demokrasi yang mampu mengakomodasi kepentingan individu maupun kelompok ekonomi/bisnis.
… the most important set of domestic sources of foreign policy are the economic needs of the community. … It is important to emphasize that economic needs are fundamental sources of a state’s foreign policy. … there are strong pressures generated in the state’s political system to satisfy individual or group economic needs through foreign policy. [8]
Selanjutnya kebijakan luar negeri suatu negara seyogianya juga didasarkan pada sumber kepentingan nasional lainnya yang sifatnya tidak begitu signifikan. Dengan kata lain kepentingan nasional seperti ini lebih bersifat sebagai pendukung. Yang masuk dalam kelompok ini antara lain adalah yang menyangkut upaya memelihara akar budaya dan ideologi sebagai indentitas yang dapat dijadikan sebagai kebanggaan dalam percaturan internasional dan perhatian bangsa tersebut terhadap terciptanya perdamaian dunia sebagai kewajiban moral yang harus dipenuhi.
Another major domestic sources of foreign policy is what we might call the political needs of a state and its leader… Still another major domestic sources of foreign policy is the cultural, psychological, and/or ideological needs of the state for prestige and status in the world: identity or meaning in life, needs for fulfillment of religious or sacred ideological imperatives, need to follow moral principles of fulfill obligation… [9]
Bagaimana sejatinya Amerika Serikat menyikapi hubungannya dengan Indonesia dikaitkan dengan kepentingan nasionalnya? Menarik untuk dicermati, khususnya dalam kaitan dengan dukungan AS dan sekaligus ditariknya dukungan AS terhadap Indonesia terkait dengan peristiwa Timor Timur. Dapat dikatakan bahwa Timor Timur menjadi salah satu arena bagi penerapan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Hal ini tampak pada saat Indonesia mulai mengintegrasikan wilayah tersebut ke NKRI, pemerintah AS memberikan dukungan penuh, baik politis maupun security assistance. Namun ketika tokoh komunis Ramos Horta – yang didukung oleh East Timor Action Network (ETAN) yang berbasis di AS – memperjuangkan kemerdekaan Timor Timur, pemerintah AS memberi peluang yang sangat luas bagi lepasnya Timor Timur dari NKRI. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan kebijakan AS dalam menghadapi ancaman dan tantangan global yang berorientasi pada keamanan nasionalnya. Situasi sebagaimana tersebut di atas tidak dapat dilepaskan dari nilai “pragmatisme” Amerika, yang acap kali menimbulkan kontroversi dalam percaturan politik internasional.
… Pragmatisme Amerika secara politis sejiwa dengan azas demokrasi liberal yang juga memiliki ciri-ciri yang selaras dengan orientasi pragmatisme, yakni azas manfaat. Agaknya demokrasi liberal Amerika memberikan tempat bagi pragmatisme sehingga menampilkan cara perilaku yang inkonsisten dan penuh paradok.[10]
Pragmatisme Amerika semakin terbukti, ketika ancaman terorisme global kembali menghantui keamanan nasionalnya dengan adanya serangan 11 September 2001 yang dilakukan oleh kelompok Islam radikal. Kebijakan luar negeri Amerika kembali berubah. Indonesia kembali diperhitungkan perannya sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar didunia. Apalagi setelah Indonesia memasuki era reformasi, dimana demokratisasi sistem pemerintahannya direalisasikan. Dengan keberhasilan penerapan sistem demokrasinya, Indonesia bahkan dinilai sebagai negara demokrasi terbesar ketiga didunia yang berpenduduk muslim terbesar. Perubahan kebijakan politik ini ditandai dengan pencabutan embargo dan U.S. Security Assistance kembali diberikan. Pemulihan hubungan bilateral kembali dilakukan. Dan sepertinya akan berpuncak pada penandatanganan sebuah dokumen penting comprehensive partnership agreement atau joint declaration on comprehensive partnership antara kedua kepala pemerintahan dengan adanya kunjungan presiden Obama ke Indonesia pada medio Maret 2010. Sebuah momentum baru bagi hubungan bilateral kedua bangsa setelah memasuki usia yang 61.

1.3. Kerangka Penulisan
BAB 1: Pendahuluan. Pada bab ini penulis menyampaikan Intisari (Abstrak), Latar belakang dan Implementasi Kebijakan Luar Negeri AS dan Kerangka Penulisan.
BAB 2: Kebijakan Kawasan Politik Luar Negeri AS dalam Politik Pembendungan. Pada bab ini penulis menguraikan tentang Penerapan Kebijakan Politik Luar Negeri AS di kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara; U.S. Security Assistance, termasuk jenis-jenis bantuan yang diberikan kepada Indonesia dan kepentingan AS dalam memberikan Security Assistance kepada negara penerima bantuan; serta berbagai ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah AS bagi setiap negara penerima bantuan.
BAB 3: Kebijakan AS terhadap Penyatuan Timor Timur dengan Indonesia. Pada bab ini diuraikan lebih lanjut tentang kepentingan AS dalam memberikan bantuan (U.S. Security Assistance) kepada Indonesia. Selanjutnya juga disinggung tentang arti penting U.S. Security Assistance bagi Indonesia. Dibahas pula tentang adanya keselarasan kepentingan nasional kedua belah pihak terkait dengan adanya U.S. Security Assistance ini; selanjutnya dikaitkan pula dengan peran U.S. Security Assistance dalam mendukung upaya Indonesia mengintegrasikan Timor Timur ke dalam NKRI.
BAB 4: Paradoksal Kebijakan Bantuan AS terhadap Indonesia. Pada bab ini disoroti sikap AS terhadap upaya-upaya Timor Timur dalam memperoleh kemerdekaannya. Disoroti pula tentang ditariknya dukungan politis AS terhadap integritas NKRI, di mana Timor Timur ada di dalamnya. Selanjutnya dibahas pencabutan U.S. Security Assistance terhadap Indonesia, atau lazim disebut dengan istilah embargo. Kebijakan embargo ini diterapkan pasca berlangsungnya jajak pendapat terhadap kemerdekaan Timor Timur (1999) yang berakhir dengan kerusuhan yang diindikasikan terjadi pelanggaran HAM berat yang melibatkan TNI; erta bagaimana sikap AS terhadap Indonesia paska serangan teroris 11 September 2001.
BAB 5: Kesimpulan. Dalam bab ini disampaikan kesimpulan secara komprehensif tentang adanya perubahan kebijakan AS dalam pemberian security assistance pada saat proses integrasi dan pelepasan Timor Timur dari wilayah NKRI, serta bukti bahwa kebijakan luar negeri AS tidak dapat dilepaskan dari kepentingan nasionalnya.


[1] Alfian Muthalib, “Politik Luar Negeri Maksimalis Amerika,” Nation, PPSN, volume 5, no. 1 (2008): 111.
[2] Nicholas D. Romber, Jr., “John Winthrop 1588 – 1649, ” in The Heath Anthology of American Literature, vol.1, 2nd ed, ed. Paul Lauter (Lexington: D.C. Heath and Company, 1994), 224.
[3] George Brown Tindall, America a Narative History, vol.1 (New York, London: W.W.Norton & Company, 1984), 201.
[4] Tentang ajaran ekspansionis “manifest destiny,” Tindall dalam buku America A Narative History pada halaman 512 antara lain menyatakan bahwa pada tahun 1845 John Louis O’Sulivan, editor the United States Magazine and Democratic Review, memberikan istilah “Manifest Destiny” bagi semangat juang kaum penjelajah yang bergerak dari wilayah Timur ke wilayah Barat benua Amerika (Westward Movement).
[5] Hans J. Morgenthau, “Another “Great Debate”: The National Interest of the United States, in Classics of International Relation, 3rd ed, ed. John A. Vasquest (New Jersey: Prentice Hall, 1966), 147.
[6] Charles J. Kegley and Eugene R. Wittkopf, World Trend and Transformation Politics, 8th ed (Boston: Bedford/St. Martin’s, 2001), 653 – 54.
[7] Keith R. Legg and James F. Marison, “The Formulation of Foreign Policy,” in Perspective on World Politics, 2nd ed, ed. Richard Little & Michael Smith (London: Croom Helm in association with Open University Press, 1992), 62.
[8] Ibid.
[9] Ibid., 62-63.
[10] Albernine Minderop, Pragmatisme Amerika: Di Bawah Bayang-bayang C. Pierce, W. James, J. Dewey (Jakarta: Obor, 2005), 105.

BAB 2


BAB 2

KEBIJAKAN KAWASAN POLITIK LUAR NEGERI AS DALAM POLITIK PEMBENDUNGAN

2.1. Kebijakan Politik Pembendungan di Kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara
Doktrin maksimalisme merupakan dasar bagi kebijakan politik luar negeri AS dalam upaya penyebaran demokrasi AS, khususnya ketika berhadapan dengan upaya komunisme yang menentang kapitalisme barat. AS berusaha menyebarkan kapitalisme – yang didasarkan pada liberalisme – ke seluruh penjuru dunia atas nama demokrasi guna menjamin kepentingan ekonomi global sekaligus kepentingan politik. Kondisi ini dapat dilihat terutama pada saat pemerintahan Presiden Harry Truman, yang mewarisi persoalan serius yang ditinggalkan oleh Franklin D. Roosevelt, yang telah menyerahkan kontrol atas Eropa Timur kepada Soviet.
Situasi yang tidak kondusif ini memaksa Truman mengeluarkan doktrin containment mengingat Soviet semakin agresif dalam menanamkan pengaruhnya di Eropa Timur yang dikhawatirkan akan diperluas dengan melakukan penetrasi kewilayah perbatasan Eropa Barat. Kekhawatiran AS semakin nyata ketika Soviet berhasil menjatuhkan pemerintahan Cekoslovakia (Februari 1948), disusul secara berturut-turut dengan tindakan Soviet melakukan blokade terhadap Berlin (Juni 1948), keberhasilan Soviet dalam uji coba ledakan bom atom (September 1949), kejatuhan pemerintahan nasionalisme Chiang Kai-shek oleh rezim komunis Mao Tse-tung (Oktober 1949), yang disusul dengan invasi Komunis Korea Utara atas Korea Selatan (Juni 1950) yang disinyalir ditunggangi oleh Soviet.
Menyikapi situasi tersebut, AS tidak bisa tinggal diam, segala daya dan upaya ditempuh. Sidang darurat pun digelar oleh Truman (Desember 1949), begitu Soviet melakukan blokade atas Berlin dan atas jatuhnya pemerintahan nasionalisme Chiang. Sidang lanjutan dilaksanakan pada April 1950 yang membahas Memorandum Badan Keamanan Nasional 68 (National Security Council’s Memorandum 68/NSC-68), yang diharapkan mampu mengambil langkah-langkah strategis untuk merespon setiap ancaman Soviet di mana pun di dunia, melalui pembangunan kemampuan senjata konvensional. Dari sinilah berawal terjadinya perlombaan senjata antara dua kekuatan super power pada waktu itu, yang mana kedua belah pihak menerapkan doktrin yang sama yaitu maksimalisme.
Pasca PD II, Soviet yang merupakan sekutu Amerika dalam menaklukkan fasisme Jerman merasa dikhianati oleh AS terutama dalam hal pengembangan teknologi bom atom, yang digunakan oleh AS dalam mengakhiri PD II. Stalin berusaha menerobos AS dengan perluasan paham komunisme di Eropa. Sebagai langkah awal Soviet menuntut dominasi atas Eropa Timur sesuai perjanjian Yalta (Februari 1945). Di samping itu Stalin juga berkeinginan untuk melebarkan sayapnya ke Jerman yang merupakan musuh.
Stalin’s primary goal at Yalta seems to have been the guarantee of Soviet security through the establishment of friendly regimes receptive to Soviet troops in strategic areas of Eastern Europe, … No doubt he wanted Communist regimes in Western Europe, or at least weak nation in that area. …[11]
Sikap menentang yang ditunjukkan oleh Soviet mulai nampak ketika AS menghendaki agar negara-negara Eropa Timur diberikan hak pemerintahan sendiri melalui pemilihan umum – sebagai ciri demokrasi AS – tetapi ditolak Soviet. Pertarungan demokrasi Barat melawan komunisme meruncing pada masa pemerintahan Presiden Harry Truman, dengan upaya Stalin merealisasikan rencana lima tahunan yang bertujuan untuk pembangunan industri militer Soviet secara cepat. Hal ini semakin menunjukkan ambisi Soviet untuk memperkuat posisinya dalam upaya meningkatkan pengaruhnya atas kontrol Eropa Timur. AS tidak dapat membiarkan situasi ini. George Kenan – seorang diplomat AS yang bertugas di Moskow – mengirim peringatan tentang ambisi Soviet ini ke Washington yang antara lain mengatakan bahwa hanya AS yang mampu mengubah atau menghentikan ambisi Soviet. Peringatan Kenan inilah yang selanjutnya dikembangkan dan memuncak sebagai doktrin pembendungan Truman, yang kemudian dikenal sebagai doktrin Truman atau Containment.
Istilah doktrin ini lahir berawal dari sebuah artikel yang dimuat pada jurnal Foreign Affair yang berjudul “The Sources of Soviet Conduct.” Penulisnya hanya membubuhkan “tanda X,”[12] yang kemudian diketahui adalah George Kenan yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur Perencanaan Kebijakan Deplu AS.
Doktrin Truman atau Containment ini dipadukan dengan Marshall Plan kemudian diimplementasikan sebagai kebijakan luar negeri AS yang dikenal sebagai kebijakan pembendungan (policy of containment). Perpaduan kebijakan ini menjadi pola kebijakan AS yang pada awalnya lebih ditekankan pada unsur-unsur politik dan ekonomi daripada militer, dan terutama ditujukan untuk membangun kembali kekuatan industri di Eropa.[13] Kebijakan ini pertama kali diterapkan pada saat Turki dan Yunani dalam posisi terjepit antara ultimatum Soviet atas kontrol Dardanelless di satu sisi dan terhentinya bantuan Inggris di sisi lain. AS memandang pentingnya keamanan di wilayah Timur Mediterania, oleh karena itulah kebijakan pembendungan diimplementasikan. Pada tanggal 12 Maret 1947 AS menyatakan untuk memberikan bantuan kepada Turki dan Yunani senilai US$400 juta dan mengirimkan tenaga ahli dan militer untuk memberikan supervisi atas bantuan yang diberikan.[14] Para sejarahwan menyatakan bahwa peristiwa ini menandai dimulainya Perang Dingin. Sebelumnya, pada Februari 1947 Menlu Dean Acheson melakukan konsultasi dengan Menhan dan memberikan paparan tentang pentingnya menjaga agar Yunani dan Turki tidak sampai jatuh ke rezim komunis, ia memprediksi apabila Yunani sampai jatuh ke rezim komunis, maka tidak mustahil akan diikuti oleh kejatuhan Turki yang akan memberikan keleluasaan bagi Soviet untuk mengontrol Dardanelles yang merupakan akses lalu lintas utama bagi pelayaran Rusia ke Mediterania melalui Laut Hitam. Apabila hal ini terjadi maka kejatuhan negara-negara Italia, Jerman dan Perancis hanya tinggal menunggu waktu. Teori yang dikemukaan Acheson ini dikemudian hari dikenal sebagai teori domino.
Pada saat itu kondisi perekonomian Eropa semakin memburuk, termasuk Inggris. AS menerapkan kebijakan pemberian bantuan ekonomi dalam rangka membantu pemulihan ekonomi Eropa Barat melalui Marshall Plan. Rancangan bantuan ini diolah relatif hampir bersamaan dengan proses penggodokan doktrin pembendungan. Sehingga kemudian secara bersamaan kedua doktrin ini lahir dan terimplementasikan sebagai kebijakan pembendungan komunis (policy of containment). Kebijakan ini ibarat tombak bermata dua, negara-negara yang menerima implementasi kebijakan ini secara bersamaan memperoleh bantuan ekonomi dan sekaligus bantuan militer.
Kondisi perekonomian Eropa Timur pada saat itu tidak lebih baik atau bahkan cenderung lebih buruk dibandingkan Eropa Barat. Menanggapi Marshall Plan yang diluncurkan oleh AS bagi Eropa Barat, Soviet pada 25 Januari 1949 meluncurkan program tandingan untuk membantu pemulihan ekonomi Eropa Timur, yaitu Council for Mutual Economic Assistance (COMECON).
Marshall Plan merupakan bagian integral dari policy of containment melalui pendekatan ekonomi. Untuk mengoptimalkan pencapaian kebijakan tersebut melalui pendekatan security yang merupakan perwujudan dari doktrin maksimalis Amerika – AS menginisiasi pembentukan Pakta Pertahanan North Atlantic Treaty Organization (NATO) pada 4 April 1949 yang beranggotakan 12 negara Eropa Barat (AS, Canada, Turki, Yunani, Perancis, Belgia, Belanda, Luxembourg, Italia, Inggris, Jerman, Spanyol). Pembentukan Pakta ini dipicu oleh tindakan Soviet yang mendirikan Republik Demokrat Jerman sebagai tandingan atas prakarsa AS mendirikan Republik Federasi Jerman. Enam tahun kemudian tepatnya pada 14 Mei 1955 Soviet kembali membuat Pakta tandingan yaitu Pakta Warsawa yang beranggotakan 6 negara-negara Eropa Timur (Bulgaria, Rumania, Jerman Timur, Hungaria, Polandia, Cekoslovakia) yang berada di bawah pengaruh kuat komunis Soviet.
Kebijakan pembendungan ini semakin tegas ketika Soviet semakin meningkatkan pembangunan kemampuan persenjataan militernya, termasuk dalam hal pengembangan senjata bom atom. Truman melakukan pertemuan khusus membahas Memorandum Keamanan Nasional 68 (National Security Council’s Memorandum 68/NSC- 68) yang diharapkan mampu merespon setiap ancaman Soviet di mana pun didunia.
Ancaman komunis Soviet telah membuat kekhawatiran AS meningkat semenjak jatuhnya Cekoslovakia dan kekhawatiran ini semakin bertambah ketika Soviet berhasil mengembangkan bom atom. Soviet mengumumkan keberhasilan atas uji coba ledakan bom atom pada 23 September 1949, disusul dengan jatuhnya China ke rezim komunis dengan diproklamasikan the People’s Republic of China oleh Mao Tse-tung pada 1 Oktober 1949. Hal ini membuat situasi global semakin memanas, yang kemudian memicu terjadinya perlombaan senjata dan membuat Truman menetapkan kebijakan anggaran pertahanan menjadi sekitar $15 milyar.
Pada awal Maret 1950 Menlu Acheson dalam suatu forum diskusi menyatakan bahwa: …The US, must fight the cold war with “total diplomacy,” comparable in sacrifice by the American people to total war.[15] Lebih lanjut Acheson menyatakan untuk mengimplementasikan “total diplomacy” dalam membendung komunis, diperlukan perubahan kebijakan yang drastis dibidang politik, sosial dan ekonomi dengan memperlonggar masuknya dollar dari Eropa Barat, dan membenahi kemunduran industri domestik. Sementara kebijakan luar negeri AS diarahkan mencari aliansi untuk menghadapi perang melawan komunis dan melindungi kemerdekaan mereka dari agresi komunis. Dari pernyataan ini AS menyadari benar bahwa pertempuran melawan komunis akan sangat sulit bila AS hanya bertindak secara unilateral.
Pada 14 April 1950, dalam sidang khusus membahas lanjutan NSC-68, antara lain disimpulkan bahwa:
The foregoing analysis indicates that the probable fission bomb capability of Soviet Union have greatly intensified the Soviet threat to the security of United States. This threat is of the same character as described in NSC 20/4 (approved by the President on November 24, 1948) but is more immediate than had previously been estimated. …within the next four or five years the Soviet Union will possess the military capability of delivering a surprise atomic attack of such weight that the United States must have substantially increase general air, ground, and sea strength, atomic capability, and air and civilian defenses to deter war and to provide reasonable assurance, in the event of war, that it could survive the initial blow and go on the eventual attainment of its objectives. In turn, this contingency requires the intensification of our effort in the field of intelligence and research and development…[16]
Untuk mewujudkan rekomendasi NSC-68 dalam membangun kemampuan militer AS, diperkirakan akan menelan biaya sebesar $30 milyar hingga $50 milyar, hal ini berarti memerlukan anggaran 2 hingga 3 kali lipat dari anggaran pertahanan yang diajukan Truman sebelumnya. Dari sinilah awal mula AS mempersiapkan secara serius strategi persiapan menghadapi perang melawan komunisme Soviet, yang pada masa pemerintahan Nixon strategi ini dikembangkan menjadi strategi flexible respons dalam memerangi komunisme global. Hal ini semakin menguatkan bahwa doktrin maksimalis Amerika benar-benar diterapkan dengan sangat tegas untuk membendung penyebaran komunisme.
Penerapan containment policy selanjutnya adalah ketika Amerika melakukan pembebasan Korea Selatan dari invasi Komunis Korea Utara. Perang Korea ini merupakan bagian dari warisan konflik PD II yang tidak diselesaikan pada saat itu. Sekutu tidak memperlakukan Korea Selatan sebagai sesuatu yang penting selama berlangsungnya PD II. Mereka tidak membuat pengaturan untuk pendudukan Korsel hingga kemudian Uni Soviet memasuki perang Pasifik, sehari sebelum Jepang menyerah. Soviet dan Amerika secara tergesa-gesa menyetujui bahwa Rusia secara temporer akan menduduki Korea Utara, sementara Amerika menduduki Korea Selatan. Amerika berasumsi bahwa Korea akan segera disatukan dan membentuk pemerintahan sendiri, setelah itu kedua kekuasaan (AS dan Rusia) yang menduduki Korea segera menarik pasukan mereka.
Namun dalam perkembangannya Soviet membentuk pemerintahan Korea Utara dari Partai Komunis Korea buangan. Uni Soviet memberlakukan aturan yang sangat ketat bagi hubungan Korea Utara dengan dunia luar. Rusia juga membangun tentara Korea Utara yang kuat untuk membantu pasukan merah dalam memelihara kontrol, serta meluncurkan program land reform untuk membantu memenangkan dukungan lokal, meskipun menekan pemerintahan baru. Kemudian Amerika mengajak Soviet segera membentuk pemerintahan sendiri bagi penyatuan kedua Korea melalui pemilihan umum, namun kedua belah pihak mengalami kesulitan dalam membuat format yang tepat karena keduanya tidak pernah sepaham. Akhirnya rencana pemilihan umum yang digagas oleh kedua belah pihak mengalami kegagalan. Selanjutnya Amerika mengusulkan kepada Soviet agar pemilihan umum dilakukan dengan pelibatan PBB, namun hal ini ditolak Soviet. Dalam hal ini kembali dipertontonkan pertarungan ideologi demokrasi AS dengan ideologi komunis Soviet yang tidak dapat dikompromikan untuk menyelesaikan konflik Korea secara damai dan bermartabat.
PBB mengadakan pemilihan umum di Korsel. Pemilihan umum pada tahun 1948 menghasilkan formasi Republik Korea (Republic of Korea) dengan Syngman Rhee sebagai pemimpin. Menjelang pertengahan tahun 1949, AS menarik sisa pasukannya yang berjumlah 7.500 dari Korsel. Rhee segera membangun kekuatan tentaranya dan mengirimkan tentaranya kedaerah perbatasan. Dalam perkembangan selanjutnya Korea Utara melakukan invasi ke Korsel (Juni 1950). AS mencurigai bahwa invasi ini ditunggangi oleh Soviet. Amerika semakin gerah, ia tidak mau kejadian di Cina terulang, dimana Chiang Kai-shek (Pemimpin Kelompok Nasionalis Cina) ditaklukkan oleh Mao Tse-tung yang membentuk pemerintahan Komunis. Disini kredibilitas Truman dengan doktrin containment nya benar-benar dipertaruhkan.
Dalam konteks itu, Truman menugaskan Jenderal McArthur memimpin pasukan Amerika dengan Armada Ketujuhnya yang digerakkan dari Piliphina ke Selat Taiwan, dengan pesan agar Jenderal McArthur berupaya menghindari terjadinya perluasan peperangan dengan Rusia ataupun Cina. Pergeseran pasukan ini dimaksudkan sekaligus untuk menghalangi Mao yang berusaha merebut Taiwan. Ketika Jenderal McArthur menemui Chiang Kai-shek dan mengisyaratkan permintaan terhadap komitmen permanen Amerika dalam mendukung pemerintahan nasionalis Taiwan, Truman mengirim Averell Harriman untuk mengingatkan McArthur agar menghindari membuat janji yang menyanggupi permintaan Chiang. Kemudian McArthur mengumumkan bahwa Armada Ketujuh akan ditarik dari Selat Taiwan setelah Perang Korea.
Pasukan Jenderal McArthur melakukan serangan amphibi di garis pertahanan pasukan Korea Utara di pantai Incheon, dan terus bergerak maju hingga akhirnya mampu menghancurkan pasukan regime komunis Korut melampaui garis perbatasan 38 derajat lintang Utara. Dalam operasi pembebasan Korsel ini McArthur mengingatkan agar Cina tidak campur tangan, sebab kalau sampai Cina melakukannya, Jenderal McArthur tidak akan segan/ragu untuk menaklukkannya.
Serangan McArthur dihentikan setelah melintasi garis perbatasan 38 lintang Utara dan dilanjutkan dengan negosiasi damai. Secara efektif pertempuran berakhir hanya dalam waktu 3 bulan dengan menelan biaya dan korban jiwa yang relatif kecil. Dalam pertempuran ini korban jiwa yang dialami Amerika berjumlah sebanyak 30.000 prajurit, dan dari Korsel menelan korban jiwa yang lebih banyak. Dalam perang Korea ini rekomendasi NSC-68 sepenuhnya terimplementasikan. Belanja pertahanan Amerika mengalami pelipatan hingga 3 kali, dari semula $15 milyar sebelum perang Korea, menjadi $44 milyar ditahun 1952 dan menjadi $50 milyar ditahun 1953. Shock yang dialami oleh Amerika secara berturut-turut yaitu jatuhnya Cekoslovakia, blokade Berlin, keberhasilan uji coba ledakan bom atom Soviet, jatuhnya Cina ke rezim komunis Mao, dan terakhir Perang Korea telah membawa Perang Dingin ke puncak yang membahayakan yang akan berlanjut bagi generasi berikutnya.[17]
Perang Korea ini, memberikan pelajaran bagi AS bagaimana komunis menggarap negara-negara miskin dan negara berkembang untuk menanamkan pengaruhnya. Pada saat yang bersamaan dengan pecahnya perang Korea, pengaruh komunis mulai berkembang di beberapa negara di kawasan Asia Tenggara seperti di Vietnam, Laos, Kamboja dan Indonesia. Amerika tidak mau mengambil resiko atas meluasnya komunis di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Oleh sebab itu untuk membendung pengaruh komunis, AS meluncurkan program bantuan yang memadukan bantuan ekonomi dan militer sebagai perwujudan perpaduan Marshall Plan dan doktrin Containment. Salah satu dari aplikasi kebijakan ini adalah U.S. Security Assistance.
Dalam memaksimalkan pencapaian kebijakan pembendungan, AS tidak hanya sampai pada pemberian Security Assistance. Memperhatikan pengaruh komunis yang cenderung semakin menguat di kawasan Asia Pasifik khususnya Asia Tenggara, timbul kekhawatiran AS terhadap kejatuhan negara-negara di kawasan ke dalam rezim komunis, sebagaimana teori (domino) yang pernah dikemukaan oleh Acheson ketika menjaga kejatuhan negara-negara Eropa Barat ke rezim komunisme.
Kekhawatiran AS semakin beralasan ketika perang Korea berakhir di tahun 1953, justru pengaruh komunis di Indochina semakin menguat. Bahkan ketika pasukan Perancis menghadapi kesulitan dalam pertempuran melawan komunis di Indochina dan memperoleh bantuan berbagai peralatan militer dari AS, Perancis tetap tidak mampu menghadapi perlawanan komunis Indochina. Untuk mengantisipasi kondisi yang semakin tidak menentu Menlu Dulles pada 6 September 1954 mengadakan konferensi di Manila dengan perwakilan dari negara-negara Inggris, Perancis, Australia, New Zealand, Philipina, Thailand dan Pakistan. Negara-negara di kawasan yang diundang, namun tidak hadir adalah India, Burma, Srilanka (Ceylon) dan Indonesia. Dalam konferensi tersebut akhirnya disepakati pembentukan Pakta Pertahanan sejenis NATO di kawasan Asia Tenggara yaitu Southeast Asia Treaty Organization (SEATO), yang dimaksudkan untuk membendung penyebaran komunis di Asia Tenggara.
2.2. U.S. Security Assistance dan Kepentingan AS
U.S. Security Assistance adalah salah satu program yang terkait erat dengan politik luar negeri AS dibidang kerjasama militer dan pertahanan dengan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Bantuan diberikan dalam beberapa bentuk program seperti: International Military Education Training (IMET), Military Assistance Program (MAP), Foreign Military Sales (FMS).
Dalam menjalankan politik luar negeri melalui penyebaran demokrasi, AS meluncurkan program-program bantuan kepada negara-negara berkembang, termasuk bantuan keamanan. U.S. Security Assistance merupakan salah satu program bantuan keamanan dimaksud. Melalui penyebaran demokrasi ke seluruh penjuru dunia yang dilandasi oleh semangat manifest destiny, maka persoalan kepentingan nasional AS adalah identik dengan kepentingan globalnya. Salah satu tantangan global AS dalam penyebaran demokrasi pada kurun waktu tertentu adalah adanya pengaruh/ancaman penyebaran ajaran komunis, yang secara ideologis paham tersebut sangat berseberangan dengan demokrasi dan kapitalisme. Pada tahun 1947 Presiden Harry Truman mencanangkan doktrin containment, yang merupakan pernyataan perang globalnya untuk membendung penyebaran paham komunis. Perang Dingin telah dimulai.
Sebagai negara demokrasi yang berazaskan kebebasan termasuk kapitalisme, Amerika mendorong para pengusahanya untuk melebarkan sayapnya dalam melakukan bisnis di mana pun. Salah satu sasaran para pebisnis Amerika dalam mengembangkan bisnisnya adalah negara-negara berkembang yang kaya akan sumber daya alamnya, sekaligus memanfaatkan negara-negara berkembang tersebut dalam rangka memperluas pangsa pasar bagi produk-produk manufacture dan memperkenalkan sistem mekanisme pasar bebas (kapitalisme), tanpa campur tangan pemerintah.
AS yang juga sebagai negara industri tentunya memerlukan ketersediaan energi yang sangat besar untuk menggerakkan roda perekonomian yang menjadi nafas berbagai bidang kehidupan lainnya. Keberhasilan ekonomi tentunya harus diproteksi dengan kontrol keamanan domestik yang ketat, untuk itu diperlukan kehadiran militer yang kuat sebagai deterrence factor untuk mengamankan seluruh aset dan kekayaan yang dimiliki. Kembali pada kebutuhan akan energi sebagai penggerak roda perekomian yang sangat vital bagi AS, AS memerlukan pasokan energi yang sangat besar, yang dalam hal ini tidak mungkin dipenuhi hanya dari produksi bahan bakar (energi) domestik. Oleh karena itu, AS dalam melakukan ekspansi bisnis di seluruh belahan dunia, salah satu tujuannya adalah untuk mencari peluang bisnis melalui investasi dibidang eksplorasi energi. Salah satu sumber pasokan energi AS pada awalnya diperoleh di negara-negara berkembang seperti kawasan Timur Tengah, dan Asia Pasifik khususnya Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Salah satu ketegangan yang pernah terjadi di Timur Tengah pasca PD II antara lain juga disebabkan oleh perebutan penguasaan sumber energi. Rusia berusaha hadir ke Iran memasuki arena eksplorasi minyak di sana menyusul masuknya Jerman, di mana Inggris telah terlebih dahulu melakukan eksplorasi sejak tahun 1920. Kemudian antara Inggris dan Rusia menjadi sekutu untuk mencegah masuknya Jerman. Persoalan ini tidak terlepas dari persoalan tahta kekaisaran Iran. Selanjutnya AS juga masuk yang diawali dengan pembangunan infrastruktur perkerataapian. Dalam perkembangan selanjutnya AS mulai mengkhawatirkan terhadap kehadiran Inggris dan Rusia beserta pasukan militer mereka secara permanen di Iran. Kehadiran pasukan kedua negara ini merupakan sisa-sisa pendudukan semasa berlangsungnya PD II. Oleh karena itu AS mengupayakan sebuah treaty dan pada tahun 1942 treaty tersebut disepakati oleh semua kekuatan yang menduduki Iran untuk menarik pasukan mereka dalam waktu 6 bulan setelah berakhirnya perang. Dengan treaty tersebut, Inggris dan AS menarik pasukan mereka sebelum batas akhir yang ditetapkan pada 2 Maret 1944 kecuali untuk beberapa orang penasehat AS yang memang dikehendaki oleh pemerintah Iran. Sementara itu, Soviet ingin tetap mempertahankan kehadiran pasukannya di Iran.[18] Hal inilah yang juga menjadi salah satu pemicu ketegangan hubungan antara AS dan Rusia.
Perburuan ladang-ladang minyak terus dilakukan oleh AS, termasuk di kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian AS memiliki kepentingan-kepentingan di setiap kawasan, dalam mana dia menanamkan investasinya. Kepentingan ekonomi sebuah negara merupakan kepentingan vital yang tidak akan lepas dari upaya untuk melindunginya. Untuk kepentingan itulah maka AS mengerahkan militernya dan membangun basis-basis militer di setiap kawasan. Terkait dengan perburuan ladang-ladang minyak oleh AS di kawasan Asia antara lain disebutkan bahwa:
In 1948, the United States became a net importer of oil. Seven major companies, “Big Oil,” spearheated the world industry. Of these companies five were American – Chevron, Exxon, Gulf, Mobil and Texaco – … The developing countries that owned the vast supply of discovered oil reserves were scattered across the earth: Indonesia, Iran, Iraq, Kuwait, Saudi Arabia and Venezuela… The companies procceded to construct legal and business systems for extracting the oil and controlling supply.[19]
AS menyadari bahwa tidak mungkin untuk melindungi kepentingan-kepentingan ekonominya secara langsung di negara-negara berkembang. Oleh karena itulah seiring dengan penerapan doktrin pembendungan, AS juga memberikan bantuan-bantuan terutama dalam bentuk security assistance. Sebab manakala terjadi pergolakan politik di sebuah negara berkembang, dalam mana kepentingan ekonomi AS ada di negara tersebut, maka kepentingan tersebut akan ikut terancam dengan pola perjuangan komunis, yang akan menghancurkan kapitalisme AS, melalui nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing secara sepihak. U.S. Security Assistance kepada negara-negara berkembang dalam mana kepentingan nasional AS ada didalamnya adalah terutama untuk memberikan peningkatan capacity building dibidang keamanan negara tersebut. Dengan kondisi yang aman dinegara tersebut, maka kepentingan AS juga akan ikut terjamin.
2.3. Persyaratan-persyaratan yang ditetapkan bagi negara penerima U.S. Security Assistance
Kebijakan yang mendasari pelaksanaan program U.S. Security Assistance terdapat 3 ketentuan yaitu:
2.3.1. Kewenangan Kongres dalam memberikan persetujuan terhadap bantuan luar negeri (Congressional Authorization and Appropriations) [20]
Program bantuan ini biasanya diinisiasi oleh pemerintah AS, dalam hal ini U.S. Department of Defense, atau berdasarkan kebutuhan negara penerima bantuan. Adapun program-program yang termasuk di dalamnya adalah baik yang akan sepenuhnya didanai oleh Pemerintah Amerika maupun yang didanai oleh pemerintah negara penerima bantuan.
Untuk program yang diluncurkan namun harus menggunakan dana dari pemerintah negara penerima bantuan adalah Foreign Military Sales (FMS), yaitu program-program yang digunakan untuk pengadaan berbagai defense articles beserta suku cadang dan komponen peralatan militer produk AS. Sekalipun menggunakan dana dari Pemerintah negara penerima bantuan, pihak AS tetap memiliki kewenangan dalam melakukan kontrol terhadap pemanfaatannya. Bantuan yang diberikan dalam FMS Cases antara lain dalam bentuk softloan dengan bunga tetap serta jangka waktu pembayaran yang relatif panjang.
2.3.2. Ketentuan Perundang-undangan (Authorization Acts)
Foreign Assistance Act of 1961 (FAA), berikut amandemennya. Ketentuan ini berisi berbagai hal terkait dengan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh negara penerima U.S. Security Assistance.[21] Persyaratan-persyaratan dimaksud antara lain: (i) Pihak pemerintah negara penerima bantuan dilarang menyerahkan any defense articles yang diberikan, kepada pihak ketiga tanpa persetujuan resmi dari pemerintah AS; (ii) Seluruh defense articles beserta komponennya wajib diserahkan kembali kepada pemerintah AS, manakala pihak pemerintah negara penerima bantuan bermaksud tidak akan memanfaatkannya lagi; (iii) Apabila defense articles tersebut dihapus – atas persetujuan Amerika – dan dijual dalam bentuk scrap, maka pemerintah negara penerima bantuan harus menyerahkan hasil penjualan tersebut kepada pemerintah AS; (iv) Pihak pemerintah negara penerima bantuan bersedia memberlakukan tingkat kerahasiaan terhadap defense articles yang diberikan sesuai dengan tingkat kerahasiaan yang diberlakukan oleh AS. Apabila diperlukan pihak pemerintah negara penerima bantuan harus mengijinkan personil AS melakukan observasi terhadap defense articles tersebut.[22]
Arms Export Control Act of 1776 (AECA), yang sekaligus juga mengakomodasikan berbagai ketentuan yang telah ada yaitu International Traffic in Arms Regulation (ITAR). Ketentuan ini berisi hal-hal yang terkait dengan pengaturan tentang peralatan militer apa saja yang boleh dijual dan yang tidak boleh dijual kepada negara yang memerlukan.[23]
2.3.3. Human Rights.
Pemerintah Amerika merasa memiliki kewajiban internasional sebagaimana yang ditetapkan di dalam Ketetapan PBB dan sebagai perwujudan dari apa yang ditulis dalam warisan dan tradisi Konstitusinya. Dalam hal ini Amerika diwajibkan untuk mempromosikan dan mendorong peningkatan penghormatan pada HAM dan dasar-dasar kebebasan ke seluruh dunia tanpa membedakan ras, kelamin (gender), bahasa ataupun agama. Prinsip-prinsip inilah yang digunakan oleh Amerika dalam menerapkan kebijakan politik luar negerinya, sehingga Kongres tidak akan menyetujui pemberian bantuan ini bagi negara-negara yang diindikasikan terlibat dalam berbagai pelanggaran HAM [Section 502B, FAA].[24]


[11] Jerald A. Combs, The History of American Foreign Policy (New York: Alfred A. Knopf, 1986), 306.
[12] Stephen E. Ambrose, Rise to Globalisme: American Foreign Policy Since 1938, 4th ed (New York: Penguin Books Inc., 1985), 99.
[13] Jerald A. Combs, op.cit., 333.
[14] Alexander Deconde, A History of American Foreign Policy (New York: Charles Scripner’s Sons,1963), 669 – 670.
[15] Time in partnership with CNN, “Total Diplomacy.” (New York), 13 Maret 1950., 8 March 2009. <http://www.time.com/time/ printout/8816,812120,00,htm.>.
[16] NSC-68 Conclusions, NSC-68 of April 14, 1950., 8 March 2009. <http://history.sandiego. edu/gen/20th/ nsc68.html.>.
[17] Alexander Deconde, op.cit., 345
[18] Jerald A. Combs, op.cit., 326
[19] Joseph Coton Wright, Oil: Demand, Supply and Trends in the United States (T.k.: University of California Berkeley, T.t.), 2.
[20] The Defence Institute of Security Assistance Management, The Management of Securiy Assistance, 26th ed (Ohio: DISAM, 2006), 2-1.
[21] Ibid.
[22] Amandemen terbaru Foreign Assistance Act of 1961 (FAA) adalah Nota Diplomatik “505 Agreement” Deplu RI kepada Kedubes AS di Jakarta No. D.638/PO/IX/2006/36, Jakarta: 6 September 2006.
[23] The Defence Institute of Security Assistance Management, op.cit., 2-1.